Haris Azhar: Tidak Ada Pasal Penghinaan Presiden Saja Sudah Banyak yang Ditangkap, Apalagi Nanti Ada
Dia bilang, negara yang berdemokrasi maju justru tidak pernah menggunakan pasal ini untuk menjerat para penghina presiden.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru Kantor Hukum dan HAM, mengkritik rencana pemerintah memasukkan pasal penghinaan presiden di KUHP.
Menurutnya, tanpa ada aturan pasal penghinaan presiden pun, sudah banyak kasus warga ditangkap karena dinilai menghina presiden.
"Kita tidak ada pasal penghinaan presiden saja sudah banyak (warga) ditangkepin, apalagi nanti ada," kata Haris Azhar saat dikonfirmasi, Kamis (10/6/2021).
Baca juga: Tito Karnavian Jelaskan Alasan KPU Usulkan Pemilu 2024 Digelar Bulan Februari, Belum Disepakati
Ia juga mempersoalkan anggapan negara berdemokrasi maju banyak memberlakukan pasal penghinaan presiden.
Dia bilang, negara yang berdemokrasi maju justru tidak pernah menggunakan pasal ini untuk menjerat para penghina presiden.
Ia menuturkan, ada pula negara-negara yang memiliki aturan ini justru tak berjalan mulus.
Baca juga: Menkumham: Kalau Enggak Sepakat TWK, Uji Saja di Pengadilan, Daripada Ribut Politiknya, Capek
Banyak masyarakat yang ditangkap karena dianggap menghina martabat presiden atau raja.
"Pasal-pasal penghinaan terhadap raja seperti di Thailand itu korbannya juga banyak."
"Nah, sekarang tinggal diukur saja demokrasi di Indonesia dan Thailand dari beberapa survei itu kan mirip-mirip," tuturnya.
Baca juga: 52,4 Persen Kasus Covid-19 di Indonesia Ada di Pulau Jawa
Haris mengingatkan, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden telah dihapus dari KUHP, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 pada Desember 2006.
"Sudah jelas keputusan MK tahun 2006 itu, di halaman 61 itu bukan hanya bilang pasal tersebut tidak boleh, tapi yang mirip dengan pasal tersebut juga tidak boleh," paparnya.
Atas dasar itu, kata Haris, Indonesia tidak boleh menganut aturan yang berdasarkan warisan dari masa kolonial Belanda.
Baca juga: Keberatan Bosnya Dibilang Masih Lama Jadi Presiden, Politikus Demokrat Minta Yasonna Cabut Ucapan
"Pasal tersebut adalah pasal tentang penghinaan presiden itu jangan lagi digunakan, karena itu warisan dari kolonial Belanda."
"Koloni aja selain sudah pulang dan menjajah lagi, di Belanda itu juga pasal itu sudah tidak digunakan, padahal di sana juga ada raja dan juga ratu," beber Haris.
Sebelumnya, draf rancangan Undang-undang KUHP dibuka kepada publik.
Baca juga: Wacana Duet Mega-Prabowo di Pilpres 2024, Tjahjo Kumolo: Tunggu Tanggal Mainnya Saja
Dalam draf itu, diatur pula pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan draf RUU KUHP yang didapatkan Tribunnews, hal itu termaktub pada Bab II yang mengatur Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Awalnya diatur pasal yang akan dikenakan kepada orang yang menyerang diri presiden maupun wakil presiden.
Baca juga: Bantah Bikin Daftar Pegawai KPK yang Harus Diwaspadai, Firli Bahuri Mengaku Tak Punya Kepentingan
Ancaman pidana lima tahun menanti bagi yang melanggar pasal ini.
Hal itu tercantum dalam Pasal 217 yang berbunyi :
Pasal 217
Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Kemudian pasal yang menjerat orang apabila menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden maupun wakil presiden tercantum dalam Pasal 218. Pasal itu berbunyi:
Pasal 218
(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Sementara, pasal 219 mengatur tentang gambar atau biasa dikenal dengan meme presiden di media elektronik atau media sosial.
Baca juga: Buruh Bangunan Tewas Ditembak OTK di Papua, Aparat Sempat Diberondong Tembkan Saat Evakuasi Korban
Kemudian ada pula Pasal 219, yang mengatur pelanggaran pidana jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden maupun wakil presiden menggunakan tulisan atau gambar melalui sarana teknologi informasi.
Ancaman pidana paling lama yang dikenakan kepada pelanggar adalah hukuman bui selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan. Pasal 219 tersebut berbunyi:
Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum;
Memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden;
Dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Namun, dalam pasal selanjutnya dijelaskan tindakan pidana tersebut hanya bisa diproses hukum apabila ada aduan yang langsung dilakukan oleh presiden dan wakil presiden sendiri.
Pasal 220
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Segera Disahkan
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, RUU KUHP mendesak disahkan.
Ia berharap RUU KUHP bisa disahkan tahun ini.
"Mari kita buat resultante baru, kesepakatan baru."
Baca juga: Perpres 47/2021 Terbit, MenPANRB Kini Bisa Dibantu Wakil Menteri
"Ini sudah tinggal sedikit lagi, agar misalnya tahun ini, KUHP kita yang baru sudah disahkan,” ujar Mahfud MD, Kamis (4/3/2021).
Menurutnya, pada waktu menjelang pembentukan kabinet baru yang ramai penolakan terhadap beberapa UU, ia termasuk yang mendukung agar RUU KUHP segera disahkan.
Pada 20 September 2019, Presiden Jokowi meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP, setelah mahasiswa menggelar aksi besar-besaran menolak pengesahan rancangan undang-undang tersebut.
Baca juga: Wakil Ketua Komisi III DPR Bilang Panglima Selanjutnya Harus dari AL, Begini Kata UU TNI
Para mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil menolak sejumlah pasal kontroversial dalam RUU itu.
Menurut Mahfud MD, jika terdapat hal-hal yang masih perlu diperbaiki dalam RUU KUHP, semestinya tak lantas membuat batal disahkan.
Perbaikan, kata Mahfud MD, bisa dilakukan melalui legislative review atau judicial review.
Baca juga: BREAKING NEWS: Pileg dan Pilpres 2024 Disepakati Digelar pada 28 Februari, Pilkada 27 November
"Soal salah, nanti bisa diperbaiki lagi melalui legislative review maupun judicial review."
"Yang penting ini formatnya yang sekarang sudah bagus, soal beberapa materinya tidak cocok bisa diperbaiki sambil berjalan."
"Maka, menurut saya kita harus mempercepat ini, sehingga melangkah lebih maju lagi untuk memperbaiki,” tutur Mahfud MD. (Igman Ibrahim)