Hari Pahlawan

Cenares Indonesia Nilai Penghormatan pada Pemimpin Masa Lalu Cermin Kebesaran Bangsa

Cenares Indonesia Nilai Penghormatan pada Pemimpin Masa Lalu Cermin Kebesaran Bangsa

Istimewa
POLEMIK GELAR PAHLAWAN -- Direktur Eksekutif Center for Strategic Studies on National Resilience (Cenares) Indonesia, Raden Umar, mengimbau para elit politik untuk menanggapi polemik seputar pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, dengan cara yang lebih dewasa dan konstruktif. Menurut Umar, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberi penghormatan kepada tokoh-tokoh masa lalunya tanpa harus menafikan luka sejarah. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center for Strategic Studies on National Resilience (Cenares) Indonesia, Raden Umar, mengimbau para elit politik untuk menanggapi polemik seputar pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, dengan cara yang lebih dewasa dan konstruktif.

Menurut Umar, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberi penghormatan kepada tokoh-tokoh masa lalunya tanpa harus menafikan luka sejarah.

“Penghormatan kepada pemimpin masa lalu adalah cermin kebesaran bangsa. Kita bisa tetap kritis terhadap sejarah, tetapi tidak boleh kehilangan rasa hormat kepada mereka yang pernah berbuat untuk negeri ini,” ujar Umar dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).

Baca juga: Soeharto Wajib Ganti Rugi Rp 4,4 Trilun dan Otak 12 Pembantaian Massal, Guntur: Dijadikan Pahlawan? 

Umar menilai, pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dengan alasan luka sejarah, menunjukkan bahwa sebagian elit bangsa masih belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya.

“Kalau bangsa ini terus melihat masa lalu dengan kacamata dendam, maka yang muncul bukan pembelajaran sejarah, melainkan luka yang terus diwariskan,” katanya.

Menurut Umar, sikap seorang pemimpin seharusnya mencerminkan kemampuan untuk memutus rantai dendam sejarah, bukan memperpanjangnya.

Ia mengingatkan bahwa pengakuan terhadap jasa seorang tokoh tidak berarti menghapus kritik terhadap kebijakannya.

“Pemimpin sejati mampu memisahkan antara objektivitas sejarah dan subjektivitas politik. Mengakui jasa Soeharto dalam pembangunan, ketahanan pangan, dan stabilitas nasional tidak berarti menutup mata terhadap sisi gelap masa pemerintahannya,” tutur Umar.

Ia menambahkan, pengakuan terhadap jasa tokoh-tokoh nasional, termasuk Soeharto, justru dapat menjadi simbol rekonsiliasi dan kebesaran bangsa Indonesia.

“Memberi penghargaan kepada mereka yang pernah berjasa, meski pernah berseberangan pandangan, adalah bukti bahwa kita sudah dewasa dalam bernegara. Hanya bangsa yang berdamai dengan sejarahnya yang mampu melangkah maju,” tegasnya.

Umar menyerukan agar semua pihak melihat momentum ini bukan sebagai perdebatan politik, tetapi sebagai refleksi moral dan kebangsaan.

“Kita tak sedang membicarakan masa lalu semata, melainkan masa depan yang ingin kita bangun di atas fondasi rekonsiliasi dan penghargaan terhadap sejarah,” pungkasnya.

Sementara itu politisi PDI Perjuangan Mohamad Guntur Romli mengaku semakin tidak mengerti dengan negara ini dan sejumlah pihak yang mendukung Presiden ke 2 RI Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional.

Sebab kata Guntur banyak sekali kejahatan Soeharto di era Orde Baru yang menyakiti hati rakyat.

Mulai dari mencuri uang rakyat atau korupsi sampai dengan pembantaian massal dan penghilangan aktivis demokrasi.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved