Omnibus Law

KAMI Pertimbangkan Ajukan Praperadilan untuk Bebaskan Tiga Deklaratornya, Juga Lapor Komnas HAM

Menurut Yani, pernyataan ketiga petinggi KAMI di sosial media tidak dapat dikatakan penyebaran hoaks.

ISTIMEWA
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani mengatakan, pihaknya mempertimbangkan jalur praperadilan untuk menggugurkan status tersangka ketiga tokoh KAMI.

Tiga tokoh KAMI yang ditetapkan tersangka oleh polisi terkait dugaan ujaran kebencian hingga hoaks di sosial media adalah Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.

"KAMI sedang memikirkan, tidak hanya praperadilan.

Baca juga: Mabes Polri Tegaskan LGBT Langgar Kode Etik Profesi

"Bisa lapor Komnas HAM, Kompolnas, Propam, atau Irwasum (Inspektorat Pengawasan Umum) Polri," ujar Yani saat dihubungi Tribun di Jakarta, Jumat (16/10/2020).

Yani yang juga menjadi kuasa hukum ketiga petinggi KAMI menilai, pihak kepolisian terlalu mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka penyebaran hoaks, dengan dasar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE).

"Sebelum polisi menaikkan dalam proses penyidikan dan menangkap, apakah sudah ada keterangan atau gelar perkara?"

Baca juga: Kasus Red Notice, Djoko Tjandra Diserahkan ke Kejari Jakpus, 3 Tersangka Lainnya ke Kejari Jaksel

"Apakah sudah diminta keterangan ahli bahasa? Apakah sudah dapat keterangan ahli pidana? Ini menjadi pertanyaan kami," papar Yani.

Menurut Yani, pernyataan ketiga petinggi KAMI di sosial media tidak dapat dikatakan penyebaran hoaks, dan terlihat mengada-ada untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.

"Jelas mengada-ada, ini lebih banyak nuansanya bukan hukum," ucapnya.

Baca juga: Tak Penuhi Panggilan Bareskrim, Mantan Danjen Kopassus Soenarko Minta Diperiksa Senin Pekan Depan

Yani pun menyayangkan sikap kepolisian yang memperlakukan ketiga petinggi KAMI tidak layak dan mengesampingan penerapan persamaan di hadapan hukum.

"Kami protes keras ini. Bagaimana dengan Djoko Tjandra, kemudian polisi yang terlibat kasus Jiwasraya?"

"Kami tidak lihat diperlakukan dengan diborgol seperti itu," ujar Yani.

Baca juga: UPDATE Kasus Covid-19 di Indonesia 16 Oktober 2020: Pasien Positif Melonjak 4.301 Jadi 277.544 Orang

Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap alasan menciduk tiga deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.

Syahganda Nainggolan ditangkap karena cuitan di akun Twitter pribadinya.

Diduga, unggahan tersebut berisi konten berita bohong alias hoaks.

Baca juga: Epidemiolog UI Tuding Pemerintah Berupaya Tekan Testing Covid-19 demi Pilkada Serentak 2020

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyebut Syahganda menyebarkan gambar dan narasi yang tidak sesuai kejadian di akun Twitternya.

Gambar yang disebarkan terkait aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law.

"Tersangka SN, dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh."

Baca juga: Mau Dilimpahkan ke Kejaksaan, Irjen Napoleon Bonaparte dan Tommy Sumardi Akhirnya Ditahan

"Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama kejadiannya."

"Contohnya ini. Ini kejadian di Karawang, tapi ini gambarnya berbeda," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Argo mengatakan ada sejumlah gambar yang dibagikan oleh Syahganda tidak sesuai kejadiannya.

Baca juga: ICW Duga Tiga Jaksa Penyidik Kasus Pinangki Melanggar Etik karena Tidak Lakukan Hal-hal Ini

Menurutnya, motif tersangka membagikan gambar itu di sosial media, karena mendukung aksi buruh.

"Ada beberapa dijadikan barang bukti penyidik dalam pemeriksaan. Juga ada macam-macam, tulisan dan gambarnya berbeda."

"Dan motifnya mendukung dan men-support demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya," terangnya.

Syahganda dijerat pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE, pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU 1/1946. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara.

Jumhur Hidayat

Jumhur Hidayat ditangkap terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitter.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyampaikan, Jumhur diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.

Baca juga: 55 Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Sembuh pada 14 Oktober 2020, Kecamatan Tenjo Jadi Zona Hijau

"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif."

"Investor dari RRT dan pengusaha rakus."

"Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," papar Argo.

Baca juga: MA Ungkap Keberadaan Kelompok Persatuan LGBT TNI-Polri, Mabes Polri Ogah Komentar

Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.

Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.

Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.

Baca juga: KSPI Tolak Ikut Bahas Aturan Turunan UU Cipta Kerja, Sebut Gelombang Aksi Buruh Bakal Membesar

"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kita tangani. Pola dari hasutan," jelasnya.

Dalam kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa handphone, KTP, harddisk, hingga akun Twitter milik Jumhur.

Polisi juga menyita spanduk, kaus hitam, kemeja, rompi, dan topi.

Jumhur Hidayat dijerat pasal 28 ayat 2 kita juncto pasal 45A ayat 2 UU 19/2016 tentang ITE, dan pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU 1/1946. Ancamannya hukumannya 10 tahun penjara.

Anton Permana

Anton Permana ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.

Dia melanggar pasal penyebaran informasi yang bersifat kebencian berdasarkan SARA.

Anton Permana menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia, di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.

Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Mazhab UU Cipta Kerja dari Kapitalisme Cina, Mengaku Sudah Ingatkan Jokowi

"Ini yang bersangkutan menuliskan di FB dan YouTube."

"Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali."

"Misalnya multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI jadi negara kepolisian republik Indonesia," papar Argo.

Baca juga: MAKI Ungkap Ada Oknum Penegak Hukum Hapus Chat di Handphone Saksi R, Dekat dengan Jaksa Pinangki

Anton Permana juga menggunggah status yang menyebutkan Omnibus Law sebagai bukti negara telah dijajah.

Selain itu, regulasi itu menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.

Menurutnya, unggahan itu sebagai bentuk penyebaran informasi bersifat kebencian dan SARA.

Baca juga: Setahun Lebih Kasus Senpi Ilegal Mengambang, Bareskrim Kembali Periksa Eks Danjen Kopassus Soenarko

"Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," beber Argo.

Dalam kasus ini, polisi menyita flashdisk, ponsel, laptop, dan dokumen-dokumen berisi screenshot dari media sosial.

Anton Permana dijerat pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 207 KUHP. Dengan ancaman penjara 10 tahun. (Seno Tri Sulistiyono)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved