Dewas KPK Tolak Proses Dugaan Lili Langgar Etik, Eks Pegawai: Bubarkan Saja, Gaji Gede Manfaat Minim

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sujanarko, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, menilai Dewan Pengawas KPK tidak memahami fungsinya, karena menolak menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar.

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Sujanarko, mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, menilai Dewan Pengawas KPK tidak memahami fungsinya, karena menolak menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar.

"Ini Dewas ngaco banget. Dewas tidak paham fungsinya."

"Bahkan pengawas internal lembaga sekecil apapun pasti menyelidiki aduan, bukan penyelidikan dalam rangka menemukan pidana, tetapi pelanggaran etik," kata Sujanarko, Sabtu (23/10/2021).

Baca juga: Penumpang Pesawat Wajib Tes PCR, YLKI: Munculkan Praduga Jadi Lahan Bisnis

Bahkan, menurut mantan Direktur Pembinaan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK itu, Dewas KPK telah berkali-kali melakukan pemeriksaan yang tak diatur regulasi.

Ia menyebut Dewas KPK seperti tidak bersemangat jika ada aduan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK.

"Bahkan pelapornya saja tidak dipanggil untuk diminta keterangan."

Baca juga: Elektabilitas Ganjar Imbangi Prabowo, Sekjen PDIP: SBY Dulu Surveinya Juga Tinggi, tapi?

"Saya melihat Dewas seperti tidak senang dan kurang bersemangat melihat ada aduan ke pimpinan KPK," tutur Sujanarko.

Sujanarko pun meminta Dewas segera dievaluasi.

Sebab, jika dibandingkan dengan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) yang kini sudah tiada, kinerja Dewas tak ada apa-apanya.

Baca juga: Mahfud MD Bilang Korban Pinjol Ilegal Tak Usah Bayar Pinjaman, Pengamat: Utang Harus Tetap Dibayar

"Dewas dibubarkan saja, tak ada guna. Gaji Dewas sudah sangat gede, manfaat minim," tegasnya.

Sebelumnya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menerima laporan dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.

Namun, anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris menyebut, aduan yang diberikan dua mantan penyidik, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata itu, masih sumir.

Hal tersebut membuat Dewan Pengawas KPK tidak akan menindaklanjuti laporan itu.

Baca juga: Demokrat Curiga Gugatan Mantan Kader ke PTUN Berniat Ganggu Verifikasi Parpol untuk Pemilu 2024

"Semua laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik yang masih sumir, tentu tidak akan ditindaklanjuti oleh Dewas," kata Haris saat dikonfirmasi, Jumat (22/10/2021).

Haris mengatakan, dalam laporan Novel dan Rizka, tidak dijelaskan perbuatan Lili Pintauli Siregar yang mengarah pada dugaan pelanggaran etik.

Setiap laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh insan KPK, lanjut Haris, harus menjelaskan fakta perbuatannya, kapan dilakukan, siapa saksinya, dan bukti-bukti awalnya.

Baca juga: Kapolri Targetkan Vaksinasi Covid-19 Stabil di Angka 2 Juta Dosis per Hari

"Jika diadukan bahwa LPS (Lili Pintauli Siregar) berkomunikasi dengan kontestan Pilkada 2020 di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), ya harus jelas apa isi komunikasi yang diduga melanggar etik tersebut," tutur Haris.

Sebelumnya, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata melaporkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Kamis (21/10/2021).

Laporan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu terkait pelanggaran kode etik dan perilaku Lili, yang diduga melakukan komunikasi dengan calon bupati Labuhanbatu Utara (Labura) pada Pilkada Serentak 2020, Darno.

"Selanjutnya kami mempercayakan kepada Dewas Pengawas untuk proses-proses selanjutnya demi kepentingan keberlangsungan dan keberlanjutan Komisi Pemberantasan Korupsi."

Baca juga: Durasi Jabatan Presiden Lama dan Baru Tak Boleh Terlampau Jauh untuk Hindari Kegaduhan Politik

"Integritas organisasi KPK, dan gerakan pemberantasan korupsi," tulis Novel dan Rizka, dikutip dari surat pengaduan dugaan pelanggaran etik Lili kepada Dewas KPK yang ditandatangani keduanya, Kamis (21/10/2021).

Informasi dugaan komunikasi itu diperoleh berdasarkan penyidikan perkara suap yang menjerat mantan Bupati Labuhanbatu Utara Kharuddin Syah Sitorus.

Novel dan Rizka merupakan dua eks penyidik KPK yang menangani perkara tersebut.

Baca juga: Pemerinah Bolehkan Anak di Bawah Usia 12 Tahun Naik Pesawat, Wajib Tes PCR

"Fakta ini juga kami sampaikan dalam persidangan etik dengan terlapor LPS (Lili Pintauli Siregar)."

"Di mana dugaan perbuatan Saudari LPS saat itu adalah berkomunikasi dengan salah satu kontestan Pilkada Serentak Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) yaitu Saudara Darno," bunyi lanjutan surat tersebut.

Dalam komunikasi tersebut, Darno diduga meminta kepada Lili agar eksekusi penahanan Khairuddin Syah selaku tersangka dipercepat sebelum Pilkada Serentak 2020 digelar.

Baca juga: Anies Dideklarasikan Sebagai Capres 2024, PKS Tetap Dorong Salim Segaf Al-Jufri ke Pentas Nasional

Diduga permintaan itu bertujuan untuk menjatuhkan perolehan suara anak Kharuddin Syah, Hendri Yanto Sitorus, yang turut mencalonkan diri sebagai Bupati Labuhanbatu Utara.

Dugaan komunikasi antara Lili dan Darno tersebut telah disampaikan Khairuddin kepada Novel dan Rizka.

"Khairuddin Syah juga menyampaikan kepada pelapor bahwa dirinya memiliki bukti-bukti berupa foto-foto pertemuan antara terlapor dengan Saudara Darno dimaksud," demikian surat laporan itu.

Baca juga: UPDATE Covid-19 Indonesia 21 Oktober 2021: 633 Orang Positif, 1.372 Pasien Sembuh, 43 Wafat

Novel dan Rizka mengaku telah menyerahkan sejumlah bukti pendukung menyangkut dugaan pelanggaran etik Lili tersebut, dan sudah diterima Sekretariat Dewas pada 12 Agustus 2021.

Namun, berdasarkan Putusan Dewas Nomor 5/Dewas/Etik/07/2021 tertanggal 30 Agustus 2021 terkait putusan etik Lili Pintauli Siregar, menurut Novel dan Rizka, dugaan pelanggaran etik Lili dalam perkara Labuhanbatu Utara tersebut tidak disinggung.

Putusan itu hanya menyinggung soal pelanggaran etik Lili dalam perkara Tanjungbalai.

Baca juga: PPP Pertimbangkan Sejumlah Gubernur di Jawa dan Menteri Jadi Capres 2024

Padahal, dalam surat pelaporannya, Novel dan Rizka mengaku sudah memberikan keterangan klarifikasi tertulis yang menyatakan Lili diduga juga terlibat dalam pengurusan perkara Labuhanbatu Utara.

Atas hal itu, Novel dan Rizka memutuskan untuk melaporkan dugaan pelanggaran etik Lili dalam perkara Labuhanbatu Utara kepada Dewas KPK.

"Sehingga pelapor kemudian menyampaikan pengaduan ini kepada Dewas Pengawas," demikian surat pelaporan Novel dan Rizka.

Masih Dapat Rp 87,65 Juta per Bulan

Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan, kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.

Dewas KPK menyatakan Lili terbukti melanggar etik dan pedoman perilaku, lantaran menyalahgunakan pengaruh sebagai pimpinan KPK dan berkomunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial.

Padahal, KPK sedang mengusut dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Tanjungbalai yang menyeret nama Syahrial.

Baca juga: Yahya Waloni dan Muhammad Kece Ditangkap, Ketum PA 212: Siapapun Tidak Boleh Menistakan Agama

"Menghukum terperiksa dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatarongan Panggabean, di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Senin (30/8/2021).

Meski gajinya dipotong 40 persen selama setahun, Lili masih mengantongi pendapatan lebih dari Rp 87 juta per bulan.

Hal ini lantaran gaji yang dipotong hanya gaji pokok sebagai Wakil Ketua KPK sebesar Rp 4,62 juta, berdasarkan Pasal 3 PP 82/2015 tentang Hak keuangan, Kedudukan Protokol, Perlindungan Keamanan Pimpinan KPK.

Baca juga: Sektor Esensial Boleh WFO 100 Persen, Jika Ada Karyawan Positif Covid-19 Perusahaan Ditutup 5 Hari

Dengan demikian, gaji Lili yang dipotong Dewas KPK hanya sekitar Rp 1,84 juta.

Padahal, selain gaji pokok, berdasarkan PP 82/2015, Wakil Ketua KPK mendapat tunjangan jabatan sebesar Rp 20,4 juta; dan tunjangan kehormatan sebesar Rp 2,1 juta.

Pasal 4 PP yang sama menyebutkan Wakil Ketua KPK juga mendapat tunjangan fasilitas berupa tunjangan perumahan sebesar Rp 34,9 juta; tunjangan transportasi sebesar Rp 29,5 juta; tunjangan asuransi dan jiwa sebesar Rp 16,3 juta; serta tunjangan hari tua sebesar Rp 6,8 juta.

Baca juga: Wakil Ketua DPW Sumbar Ikuti Jejak Agung Mozin Hengkang dari Partai Ummat, Singgung Dinasti Politik

Pendapatan tersebut belum termasuk biaya perjalanan dinas.

Dengan menghitung gaji pokok dan berbagai tunjangan, secara total, take home pay yang diterima Wakil Ketua KPK sebesar Rp 89,45 juta per bulan.

Sementara yang dipotong Dewas KPK hanya dari gaji pokok atau sekitar Rp 1,8 juta.

Baca juga: ISU Reshuffle Kabinet Menguat Usai PAN Gabung Koalisi, 7 Kementerian Ini Dikabarkan Bakal Kena Imbas

Dengan demikian, Lili masih menerima sekitar Rp 87,65 juta per bulan.

Pendapatan seorang pimpinan KPK sebelumnya juga disampaikan mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Eks aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menilai sanksi yang diberikan kepada Lili menyedihkan.

Baca juga: PAN Masuk Koalisi, Jatah Kursi Partai Ini di Kabinet Kemungkinan Bakal Dikorbankan

"Tapi hanya dihukum potong gaji Rp1,85 juta/bulan (40% gapok) dari total penerimaan lebih dari Rp80juta/bulan," ujar Febri dalam cuitannya, Senin (30/8/2021).

"Menyedihkan..," imbuhnya.

Sebelumnya, Lili Pintauli Siregar memastikan tak pernah menjalin komunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.

Baca juga: KSP Moeldoko Dikabarkan Bakal Kena Reshuffle, Sosok Ini Disebut-sebut Sebagai Penggantinya

Syahrial dijerat sebagai pihak yang menyuap penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju, terkait upaya penghentian penanganan perkara.

"Saya tidak pernah menjalin komunikasi dengan tersangka MS (M Syahrial) terkait penanganan perkara yang bersangkutan."

Baca juga: 4 Jam Geledah Ruang Kerja Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Penyidik KPK Bawa Tiga Koper

"Apalagi membantu dalam penanganan perkara yang sedang ditangani oleh KPK," ucap Lili dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (30/4/2021).

Lili menyatakan tetap memegang etika sebagai insan KPK yang harus membatasi diri dalam berkomunikasi dengan siapapun, terlebih kepada pejabat negara yang terseret kasus korupsi.

Menurut Lili, sebagai komisioner lembaga antirasuah yang fokus di bidang pencegahan, dia tak menampik kerap berkomunikasi dengan pejabat negara, namun hanya sebatas mengingatkan untuk menghindari praktik yang berujung tindak pidana korupsi.

Baca juga: THR PNS 2021 Tidak Dibayar Penuh, Ini Daftar Komponen yang Tak Diberikan

"Sebagai pimpinan KPK khususnya dalam bidang pencegahan, saya tentu tidak dapat menghindari komunikasi dengan seluruh kepala daerah."

"Dan komunikasi yang terjalin tentu saja terkait tugas KPK dalam melakukan pencegahan," kata Lili.

Apalagi, sebelum menjadi Wakil Ketua KPK, Lili merupakan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Baca juga: Pemerintah Bakal Bangun Rumah untuk Keluarga 53 Awak KRI Nanggala-402 yang Gugur

Ia menyebut dirinya tak mau memutus hubungan silaturahmi dengan pejabat negara yang dia kenal saat menjabat Ketua LPSK.

Namun, dia memastikan tahu batasan-batasannya.

"Komunikasi saya dengan siapapun, khususnya dengan pejabat publik, selalu juga saya mengingatkan untuk selalu bekerja dengan baik dan hindari praktik korupsi."

"Dan saya selalu juga menjaga selektivitas untuk komunikasi, menjaga harkat dan martabat terhadap diri saya sebagai insan KPK maupun sebagai muruah lembaga KPK," papar Lili. (Ilham Rian Pratama)

Berita Terkini