Korupsi

Djuyamto Sebut Uang Suap Rp 6,7 Miliar Dipakai Bangun Kantor NU dan Wayang, Minta Keringanan Hukuman

Hakim non aktif, Djuyamto, terdakwa penerima suap vonis lepas ekspor minyak CPO (crude palm oil/CPO) menyebutk uang suapnya dipakai bangun kantor NU

Istimewa
SUAP HAKIM DJUYAMTO - Hakim non aktif, Djuyamto selaku terdakwa penerima suap vonis lepas ekspor minyak goreng CPO (crude palm oil/CPO) menyebutkan bahwa uang suap yang diterimanya sebesar Rp 6,7 miliar digunakannya untuk membangun kantor cabang NU di Kartasura, jawa Tengah dan mengadakan pagelaran wayang, tanpa dipakai untuk kepentingan pribadi. 

Ringkasan Berita:
  • Hakim nonaktif Djuyamto mengaku menerima suap sebesar Rp6,7 miliar terkait vonis lepas ekspor minyak goreng CPO, namun menyatakan uang itu digunakan untuk membangun kantor MWC NU Kartasura serta kegiatan budaya bukan untuk kepentingan pribadi. 
  • Dalam pleidoinya di PN Jakarta Pusat, Djuyamto membantah dakwaan jaksa yang menyebut jumlah suap mencapai Rp9,5 miliar dan menegaskan dirinya pasif
  • Ia meminta keringanan hukuman karena mengaku bersalah dan telah menerima sanksi sosial atas perbuatannya.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Hakim non aktif, Djuyamto selaku terdakwa penerima suap vonis lepas ekspor minyak goreng CPO (crude palm oil/CPO) menyebutkan bahwa uang suap yang diterimanya sebesar Rp 6,7 miliar digunakannya untuk membangun kantor cabang NU di Kartasura, jawa Tengah dan mengadakan pagelaran wayang, tanpa dipakai untuk kepentingan pribadi.

Djuyamto diketahui menerima uang hasil suap dari kuasa hukum korporasi minyak goreng, Marcella Santoso, melalui Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Arif Nuryanta.

Dalam pleidoinya yang dibacakan langsung, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (5/11/2025), Djuyamto mengaku ikut membangun kantor Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Kartasura dengan uang sebanyak Rp 5.650.000.000 atau sekitar Rp 5,6 miiar, dari suap yang didapatnya.

Baca juga: KPK Tangkap Menas Erwin Djohansyah Terkait Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan

Djuyamto juga mengatakan menggunakan uang suap untuk pagelaran wayang sebanyak empat kali serta pelestarian benda pusaka seperti keris sebanyak Rp 1.500.000.000 atau sekitar Rp 1,5 miliar.

"Jumlah uang yang diterima terdakwa dari saksi Muh Arif Nuryanta dipakai terdakwa untuk membantu atau support kegiatan keagamaan atau seni budaya, bukan untuk kepentingan pribadi terdakwa," kata Djuyamto dalam pleidoinya yang ia bacakan langsung.

Menurut Djuyamto, dalam pleidoinya ia menyalahkan jaksa penuntut umum karena mengedepankan asumsi dalam menghitung jumlah uang suap yang diterimanya. 

Djuyamto mengatakan jumlah suap yang diterimanya Rp 6,7 miliar, bukan Rp 9,5 miliar sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

"Penghitungan jumlah penerimaan oleh terdakwa versi jaksa penuntut umum tersebut didasarkan atas asumsi belaka yang tidak berdasarkan fakta nyata di persidangan dan tidak menghargai kejujuran terdakwa pada saat penyidikan," ujarnya.

Djuyamto juga mengaku pasif dalam menerima uang suap tersebut. 

Artinya kata Djuyamto dia tidak meminta atau memaksa Marcella dan kroninya untuk diberikan uang tersebut.

"Di mana baik penerimaan yang pertama pada awal Juni 2024, maupun penerimaan pada awal Oktober 2024, sama sekali tidak ada diawali dari permintaan dari Majelis Hakim," tegas Djuyamto.

Baca juga: Ada Kesibukan Lain, Bupati Pati Sadewo Mangkir dari Panggilan KPK soal Kasus Suap di DJKA

Karenanya atas dasar semua itu, kata Djuyamto, dirinya meminta keringanan hukuman dari majelis hakim.

Djuyamto mengaku bersalah dan menyebut telah mendapatkan hukuman dan sanksi sosial atas perbuatannya.

"Tapi terdakwa yakin dan percaya bahwa ijtihad majelis hakim untuk menghadirkan putusan seadil-adilnya adalah berdasarkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," jelas Djuyamto.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana 12 tahun penjara terhadap Djuyamto dan dua hakim lainnya yang menerima suap dengan menjatuhkan vonis lepas (onslag) terhadap kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah.

Jaksa juga menuntut Djuyamto membayar uang pengganti Rp 9,5 miliar dengan subsider kurungan 5 tahun.

Selain itu JPU menuntut Djuyamto denda Rp500 juta yang dapat diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan, jika tidak membayar denda.

 

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News dan WhatsApp

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved