RDF Sangat Riskan Diterapkan untuk Olah Sampah di Jakarta, Justru Timbulkan Efek Toxid
RDF justru mengandung banyak kekurangan atau kelemahan untuk diaplikasikan sebagai metode pengolahan sampah di DKI Jakarta.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kalangan pemerhati sampah mendesak pemerintah lebih serius menanggulangi masalah sampah.
Mereka menilai, penyelesaian masalah persampahan di kota-kota besar di Indonesia sudah sangat mendesak untuk dilakukan.
Solusinya pun diharapkan mengaplikasikan cara-cara dan metode yang sesuai, efektif, dan optimal, tanpa harus menimbulkan dampak-dampak sampingan yang justru merusak lingkungan.
Baca juga: Launching Kegiatan Bank Sampah, GMC Sebut Sampah Masih Menjadi Persoalan yang Paling Krusial
Baca juga: LSM Jawa Barat Tolak Kawasan Hutan di Karawang Dijadikan Tempat Pembuangan Sampah
Pilihan solusi pun kini menjadi bahan debat yang cukup hangat. Sebagian kalangan menyebutkan teknologi RDF atau refuse derived fuel sebagai pilihan yang tepat.
Padahal, banyak pihak menyebutkan bahwa Refused Derived Fuel (RDF) justru mengandung banyak kekurangan atau kelemahan untuk diaplikasikan sebagai metode pengolahan sampah di DKI Jakarta.
“Jangan sampai sampah ini menjadi masalah tanpa usai. Jangan sampai terlalu lama kita hanya berkutat pada debat-debat tak berujung tentang metode pengolahan sampah, atau hal-hal lain, padahal sebenarnya di hadapan kita sudah tersedia metode atau cara yang baik dan efektif untuk mengatasinya. Dan, jangan sampai masyarakat menanggung beban pencemaran sampah lebih lama lagi,” kata Widi Pancono, pemerhati masalah persampahan yang juga Ketua Umum Kopetindo (Koperasi Energi Terbarukan Indonesia), dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/3/2023).
Apalagi, kata Widi, pemerintah sudah berkomitmen untuk menghentikan pembangunan TPA atau Tempat Pembuangan Akhir sampah pada tahun 2030 mendatang.
Ia sependapat dengan Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati yang mengatakan bahwa gas metan dalam sampah di TPA menyumbang emisi gas rumah kaca. "Di tahun 2030 kita tidak akan membangun TPA dan lainnya. Dan di 2040 tidak akan ada TPA lagi. Itu cita-cita mulia," kata Widi mengutip Dirjen.
Baca juga: ASDP Targetkan Satu Ton Sampah Plastik melalui Pogram Pilah Sampah Save Our Ocean
Baca juga: Pengelolaan Sampah Plastik Low-Value untuk Infrastruktur Ciptakan Ekonomi Sirkular
Ia mengatakan, sampah memang masih menjadi masalah besar di sejumlah kota besar di Indonesia, terutama kota-kota besar di Jawa. "Khusus untuk Jakarta yang setiap hari menghasilkan 8.000 sampai 8.5000 ton sampah, harus menjadi perhatian serius. Perlu ada penanganan dan teknologi tepat untuk mengatasinya," kata Widi.
Jangan Sembarangan Pilih Metode Olah Sampah
Widi berharap, pemerintah bersama praktisi usaha persampahan dapat menemukan metode yang efektif untuk mengolah sampah.
“Setiap kota punya karakteristik sendiri, jadi solusi penyelesaian masalah sampah di masing-masing kota juga berbeda. Jangan sekadar mengolah sampah tanpa memahami karakteristik tersebut. Jangan sampai sembarangan menerapkan cara pengolahan sampah," katanya.
Untuk kota metropolitan dengan jumlah sampah yang sangat besar dan lahan terbatas, maka mengolah sampah untuk menghasilkan energi listrik, jelas lebih sesuai.
“Yang pasti, sampahnya harus musnah. Ini yang terpenting. Dan juga harus mampu menghasilkan energi listrik terbarukan sehingga dapat menambah bauran energi listrik terbarukan di sistem pembangkitan PLN. Metode insinerator dapat melakukan itu dengan baik,” tambah Widi, sambil menambahkan bahwa jangan sampai masalah sampah dan limbah di kota-kota besar di Indonesia menjadi masalah tanpa usai.
