Mati-matian Bela Vaksin Nusantara, Mantan Menkes Siti Fadilah: Ide Terawan tidak Jatuh dari Langit
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan dokter Terawan telah bertahun-tahun mempelajari tentang sel dentitrik.
"Kalau hasilnya bagus dan sesuai, alhamdulilah akan membawa kebaikan bagi bangsa ini."
"Dan kalau tidak selesai, juga pasti ada yang ditemukan."
"Nah, itulah yang membuat saya rela ikut dalam uji klinis dari proyeknya dokter Terawan,” terangnya.
Baca juga: Rancang Ledakkan Bom di SPBU Bogor, Saiful Basri Sempat Ikuti Sidang Rizieq Shihab Tiga Kali
Mantan Menteri Kesehatan era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengaku memiliki komorbid dan usia sudah 70 tahun, sehingga tidak bisa menerima vaksin Covid-19 yang sudah ada.
“Saya memang tidak bisa divaksin dengan vaksin yang ada. Karena saya punya komorbid. Begitu ada alternatif vaksin Nusantara itu, saya tertarik.”
"Selain juga saya mau tahu hasilnya bagaimana secara langsung. Jadi saya ikut jadi relawan," ucap Siti.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito enggan berkomentar soal tim peneliti vaksin Nusantara tetap melanjutkan proses pengembangan, meski tak sesuai rekomendasi pihaknya.
Baca juga: Kasus Baru Pengurusan Perkara di MA, Nurhadi Diduga Terima Uang dari Bos Lippo Group Eddy Sindoro
"Terkait vaksin Nusantara ya kami tidak bisa menjawab."
"Ya jawaban kami bagaimana hasil penilaian Badan POM terkait fase pertama uji klinik fase 1 vaksin dendritik atau vaksin Nusantara adalah belum bisa dilanjutkan ke uji klinik fase dua."
"Sudah clear ya sampai di situ," tegasnya dalam konferensi pers virtual bersama BPOM secara virtual, Jumat (16/4/2021).
Baca juga: Rizieq Shihab Raih Gelar Phd dari USIM, Kuasa Hukum: Terima Kasih Polri
Penny menuturkan, tugas BPOM telah selesai saat mendampingi uji klinik I, dan memberikan penilaian penelitian tersebut tidak masuk kategori riset ilmiah sesuai standar internasional.
"Saya tidak mau komentari, karena vaksin dendritik atau nama vaksin Nusantara sudah beralih sekarang."
"Saya tidak mau komentari lagi, sudah beralih," ucap Penny.
Baca juga: Tonjolkan Politik Identitas, PAN Ogah Ikut Wacana Poros Islam di Pemilu 2024
Ia pun mengingatkan, penting dalam sebuah penelitian ilmiah harus melewati uji praklinik atau uji pada hewan, sebelum diberikan kepada manusia.
Hal itu untuk menghindari kesalahan fatal dan memberikan perlindungan kepada relawan.
"Kalau tidak dilakukan dan langsung loncat ke clinical trial, nanti kesalahan ada di sana."
Baca juga: Yusril Setuju Wacana Poros Islam di Pemilu 2024, PBB Bakal Aktif dalam Pertemuan Selanjutnya
"Yang namanya penelitian begitu."
"Kita belajar dari tahapan-tahapan yang ada. Harusnya bisa dapat dikoreksi, diperbaiki."
"Vaksin Nusantara kami tidak bisa jawab."
Baca juga: Mahal dan Tak Fleksibel, Epidemiolog Sebut Vaksin Nusantara Tak Cocok di Situasi Pandemi Covid-19
"Penilaian Badan POM pada fase pertama uji klinik vaksin dendritik belum bisa dilanjutkan ke fase II, dan ada temuan correction action."
"Koreksi-koreksi harus ada perbaikan kalau mau maju ke fase kedua," paparnya.
Data Penelitian Vaksin Nusantara Disimpan di Server AS, Penelitinya Orang Asing
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengungkapkan, data-data penelitian vaksin sel dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara, tersimpan di server Amerika Serikat.
"Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form menggunakan sistem elektronik."
