Berita Nasional

Meski Dibantah MA, IPW Bakal Lapor KPK soal Dugaan Korupsi Pemotongan Honor Hakim Agung

Sebelumnya, juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto membantah adanya praktik korupsi melalui konferensi pers di Jogyakarta pada Selasa (17/9)

Editor: Feryanto Hadi
Istimewa
Diskusi publik yang diselenggrakan Indonesia Police Watc, bersama-sama sejumlah elemen lembaga penggiat anti korupsi di Jakarta, Rabu (18/9/2024). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--  Indonesia Police Watch bersama-sama beberapa lembaga swadaya masyarakat akan membuat laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan korupsi pemotongan honorarium Hakim Agung  pada Mahkamah Agung RI, Tahun Anggaran 2022-2023-2024 senilai Rp97 miliar

Sebelumnya, juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto membantah adanya praktik korupsi melalui konferensi pers di Jogyakarta pada Selasa (17/9)

"Bahwa tidak ada praktik pemotongan honorarium penanganan perkara hakim agung yang dilakukan secara paksa dengan intervensi pimpinan Mahkamah Agung," kata Suharto

Menurutnya, fakta yang terjadi adalah para hakim agung bersepakat untuk menyerahkan secara sukarela sebesar 40 persen dari hak honorarium penanganan perkara yang diterimanya untuk didistribusikan kepada tim pendukung teknis, dan administrasi yudisial.

Namun, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menilai bahwa bantahan tersebut  makin mengkofirmasi fakta tentang pemotongan dana HPP bagi hakim agung itu benar adanya, dan tidak memiliki landasan hukum.

"Kontruksi yang dibangun yang seolah-olah dana HPP itu diperuntukan pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, juga runtuh. Lantaran faktanya dari dana pemotongan HPP sedikitnya senilai Rp. 97 milyar, setiap pegawai yang duduk dalam cluster supporting system atau unit hanya menerima Rp. 500 ribu per perkara," ujar Sugeng dalam diskusi publik, yang diselenggrakan  Indonesia Police Watch, bersama-sama sejumlah elemen lembaga penggiat anti korupsi di Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Sugeng menambahkan, dalam penjelasan Sekjen MA juga disebut diduga ada intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI terindikasi dari format dan isi surat pernyataan yang dibuat seragam, yang dikoodinir oleh pimpinan dan atau tidak berdasarkan atas kehendak secara suka rela para hakim agung. Sehingga patut diduga telah terjadi pemaksaan yang bersifat massif dan terorganisir.

Apabila tidak ada pemaksaan, sebagaimana yang didalilkan juru bicara Mahkamah Agung RI, Suharto, secara logis seharusnya tidak memerlukan adanya surat pernyataan.

Karena, menurut Sugeng, Dana Honorarium Penanganan Perkara adalah hak para hakim agung. Sehingga yang seharusnya menentukan jumlah yang akan diberikan kepada supporting system  atau unit adalah Hakim Agung  itu sendiri.

"Namun itupun oleh hukum dilarang. Pegawai MA yang duduk dalam supporting system atau unit bukan orang susah yang perlu diberi sodakoh atau santunan. Dalam rangka Pemberian Dana Honorarium Penanganan Perkara kepada supporting system atau unit, pimpinan Mahkamah Agung seharusnya memperjuangkan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah untuk itu, sebagaimana yang dilakukan Mahkamah Konstitusi," kata Sugeng 

Dalam kesempatan sama, Boyamin Saiman, SH, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi menyebut bahwa pemotongan tersebut terindikasi sebagai tindakan korupsi.

"“Unsur dugaan pidana korupsi pemberian gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pasal 12 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas  UU RI No. 31 Tahun 1999 setidaknya telah terpenuhin “ ujar Boyamin Saiman

Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Triskakti, Abdul Fickar Hadjar  berpendapat, keberadaan surat pernyataan sebagai bentuk kesepakatan, yang ditandatangani hakim agung itu batal demi hukum

Karena materi yang tertuang di dalamnya masuk ke dalam ranah hukum publik, terkait pengaturan pembagian dana yang bersumber dari uang negara, yang mutlak harus mempunyai landasan hukum.

Menurutnya, setiap rupiah uang negara harus dikeluarkan sesuai peruntukannya. 

“KPK dapat pro aktif memeriksa, tidak perlu harus menunggu adanya laporan terlebih dahulu,” tukasnya.
 
Sedangkan Saut Situmorang, mantan Wakil Ketua KPK menyatakan dugaan korupsi pemotongan dana hakim agung pada Mahkamah Agung RI, yang terjadi di tubuh lembaga tinggi yudikatif dapat memperparah  tingkat corruption perception indeks (CPI) atau yang dikenal Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.

Dalam kasus ini terindikasi dengan kuat telah terjadi tindak pidana korupsi. 

“ Saya akan ikut kawal apabila teman-teman IPW akan melaporkan kasus ini ke KPK,” ujarnya.

Panelis lainnya Petrus Selestinus, selaku Ketua TPDI, berpandangan dalam kasus ini telah terjadi peristiwa hukum  pemberian gratifikasi secara berjenjang.

 Pertama, pemberian gratifikasi oleh penguasa dalam hal ini Presiden Joko Widodo kepada hakim agung selaku penyelenggara yudikatif, dengan dikemas ke dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

“Kasus ini sangat ironis. Seharusnya dana yang bersifat insentif  lebih tepat diberikan kepada hakim-hakim yang hidupmya merana di daerah, “ kata Petrus.

Kasus dugaan korupsi pemotongan dana PPH bagi hakim agug sendiri bermula ketika pada tanggal 10 Agustus 2021, dikeluarkan penetapan atas Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan No. 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, yang mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali paling lama 90   hari kalender sejak perkara  diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana  yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera. 

Kemudian, sejak tahun 2022  secara berlanjut sampai dengan tahun 2024 ternyata  terjadi pemotongan Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung.

Pada tahun 2022 pembayaran Dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung dilakukan dengan penyerahan uang cash dan disertai tanda terima dalam 2 bentuk yaitu bukti tanda terima hakim agung yang 100 persen dan tanda terima bukti hakim agung yang Dana Honorarium Penanganan Perkaranya  telah dipotong.  

Pada tanggal 12 September 2023, landasan pemotongan dituangkan Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI No:  649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung No.: 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali Bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA No.: 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023. 

Baca Wartakotalive.com berita lainnya di Google News

Dapatkan informasi lain dari WartaKotaLive.Com lewat WhatsApp : di sini

 

 

 

 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved