Vaksinasi Covid19
RSPAD Gatot Soebroto Janji Laporkan Efek Samping Vaksin Nusantara kepada BPOM, Ikuti Kaidah Ilmiah
Nyoto juga menambahkan, pihaknya akan menyerahkan penilaian terhadap kelayakan gejala efek samping tersebut kepada BPOM.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Pihak RSPAD Gatot Soebroto bakal melaporkan efek samping yang dialami relawan penelitian Vaksin Nusantara, kepada BPOM.
Direktur Pelayanan Kesehatan RSPAD Gatot Soebroto Brigjen TNI Nyoto Widyo Astoro mengatakan, dalam penelitian Vaksin Nusantara yang dilakukan oleh pihaknya, kejadian tidak diinginkan yang dialami oleh relawan akan tetap dilaporkan kepada BPOM.
Hal tersebut disampaikan Nyoto saat konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (19/4/2021).
Baca juga: Vaksin Nusantara Tuai Polemik, 105 Tokoh Beragam Latar Belakang Dukung BPOM
"Itu bidang pokok penelitian, pasti itulah yang akan dicatat."
"Gejala efek samping itu akan dicatat dengan baik, kemudian dilaporkan kepada pemangku jabatan, dalam hal ini BPOM kalau dalam penelitian."
"Karena ini mengenai penelitian terhadap manusia, jadi akan dilaporkan kepada BPOM."
Baca juga: Jadi Relawan Vaksin Nusantara, Siti Fadilah Supari: Wong Presidennya Mendukung, Kok Kita Menolak?
"Jadi semua gejala-gejala tidak ada yang ditutupi atau tidak dilaporkan."
"Jadi semua gejala akan dilaporkan," tutur Nyoto.
Nyoto juga menambahkan, pihaknya akan menyerahkan penilaian terhadap kelayakan gejala efek samping tersebut kepada BPOM.
Baca juga: Polemik Vaksin Nusantara, Ketua Umum PB IDI: DPR Boleh Awasi, tapi Jangan Ambil Alih Kinerja BPOM
"Dan nanti tentu saja yang nanti akan menilai adalah BPOM, apakah gejala ini bisa layak dan sebagainya dalam vaksin ya, tapi itu hal yang biasa," beber Nyoto.
Nyoto mengatakan semua proses vaksinasi akan menimbulkan gejala.
Gejala tersebut, kata Nyoto, di antaranya terkadang berupa demam.
Baca juga: Digosipkan Bakal Jabat Menteri Investasi, Ahok Malah Dinilai Bisa Hambat Penanaman Modal
Namun demikian, gejala tersebut masih bisa diatasi selama masih gejala normal.
"Gejalanya kan di antaranya bisa sakit, kadang-kadang kan kalau vaksin anak-anak kan kadang demam dan sebagainya, itu kan gejala yang bisa diatasi."
"Artinya itu adalah efek samping, ya tapi bisa diatasi, barangkali kalau yang gejala-gejala yang normal," papar Nyoto.
Baca juga: Polemik Vaksin Nusantara, IDI: Jangan karena Niat Nasionalisme, Protokolnya Cincai
Nyoto juga menegaskan, penelitian berbasis sel dendritik di RSPAD Gatot Soebroto akan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah.
Nyoto mengatakan penelitian berbasis sel tersebut saat ini tengah ditujukan untuk membuat vaksin Covid-19.
"Diharapkan untuk vaksin Covid. Tapi ini harus dengan penelitian yang baik, artinya dengan penelitian yang legal."
Baca juga: Reshuffle Kabinet Indonesia Maju Diprediksi Cuma Geser Posisi dan Ganti Menteri dari Parpol
"Diterima secara ilmiah, kemudian memang harus disetujui oleh beberapa pemangku (kepentingan) untuk melegalkan dendritik tersebut, untuk pembuatan vaksin dalam hal ini," ucapnya.
Sebelumnya, Markas Besar TNI menegaskan Vaksin Nusantara bukanlah program TNI.
Hal tersebut ditegaskan Kapuspen TNI Mayjen Achmad Riad di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (19/4/2021).
Baca juga: Wakil Ketua Komisi IX DPR Tuding BPOM Main Politik dan Ingkari Pemberian Izin Uji Klinis Kedua
"Bahwa program Vaksin Nusantara bukanlah program dari TNI," kata Riad.
Namun demikian, kata dia, sesuai sikap pemerintah, terkait berbagai bentuk inovasi dalam negeri seperti vaksin dan obat-obatan, untuk penanggulangan Covid-19, maka TNI akan selalu mendukungnya.
Baca juga: Siti Fadilah Supari: Kalau Vaksin Nusantara Berhasil, Pemerintah Ikut Untung, Jangan Ditebang Dulu
"Dengan catatan telah memenuhi kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)."
"Sehingga harus ada tiga kriteria penting yang harus dipenuhi."
"Yaitu keamanan, efikasi, dan kelayakannya," ujar Riad.
Baca juga: Jadi Relawan Vaksin Nusantara, Siti Fadilah Supari Dukung Terawan Agar Tak Putus Asa
Selain itu, kata dia, juga perlu pengurusan perizinan, kerja sama antara TNI dengan berbagai pihak.
Riad juga menegaskan penggunaan fasilitas kesehatan dan tenaga ahli kesehatan atau peneliti akan diatur dengan mekanisme kerja.
"Penggunaan fasilitas kesehatan dan tenaga ahli kesehatan atau peneliti akan diatur dengan mekanisme kerja sama sebagai dasar hukum atau legal standing."
Baca juga: Emil Salim Minta Cuma Presiden, Wapres, dan Sekretaris Negara yang Berkantor di Kalimantan
"Dan tanpa mengganggu tugas-tugas kedinasan atau tugas pokok kesatuan," jelas Riad.
Sejak awal pandemi Covid-19 melanda dunia dan Indonesia, kata Riad, TNI berkomitmen mendukung penanganan pandemi Covid-19, dengan mengerahkan semua kemampuan yang ada, baik dari segi personel, alutsista, dan peralatan lainnya.
Dengan berbagai hal tersebut, kata dia, personel TNI masih dilibatkan, salah satunya di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
Baca juga: Emil Salim: Kau Gali Lubang di Kalimantan Keluar Air, Bagaimana Bangun Kereta Api di Lahan Basah?
"Kemudian juga dilibatkan sebagai vaksinator, tracer, termasuk juga pemanfaaatan RS TNI di seluruh wilayah Indonesia," beber Riad.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito enggan berkomentar soal tim peneliti vaksin Nusantara tetap melanjutkan proses pengembangan, meski tak sesuai rekomendasi pihaknya.
Baca juga: Kasus Baru Pengurusan Perkara di MA, Nurhadi Diduga Terima Uang dari Bos Lippo Group Eddy Sindoro
"Terkait vaksin Nusantara ya kami tidak bisa menjawab."
"Ya jawaban kami bagaimana hasil penilaian Badan POM terkait fase pertama uji klinik fase 1 vaksin dendritik atau vaksin Nusantara adalah belum bisa dilanjutkan ke uji klinik fase dua."
"Sudah clear ya sampai di situ," tegasnya dalam konferensi pers virtual bersama BPOM secara virtual, Jumat (16/4/2021).
Baca juga: Rizieq Shihab Raih Gelar Phd dari USIM, Kuasa Hukum: Terima Kasih Polri
Penny menuturkan, tugas BPOM telah selesai saat mendampingi uji klinik I, dan memberikan penilaian penelitian tersebut tidak masuk kategori riset ilmiah sesuai standar internasional.
"Saya tidak mau komentari, karena vaksin dendritik atau nama vaksin Nusantara sudah beralih sekarang."
"Saya tidak mau komentari lagi, sudah beralih," ucap Penny.
Baca juga: Tonjolkan Politik Identitas, PAN Ogah Ikut Wacana Poros Islam di Pemilu 2024
Ia pun mengingatkan, penting dalam sebuah penelitian ilmiah harus melewati uji praklinik atau uji pada hewan, sebelum diberikan kepada manusia.
Hal itu untuk menghindari kesalahan fatal dan memberikan perlindungan kepada relawan.
"Kalau tidak dilakukan dan langsung loncat ke clinical trial, nanti kesalahan ada di sana."
Baca juga: Yusril Setuju Wacana Poros Islam di Pemilu 2024, PBB Bakal Aktif dalam Pertemuan Selanjutnya
"Yang namanya penelitian begitu."
"Kita belajar dari tahapan-tahapan yang ada. Harusnya bisa dapat dikoreksi, diperbaiki."
"Vaksin Nusantara kami tidak bisa jawab."
Baca juga: Mahal dan Tak Fleksibel, Epidemiolog Sebut Vaksin Nusantara Tak Cocok di Situasi Pandemi Covid-19
"Penilaian Badan POM pada fase pertama uji klinik vaksin dendritik belum bisa dilanjutkan ke fase II, dan ada temuan correction action."
"Koreksi-koreksi harus ada perbaikan kalau mau maju ke fase kedua," paparnya.
Data Penelitian Vaksin Nusantara Disimpan di Server AS, Penelitinya Orang Asing
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengungkapkan, data-data penelitian vaksin sel dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara, tersimpan di server Amerika Serikat.
"Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form menggunakan sistem elektronik."
"Dengan nama redcap cloud yang dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika," ungkap Penny lewat keterangan tertulis, Rabu (14/4/2021).
Baca juga: Cegah Ketergantungan, Rp 400 Miliar Dianggarkan untuk Kembangkan Vaksin Covid-19 Dalam Negeri
Ia melanjutkan, kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc. USA.
Perempuan berhijab ini menuturkan, semua komponen utama pembuatan vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini, diimpor dari AS, seperti antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan.
Jika akan dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia, kata Penny, membutuhkan waktu lama.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 14 April 2021: Suntikan Pertama 10.477.506, Dosis Kedua 5.568.857
Mengingat sampai saat ini Industri farmasi yang bekerja sama dengan AIVITA Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi, sehingga butuh waktu 2– 5 tahun untuk mengembangkan di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan CEO AIVITA Indonesia, mereka akan mengimpor obat-obatan sebelum produksi di Indonesia.
Metode pembuatan dan paten dimiliki oleh AIVITA Biomedica Inc. USA, sekalipun telah dilakukan transfer of knowledge kepada staf di RS Kariadi, tetapi ada beberapa hal yang masih belum dijelaskan terbuka, seperti campuran medium sediaan vaksin yang digunakan.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 14 April 2021: 5.656 Pasien Baru, 5.747 Orang Sembuh, 124 Meninggal
"Pelaksanaan uji klinik ini dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc. USA, yaitu orang asing yang bekerja di Indonesia untuk meneliti menggunakan subjek orang Indonesia."
"Tidak dapat ditunjukkan izin penelitian bagi peneliti asing di Indonesia," jelas Penny.
Penny mengatakan, uji klinik fase 1 mengungkapkan sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami kejadian yang tidak diinginkan (KTD), meskipun dalam grade 1 dan 2.
Baca juga: Ali Mochtar Ngabalin Prediksi Kemendikbudristek dan Kementerian Investasi Dipimpin Pejabat Lama
Seluruh subjek mengalami KTD pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg, dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.
"KTD yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal," beber Penny.
KTD grade 3 pada 6 subjek, papar Penny, rinciannya adalah 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.
Baca juga: Tak Dibebastugaskan Sementara, Dua Tersangka Penembak Anggota FPI Masih Jadi Polisi Aktif
KTD grade 3 merupakan salah satu kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik.
Namun berdasarkan informasi tim peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadian
tersebut.
Penelitian vaksin dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr Kariadi, dan Universitas Diponegoro.
Baca juga: Punya Penyakit Jantung, Adian Napitupulu Pilih Vaksin Nusantara Ketimbang Sinovac Atau AstraZeneca
Penelitian ini disponsori oleh PT Rama Emerald/PT AIVITA Indonesia, bekerja sama dengan Balitbangkes Kementerian Kesehatan.
Disebutkan, vaksin Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran:
- Sel dendritik yang diperoleh dari darah masing-masing orang;
Baca juga: Bank Indonesia Dorong UPK Rp 75 Ribu Jadi Angpao THR Lebaran, Jangan Cuma Jadi Koleksi
- Antigen SARS COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA;
- GMCSF (Sarmogastrim) suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi - USA.
Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. USA, yang membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi yang memenuhi standar GMP.
Baca juga: KPK Limpahkan Berkas Perkara ke Pengadilan Tipikor, Juliari Batubara Cs Segera Disidang
Agar diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik (tidak terkontaminasi, jumlah sel dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik yang baik).
Pada pelaksanaan uji klinik, pengolahan sel tersebut dilakukan oleh tim dari AIVITA Biomedical Inc. USA.
Transfer teknologi kepada peneliti di RSUP Dr Kariadi baru dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa staf, untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA Biomedical Inc. USA. (Gita Irawan)