Dia mengingatkan, sampah yang terus dibiarkan menumpuk dan tidak segera dibakar akan berbahaya karena sangat berpotensi menimbulkan gas methan yang sewaktu-waktu bisa meledak.
"Tapi kalau sampah setiap hari dibakar habis, tentunya tidak akan terpapar gas methan ke udara sehingga udara Jakarta lebih bersih," katanya.
Menurutnya, sebenarnya ada teknologi lain untuk mengolah sampah menjadi energi listrik, yaitu dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) yang merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil melalui pencacahan sampah atau dibentuk menjadi pelet.
Hasilnya akan dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran recovering batu bara untuk pembangkit tenaga listrik.
"Namun teknologi RDF menurut saya tidak tepat diterapkan di Jakarta. Di Jakarta, teknologi insinerator yang paling tepat karena sampah akan habis dibakar, baik sampah organik maupun anorganik," katanya.
Singapura Jadi Bukti
Menurut Widi, teknologi insinerator sudah banyak diterapkan dan terbukti sangat efektif di sejumlah negara seperti di Singapura, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara lain di Eropa.
“Di negara-negara itu sudah terbukti. Ngga usah jauh-jauh, lihat Singapura yang sangat memberikan perhatian terhadap masalah sampah. Mereka menggunakan insinerator untuk mengolah sampah. Singapura menjadi sangat bersih. Itu bukti sangat nyata,” kata Widi.
Ia menambakan bahwa penanganan sampah harus memperhatikan faktor hasil pembakaran komponen plastik di dalam RDF yang menurut dia sangat berisiko melepaskan senyawa dioksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Jadi emisi udara yang dihasilkan dari pembakaran RDF harus dipantau secara ketat.
Ia menambahkan, Refuse Derived Fuel atau RDF sesungguhnya adalah hasil pemisahan sampah padat perkotaan antara fraksi yang mudah terbakar dengan fraksi yang sulit terbakar.
RDF berasal dari komponen sampah yang mudah terbakar dan memiliki nilai kalor tinggi, seperti plastik, kertas, kain, dan karet/kulit.
“Sampah organik yang merupakan komponen terbesar di dalam sampah kota memang masih dapat diolah menjadi SRF (Solid Recovered Fuel), hanya saja masalahnya adalah membutuhkan lahan yang luas untuk pengolahan sampah organik dalam jumlah besar. Ini tidak dimiliki oleh kota metropolitan seperti Jakarta," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, pengolahan sampah dengan metode SRF memiliki sejumlah kekurangan.
“Mulai dari kebutuhan lahan yang luas, dan biaya operasionalnya juga tinggi, sementara pemilahan komponen RDF dari sampah kota memiliki risiko emisi pembakaran boiler dan juga kandungan kimiawi yang tidak cocok dengan desain boiler yang telah dimiliki PLN, yang dapat menimbulkan kerak dan korosi pada pipa boiler,” katanya.
Ia menambahkan, fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik lebih sesuai karena tidak membutuhkan lahan luas. “Desain boiler-nya juga sudah menyesuaikan dengan kandungan kimia dalam komponen RDF serta dilengkapi dengan kontrol emisi yang ketat dalam proses pembakarannya.
“Jadi jelas bahwa SRF atau RDF tidak bisa dipakai menyelesaikan sampah perkotaan dengan volume besar seperti Jakarta ini. Sangat riskan,” kata Widi mengingatkan.
| Hadir di Sidang, Eko Wiratmoko Pasang Badan untuk Dua Anak Buahnya, Curiga Ada Kriminalisasi |
|
|---|
| BBW Books Jakarta 2025 Hadir di NICE PIK 2 Pada 23 Oktober hingga 2 November 2025 |
|
|---|
| Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta Rugikan Pedagang Pasar Tradisional, APPSI Tolak |
|
|---|
| Tim Basket Raffles Absen, Buka Peluang Juara Baru di AZA 3X3 Competition 2025 South Jakarta |
|
|---|
| Atlet Gimnastik Naufal Takdir Al Bari Meninggal di Rusia, Pemerintah Beri Santunan kepada Keluarga |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.