"Dengan nama redcap cloud yang dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika," ungkap Penny lewat keterangan tertulis, Rabu (14/4/2021).
Baca juga: Cegah Ketergantungan, Rp 400 Miliar Dianggarkan untuk Kembangkan Vaksin Covid-19 Dalam Negeri
Ia melanjutkan, kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc. USA.
Perempuan berhijab ini menuturkan, semua komponen utama pembuatan vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini, diimpor dari AS, seperti antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan.
Jika akan dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia, kata Penny, membutuhkan waktu lama.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 14 April 2021: Suntikan Pertama 10.477.506, Dosis Kedua 5.568.857
Mengingat sampai saat ini Industri farmasi yang bekerja sama dengan AIVITA Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi, sehingga butuh waktu 2– 5 tahun untuk mengembangkan di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan CEO AIVITA Indonesia, mereka akan mengimpor obat-obatan sebelum produksi di Indonesia.
Metode pembuatan dan paten dimiliki oleh AIVITA Biomedica Inc. USA, sekalipun telah dilakukan transfer of knowledge kepada staf di RS Kariadi, tetapi ada beberapa hal yang masih belum dijelaskan terbuka, seperti campuran medium sediaan vaksin yang digunakan.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 14 April 2021: 5.656 Pasien Baru, 5.747 Orang Sembuh, 124 Meninggal
"Pelaksanaan uji klinik ini dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedica Inc. USA, yaitu orang asing yang bekerja di Indonesia untuk meneliti menggunakan subjek orang Indonesia."
"Tidak dapat ditunjukkan izin penelitian bagi peneliti asing di Indonesia," jelas Penny.
Penny mengatakan, uji klinik fase 1 mengungkapkan sebanyak 20 dari 28 subjek (71.4%) mengalami kejadian yang tidak diinginkan (KTD), meskipun dalam grade 1 dan 2.
Baca juga: Ali Mochtar Ngabalin Prediksi Kemendikbudristek dan Kementerian Investasi Dipimpin Pejabat Lama
Seluruh subjek mengalami KTD pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 500 mcg, dan lebih banyak dibandingkan pada kelompok vaksin dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant.
"KTD yang terjadi adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal," beber Penny.
KTD grade 3 pada 6 subjek, papar Penny, rinciannya adalah 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol.
Baca juga: Tak Dibebastugaskan Sementara, Dua Tersangka Penembak Anggota FPI Masih Jadi Polisi Aktif
KTD grade 3 merupakan salah satu kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik.
Namun berdasarkan informasi tim peneliti saat inspeksi yang dilakukan BPOM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik dan analisis yang dilakukan oleh tim peneliti terkait kejadian
tersebut.
Penelitian vaksin dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr Kariadi, dan Universitas Diponegoro.
Baca juga: Punya Penyakit Jantung, Adian Napitupulu Pilih Vaksin Nusantara Ketimbang Sinovac Atau AstraZeneca
Penelitian ini disponsori oleh PT Rama Emerald/PT AIVITA Indonesia, bekerja sama dengan Balitbangkes Kementerian Kesehatan.
Disebutkan, vaksin Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran:
- Sel dendritik yang diperoleh dari darah masing-masing orang;
Baca juga: Bank Indonesia Dorong UPK Rp 75 Ribu Jadi Angpao THR Lebaran, Jangan Cuma Jadi Koleksi
- Antigen SARS COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA;
- GMCSF (Sarmogastrim) suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi - USA.
Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. USA, yang membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi yang memenuhi standar GMP.
Baca juga: KPK Limpahkan Berkas Perkara ke Pengadilan Tipikor, Juliari Batubara Cs Segera Disidang
Agar diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik (tidak terkontaminasi, jumlah sel dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik yang baik).
Pada pelaksanaan uji klinik, pengolahan sel tersebut dilakukan oleh tim dari AIVITA Biomedical Inc. USA.
Transfer teknologi kepada peneliti di RSUP Dr Kariadi baru dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa staf, untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA Biomedical Inc. USA. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mantan Menkes Siti Fadilah Supari: Ide Terawan Kembangkan Vaksin Nusantara Tidak Jatuh dari Langit
Penulis: Lusius Genik Ndau Lendong