Ali Mochtar Ngabalin: Yang Lebih Banyak Difitnah Buzzer Politik Adalah Pemerintah

Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, pemerintah lebih banyak menjadi korban oleh oknum-oknum buzzer di media sosial.

Warta Kota/Zaki Ari Setiawan
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin di Grand Zury BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (14/12/2018). 

TENAGA Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, pemerintah lebih banyak menjadi korban oleh oknum-oknum buzzer di media sosial.

Salah satunya, dengan penyebaran berita bohong alias hoaks.

Respons Ali Mochtar Ngabalin itu untuk menanggapi rencana Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menertibkan buzzer-buzzer di media sosial.

Mantan Ketua Baleg DPR Ini Meyakini Pembatasan Transaksi Tunai Bisa Hentikan Korupsi

Mantan Panglima TNI itu menilai kegiatan buzzer perlu ditinggalkan.

"Buzzer politik itu yang lebih banyak difitnah adalah pemerintah. Yang lebih banyak terpojok dan dibully itu adalah pemerintah."

"Jadi jangan juga memutarbalikkan fakta. Tidak ada satu kekuatan politik di dunia manapun yang tidak menggunakan media sosial," katanya, saat menghadiri diskusi di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Jumat (4/10/2019).

Jokowi Diusulkan Keluarkan Perppu Penangguhan UU KPK Hasil Revisi, Ini Tiga Keuntungannya

Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, banyak buzzer yang diorganisir untuk mencaci maki, menyebarkan berita bohong, menghujat dengan gerakan intoleransi, dan mencederai suku, agama, dan bangsa.

"Negara harus menertibkan (buzzer), harus. Tidak bisa tidak. Karena negara memiliki kekuasaan untuk bisa menertibkan keamanan dalam negeri."

"Kalau tidak kan bisa bubar. Coba lihat, karena berita hoaks orang jadi bunuh-bunuhan, orang jadi terbantai," paparnya.

Bersarang Sejak 1977, Pecahan Granat Nanas di Paha Kiri Kivlan Zen Bakal Diangkat Pekan Depan

Namun ketika disinggung penertiban juga berlaku untuk buzzer yang jadi pendukung pemerintah, ia enggan berpolemik.

Ali Mochtar Ngabalin hanya memastikan, pemerintah tidak pernah mengoordinir jasa buzzer untuk membela kepentingan pemerintah.

"Tidak mungkin pemerintah mengorganisir, tidak mungkin."

Bakal Calon Ketua Umum PSSI Ini Janji Datangkan Sven-Goran Eriksson untuk Tukangi Timnas Indonesia

"Bagaimana bisa itu lembaga negara, lembaga pemerintah bisa mengorganisir lembaga di luar pemerintah?"

"Dia punya departemen, penerangan, ada badan sandi siber negara," paparnya.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai buzzer atau orang yang mampu mempengaruhi pengikutnya lewat media sosial, sudah tidak diperlukan lagi.

Pendopo Rumahnya Jadi Tempat Nikah Warga, Anies Baswedan: Dari Awal Didesain Bisa Dipakai Masyarakat

"Dalam situasi ini, bahwa relatif sudah tidak perlu lagi buzzer-buzzeran," ujar Moeldoko di Jakarta, Jumat (4/10/2019).

Moeldoko mengaku telah mengimbau para buzzer pendukung Presiden Jokowi, yang selama ini tidak pernah dibentuk secara administrasi, agar tidak menyampaikan pesan yang menyakiti pihak lain.

 DAFTAR Lengkap Panglima TNI Sejak Tahun 1945: Mayoritas dari Angkatan Darat

"Tapi yang diperlukan adalah dukungan-dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif."

"Karena kalau buzzer ini selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar, tidak enak di hati, dan itu sudah tidak perlu," paparnya.

"Partai politik itu sudah bersepakat untuk berkoloborasi, maka saya berharap buzzer dari segala penjuru juga harus menurunkan egonya."

 Moeldoko: Bukan Mahasiswa Saja yang Didengar Presiden, Semua Harus Dipikirkan

"Menurunkan apa itu semangat yang berlebihan dan seterusnya. Semangat untuk membangun kebencian harus dihilangkan," sambungnya.

Mantan Panglima TNI itu pun menilai buzzer yang menyampaikan informasi negatif, dapat merugikan pihak yang didukungnya.

Oleh sebab itu, ia pun berharap narasi positif disebarkan dan tanpa emosi.

 Ali Mochtar Ngabalin: Perusuh Harus Kita Bantai Bareng-bareng Sesuai Konstitusi

"Ya kita melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan, jadi ya yang perlu dibangun emosi positif lah," papar Moeldoko.

Sebelumnya, kelakuan fans fanatik alias buzzer (pendengung) Presiden Jokowi menjadi sorotan.

Terlebih, belakangan mereka membela mati-matian idolanya itu, meski Pilpres 2019 sudah selesai.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ‎menjelaskan, buzzer tersebut dulunya merupakan para relawan dan pendukung fanatik Jokowi saat Pilpres 2019.

