Hari Pahlawan

Penilaian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Harus Berdasarkan Fakta Sejarah

Penilaian terhadap Soeharto harus objektif. Ia menyebut, bangsa besar tak boleh terjebak pada dendam politik masa lalu.

Editor: Dwi Rizki
Kompas.com
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Jenderal Besar Soeharto berbincang dengan Jenderal Besar AH Nasution, sesaat sebelum menerima ucapan selamat pada acara silaturahmi di Istana Negara, Gambir, Jakarta Pusat pada Minggu (5/10/2007) siang. Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya dilihat dari perspektif sejarah dan kontribusi nyata, bukan berdasarkan sentimen politik. 

Ringkasan Berita:
  • Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir menilai gelar pahlawan nasional untuk Soeharto harus berdasar fakta sejarah. 
  • Ia menyebut Soeharto berperan besar dalam stabilisasi nasional, pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, dan penguatan ekonomi rakyat.
  • Menurutnya, pemberian gelar kepada Soeharto bisa menjadi simbol kedewasaan bangsa dalam memisahkan emosi dari penilaian historis.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya dilihat dari perspektif sejarah dan kontribusi nyata, bukan berdasarkan sentimen politik.

“Gelar pahlawan nasional bukan soal suka atau tidak. Ini soal menilai jasa seseorang secara objektif. Kalau setiap luka pribadi dijadikan alasan, maka bangsa ini akan kehilangan kemampuan untuk mengakui jasa tokohnya,” ujar Aldi dalam siaran tertulis pada Minggu (9/11/2025).

Menurut Aldi, bangsa yang besar tidak boleh membiarkan sejarah ditutupi oleh dendam politik atau persepsi subjektif. 

Ia menilai, Soeharto memiliki kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional, seperti stabilisasi politik dan ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar, ketahanan pangan, serta penguatan ekonomi rakyat.

“Tentu saja sejarah tidak bisa dilepaskan dari kritik. Tapi mengabaikan jasa besar Soeharto hanya karena kontroversi politik masa lalu adalah pendekatan yang tidak adil,” kata Aldi yang juga merupakan kader Gerakan Muda Demokrasi (GMD).

Ia menyoroti risiko munculnya 'politik dendam' apabila keputusan kenegaraan didasarkan pada pertimbangan pribadi atau pengalaman keluarga. 

“Jika alasan pribadi menjadi faktor utama penolakan, ini bisa menimbulkan politik dendam yang menghambat rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

Aldi mencontohkan beberapa tokoh bangsa yang dinilainya mampu bersikap bijak terhadap sejarah. 

“Kita sudah melihat pemimpin seperti Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan Presiden Prabowo yang bisa menghormati tokoh masa lalu sekaligus tetap kritis. Itu contoh keteladanan,” katanya.

Lebih lanjut, Aldi menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa menjadi simbol kedewasaan bangsa. 

Ia menegaskan, pengakuan terhadap jasa tokoh sejarah tidak berarti menghapus kritik terhadap masa lalu.

“Ini bukan soal menyucikan sejarah atau menghapus kesalahan. Ini soal menghormati fakta, mengakui jasa, dan menunjukkan bahwa bangsa ini cukup dewasa untuk memisahkan emosi dari penilaian historis,” pungkasnya.

Gelar Pahlawan Soeharto Dinilai Harus Objektif

Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto kian berpolemik.

Pro dan kontra disampaikan sejumlah tokoh nasional atas pemberian penghormatan tersebut.

Ketua Pusat Studi Kekayaan Alam (Pusaka), Ronny Setiawan angkat bicara.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved