Buronan Kejaksaan Agung
Dukung Polri Bersih-bersih, Kompolnas Setuju Dua Jenderal yang Disuap Djoko Tjandra Dipecat
Ia menuturkan, anggota Polri yang terlibat kasus hukum tidak hanya harus tunduk terhadap peradilan umum.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Kompolnas mendukung Polri memberikan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, usai divonis bersalah dalam kasus suap Djoko Tjandra.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyampaikan, pemecatan tersebut sebagai bentuk upaya Polri mereformasi kultural internalnya.
Apalagi, keduanya terlibat dalam kasus mafia hukum yang mencoreng nama baik Polri.
Baca juga: Dianggap Berjasa dalam Kemajuan MA, Hakim Cuma Vonis Nurhadi 6 Tahun Penjara
"Kompolnas mendukung pimpinan Polri untuk melakukan bersih-bersih di internal Polri, sebagai bagian dari upaya melaksanakan reformasi kultural Polri."
"Kompolnas mendorong dijatuhkannya sanksi etik terberat PTDH bagi anggota yang terlibat mafia hukum," kata Poengky saat dikonfirmasi, Kamis (11/3/2021).
Ia menuturkan, anggota Polri yang terlibat kasus hukum tidak hanya harus tunduk terhadap peradilan umum.
Baca juga: Kasus Unlawful Killing 6 Anggota FPI Naik Status ke Penyidikan, 3 Polisi Belum Jadi Tersangka
Akan tetapi, diwajibkan untuk tunduk pada aturan internal Polri dalam bentuk kode etik dan disiplin.
Dalam kasus ini, Napoleon-Prasetijo yang sudah dijatuhi vonis hukuman penjara oleh majelis hakim, harus menjalankan sanksi etik yang juga akan dijatuhkan kepada mereka.
"Sebelum dijatuhkan sanksi, maka akan ada pemeriksaan terlebih dahulu, dan ditindaklanjuti dengan sidang komite kode etik untuk mengadili," jelasnya.
Baca juga: Kasus Unlawful Killing Disidik Bareskrim, FPI Berharap Pelaku dan Komandannya Jadi Tersangka
Sanksi hukuman bagi pelanggaran kode etik terdapat di Perkap 14/2021 tentang kode etik profesi Polri.
Dalam beleid pasal 21, ancaman hukuman tertinggi adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
"Kasus ini merupakan kasus besar terkait mafia hukum yang mencoreng nama baik institusi Polri."
Baca juga: ICW Nilai Dua Jenderal Polri di Kasus Djoko Tjandra Harusnya Dibui Seumur Hidup, Ini 3 Alasannya
"Oleh karena itu pasti akan ditindaklanjuti oleh pengawas internal Polri dengan menggelar sidang kode etik, jika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap."
"Yang artinya sudah menerima putusan dan tidak banding," ucapnya.
Sementara, Propam Polri menyebut Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte bisa saja diproses pemecatan.
Namun, ada sejumlah syarat atau pertimbangan yang harus terpenuhi.
Pertimbangan tersebut dimaksudkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri. Aturan itu termaktub dalam pasal 12 ayat 1 UU tersebut.
Baca juga: Bandingkan dengan Pinangki, Boyamin Saiman Nilai Vonis Brigjen Prasetijo Utomo Terlalu Ringan
"Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia."
"Apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap," kata Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Kamis (11/3/2021).
Tak hanya itu, kata Sambo, pertimbangan PTDH personel Polri itu nantinya akan ditentukan oleh pejabat yang berwenang.
Baca juga: Selasa 16 Maret 2021, Rizieq Shihab Bakal Jalani 3 Sidang Perdana dalam Satu Hari
Kegiatan PTDH itu dilakukan setelah melalui sidang komisi kode etik profesi Polri.
"(Pemecatan) Menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia," jelasnya.
Lebih lanjut, Sambo menyatakan pihaknya masih menunggu kasus kedua jenderal Polri itu memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah).
Baca juga: Setelah Divonis 3 Tahun 6 Bulan Penjara, Brigjen Prasetijo Utomo Bakal Disidang Kode Etik
Nantinya, Propam akan menjalankan tahapan sidang kode etik dan profesi (KKEP).
"Polri masih menunggu putusan ikrah, yaitu apakah yang bersangkutan banding atau tidak."
"Bila yang bersangkutan menerima putusan tersebut, maka Polri akan segera melaksanakan Sidang KKEP."
Baca juga: Setahun Pandemi Covid-19, Satgas: Jangan Frustasi, Move On! Tetap Lakukan 3M Sampai Musuh Kalah
"Kalau menerima, Divisi Propam Polri akan segera melakukan pemeriksaan dan pemberkasan sebelum melaksanakan sidang KKEP," paparnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo, dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, serta denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Vonis ini diketahui lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 2 tahun 6 bulan penjara.
Setelah majelis hakim membacakan putusan, Prasetijo diminta menanggapi.
Baca juga: Lebih Berat dari Tuntutan JPU, Brigjen Prasetijo Utomo Divonis 3 Tahun 6 Bulan Penjara
Dalam tanggapannya, Prasetijo mengaku menerima semua hukuman yang diberikan.
"Saya menerima yang mulia," kata Prasetijo menanggapi vonisnya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3/2021).
Sementara, majelis hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan, kepada Irjen Napoleon Bonaparte.
Baca juga: Selasa 16 Maret 2021, Rizieq Shihab Bakal Jalani 3 Sidang Perdana dalam Satu Hari
Eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, berupa penerimaan suap dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Napoleon terbukti menerima suap 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.
Tujuan pemberian uang dimaksudkan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar DPO atau red notice Interpol.
Baca juga: Jangan Khawatir, Penderita Long Covid-19 Tak Bakal Menularkan Virus kepada Orang Lain
"Menyatakan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata hakim ketua Muhammad Damis membaca amar putusan, Rabu (10/3/2021).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karenanya dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan," sambungnya.
Hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan vonis Napoleon.
Baca juga: Polisi Virtual Tegur 79 Akun Medsos Berpotensi Langgar UU ITE, Kebanyakan Unggah Sentimen Pribadi
Di antaranya, Napoleon tidak mendukung program pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Perbuatan Napoleon yang merupakan anggota Polri dinilai bisa menurunkan citra, wibawa, dan nama baik kepolisian.
Napoleon juga dianggap lempar batu sembunyi tangan karena tidak mengaku dan menyesali perbuatannya.
Baca juga: Lagi Dengar Pendapat Publik, Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas 2021
"Perbuatan terdakwa sebagai anggota Polri dapat menurunkan citra, wibawa, nama baik kepolisian."
"Lempar batu sembunyi tangan, sama sekali tidak menyesali perbuatan," ucap Damis.
Sedangkan hal meringankan vonis, Napoleon berlaku sopan selama persidangan.
Baca juga: PTTUN Anulir Putusan PTUN Soal Jaksa Agung Salah Bilang Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat
Dia belum pernah dijatuhi pidana, dan telah mengabdi menjadi anggota Polri selama lebih dari 30 tahun, serta punya tanggung jawab keluarga.
"Terdakwa berlaku sopan selama persidangan, belum pernah dijatuhi pidana sebelumnya, mengabdi anggota Polri lebih dari 30 tahun, punya tanggung jawab keluarga, selama persidangan terdakwa tertib," beber Damis.
Atas perbuatannya, Napoleon dianggap melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU 31/1999, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Igman Ibrahim)