 Duh! UU KPK Hasil Revisi Ternyata Banyak Typo, Pihak Istana Sampai Minta Klarifikasi ke DPR

Mereka juga tidak satu komando dalam beraktivitas di media sosial.

"Memang buzzer ini tidak dalam satu komando, tidak dalam satu kendali."

"‎Masing-masing punya inisiatif, tidak ingin idolanya diserang akhirnya bereaksi," ucap Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (3/10/2019).

 BNI-ITB Ultra Marathon Digelar Lagi, Kali Ini Jaraknya Ditambah Jadi 200 Kilometer!

Moeldoko meminta para buzzer bersikap dewasa, mencari diksi, dan menata ulang cara komunikasi yang tepat, dengan tidak menyerang apalagi menjelekkan pihak mana pun.

Bahkan, menurut Moeldoko, buzzer-buzzer ini harusnya ditinggalkan karena Pemilu 2019 sudah selesai.

"‎Pakailah bahasa-bahasa persaudaraan, kritik sih kritik, tapi harus dengan bahasa yang baik."

 Air Bersih di Ibu Kota Baru Bisa Langsung Diminum, Bisa Tampung Hingga 3 Juta Penduduk

"Karena kadang-kadang tidak enak juga didengar."

"Saya sudah sering bilang, jangan seperti itu."

"Jangan politik itu yang dikembangkan, kalau boleh politik kasih sayang. Itu lebih bagus lagi," tuturnya.

 Konflik Tidak Bisa Selesai dengan Dialog, Putra Imam Masjid Ini Tawarkan Enam Resolusi untuk Papua

Mantan Panglima TNI ini juga tertawa saat dikonfirmasi namanya yang disebut-sebut sebagai 'kakak pembina para buzzer.'

Moeldoko mengamini memang memiliki akun media sosial, tapi tidak pernah dibuka.

Moeldoko ‎malah banyak mendapat informasi dari orang lain.

 Sayangkan Mahasiswa Tolak Bertemu Jokowi, Menristekdikti: Sekarang Tidak Ada yang Bisa Disembunyikan

Secara tegas, dia membantah KSP disebut mengomandani para buzzer.

"Yang mana lagi? Saya belum pernah baca itu (kakak pembina buzzer)," ucap Moeldoko.

MUI Haramkan Buzzer

Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi menegaskan, para buzzer atau penyebar informasi negatif, masuk kategori profesi haram.

Zainut merujuk kepada fatwa tentang hukum dan pedoman bermualamah di media sosial, khususnya bagi para buzzer.

"Setiap muslim yang bermuamalah dilarang menyebarkan SARA dan ini diharamkan."

Baca: Tak Semua Anggota Muslim Cyber Army Bisa Jadi Tersangka

Kegiatan buzzer di media sosial yang menyebarkan informasi yang berbahan gosip sebagai profesi, diharamkan dan dilarang," ujar Zainut di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (5/3/2018).

Tak berbeda pula dengan orang yang memanfaatkan jasa buzzer atau mereka yang menyandang dana bagi buzzer tersebut.

Bagi Zainut, keduanya sama saja dengan para penyebar hoax, lantaran mendukung dan mendanai penyebaran isu tersebut.

Baca: Ketua Umum PBNU Tegaskan Aksi Muslim Cyber Army Bertentangan dengan Ajaran Alquran

Oleh karena itu, ia meminta Polri segera mengusut tuntas kasus ini.

Menurutnya, penyebaran hoaks ini memecah belah persatuan bangsa dan menimbulkan keresahan.

"Hal ini tidak dibenarkan menurut syariat Islam, karena dapat menimbulkan keresahan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara," tuturnya.

Baca: Admin Muslim Cyber Army: Saya Menyesal

Sebelumnya, Kasatgas Nusantara Irjen Pol Gatot Eddy Pramono mengungkap adanya motif politik dari kelompok Muslim Cyber Army (MCA) dan eks Saracen dalam menyebarkan isu-isu provokatif.

"Apa yang dilakukan oleh kelompok ini (MCA dan Eks Saracen) motifnya adalah motif politik," tegas Gatot di Rupatama Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (5/3/2018).

Menurutnya, dengan menyebar isu hoaks, kelompok tersebut berpikir akan bisa menjegal Pemerintah Indonesia.

 Dituntut Istri Harus Selalu Bawa Uang Tiap Hari, Buruh Bangunan Curi Helm di Parkiran

Apalagi, kata dia, penyebaran isu hoaks dilakukan memasuki tahun politik, yaitu pilkada serentak dan pilpres yang rawan konflik.

"(Isu hoaks akan) Menimbulkan keresahan masyarakat, ulama, dan timbul ketakutan serta timbul konflik sosial yang besar."

"Bahwa kemudian masyarakat akan berpikir jika pemerintah tidak bisa mengelola negara dan konflik yang lebih besar akan terjadi. (Ini berpotensi) memecah belah bangsa," paparnya. (Igman Ibrahim)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved