Hari Pahlawan

Soal Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Soeharto, Dosen IAIN Kendari: Harus Dilihat Objektif

Pemberian gelar pahlawan nasional diharapkan tidak dilihat semata-mata dari sudut politik atau luka masa lalu, tetapi harus dilihat secara objektif

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
PAHLAWAN - Presiden pertama RI, Seokarno dan Soeharto. Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, La Ode Anhusadar menilai pemberian gelar pahlawan nasional tidak dilihat semata-mata dari sudut politik atau luka masa lalu, tetapi harus dilihat secara utuh menurut sejarah dengan semangat rekonsiliasi nasional. 

Ringkasan Berita:
  • Akademisi IAIN Kendari, La Ode Anhusadar, menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto harus dilihat dari sejarah utuh, bukan politik atau luka masa lalu.
  • Ia menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional; mengungkit kesalahan masa lalu hanya akan memperpanjang luka sosial bangsa.
  • Rekonsiliasi berarti menghormati korban sejarah sekaligus mengakui jasa tokoh besar bangsa, termasuk Soeharto, sebagai pelajaran untuk masa depan.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto ditanggapi Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, La Ode Anhusadar.

Dirinya menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional tidak dilihat semata-mata dari sudut politik atau luka masa lalu. 

Akan tetapi, harus dilihat secara utuh menurut sejarah dengan semangat rekonsiliasi nasional.

Menurut La Ode, sikap saling menegasikan jasa dan mengungkit keselahan hanya akan memperpanjang luka sosial bangsa. 

“Kita perlu memandang sejarah secara objektif dan tidak membiarkan emosi menghalangi pemahaman kita tentang masa lalu. Dendam dan kebencian tidak akan pernah membawa perdamaian,” jelas Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan itu.

Ia menekankan pentingnya sikap bijak dalam menghadapi perbedaan memori sejarah antara generasi dan kelompok politik.

Baca juga: Ainun Najib: Jika Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Jokowi Harus Dinobatkan Pahlawan Super

“Rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi menjadikannya pelajaran untuk masa depan. Kita bisa menghormati korban sejarah sekaligus mengakui jasa tokoh-tokoh besar bangsa, termasuk Soeharto,” tambahnya.

“Perdamaian yang sejati tidak akan lahir dari slogan, tetapi dari keberanian mengakui kesalahan, meminta maaf, dan bekerja sama membangun masa depan yang lebih baik,” ungkapnya.

Menurutnya, perdebatan mengenai gelar pahlawan Soeharto mestinya tidak dilihat sebagai ajang pro dan kontra, melainkan sebagai momentum untuk menguji kedewasaan bangsa dalam memaknai sejarah.

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya tanpa menghapus satu sisi pun dari kebenaran sejarahnya,” tutup La Ode Anhusadar.

Hal serupa disampaikan Ketua Pusat Studi Kekayaan Alam (Pusaka), Ronny Setiawan.

Dirinya menilai pemberian gelar pahlawan itu seharusnya dipandang secara objektif dan berkeadilan sejarah.

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menilai pemimpinnya secara utuh, tidak hanya dari luka masa lalu, melainkan juga dari jasa dan kontribusi yang nyata bagi negara," kata Rony dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (9/11/2025). 

Ia mengungkapkan Soeharto adalah bagian dari sejarah besar Indonesia yang telah membawa negara ini melalui masa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi selama lebih dari tiga dekade. 

Meski kepemimpinannya tidak luput dari kontroversi, jasa dan kontribusinya terhadap fondasi pembangunan nasional tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved