Berita Nasional

Pemerintah Berencana Pajaki Sembako, Mardani: Langkah Panik Akibat Utang Menggunung

Mardani memandang rencana kebijakan mengenakan pajak sembako tersebut keluar akibat perhitungan pembangunan infrasrtuktur yang tidak matang

Editor: Feryanto Hadi
Wartakotalive.com/Desy Selviany
Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyoroti rencana pemerintah yang akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok.

Mardani menyebutkan, kebijakan tersebut sebagai langkah panik akibat utang pemerintah yang sudah terlalu banyak.

"Ini langkah panik pemerintah melihat hutang yang menggunung dan penerimaan pajak yang menurun," tulis Mardani Ali Sera menanggapi pemberitaan soal rencana pengenaan PPN terhadap sembako, Rabu (9/6/2021).

Baca juga: Politisi Demokrat Prihatin Pemerintah Akan Pajaki Sembako, Mulai Beras, Gula, Telur, hingga Sayuran

Baca juga: Benny K Harman Minta Presiden Jokowi Tak Hanya Diam soal Kegaduhan di Tubuh KPK

Menurut Mardani, harusnya pemerintah lebih cerdas dalam mencari cara meningkatkan penerimaan negara dengan memperkuat industri, bukan lewat jalan menaikkan pajak.

"Mestinya di masa pandemi pemerintah bisa bekerja lebih cerdas tidak dengan menaikkan pajak, apalagi terhadap kebutuhan pokok, tapi memperkuat industrialisasi dengan menggunakan energi terbarukan," ungkapnya.

Di sisi lain, Mardani memandang rencana kebijakan tersebut keluar akibat pembangunan infrasrtuktur yang tidak didukung dengan perhitungan matang.

"Ini adalah dampak dari investasi tidak strategis pada infrastruktur yang tidak didukung dengan pembangunan zona industri dan memperkuat inovasi teknologi. Sekali lagi ini langkah panik yang bisa makin membenamkan ekonomi Indonesia," ungkapnya

Baca juga: Soal Kabar Petugas Pajak Bisa Tangkap Pelanggar Pidana Perpajakan, Begini Penjelasannya

Baca juga: Hadir di Peringatan 100 Tahun Soeharto, Anies Teladani Ketenangan dan Jiwa Besar Almarhum Pak Harto

Pemerintah disebutkan selain akan mengenakan PPN terhadap kebutuhan pokok.

Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Adapun pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6 

Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Baca juga: Sri Mulyani beserta Jajarannya Belum Ada Rencana Ikuti Gagasan Sandiaga Uno untuk Kerja dari Bali

Baca juga: Negara G7 Tetapkan Aturan Baru, Facebook dan Amazon Bersiap Bayar Pajak Sebesar 15 Persen

Dengan penghapusan tersebut, berarti barang itu akan dikenakan PPN.

Jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN itu sendiri sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.

Barang tersebut meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

Sedangkan untuk hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud seperti emas, batubara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.

Selain memperluas objek PPN, revisi UU KUP tersebut juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN.

Baca juga: Ekonom INDEF Sarankan Sri Mulyani Kejar Pajak Tinggi ke Orang Kaya ketimbang Naikkan PPN

Baca juga: PPDB Online di DKI Kacau, Ombudsman Temukan Fakta Telkom Tidak Becus Siapkan Perangkatnya

Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa penyiaran.

Dalam ayat (3) Pasal 4A, hanya ada tambahan penjelasan soal jasa kena pajak baru yang tidak dikenakan PPN yakni jasa keagamaan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, serta jasa boga atau katering

Saran ekonom INDEF

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan, Indonesia bisa meniru Amerika Serikat (AS) dari sisi mendorong penerimaan negara lewat perpajakan. 

Bhima menilai kebijakan yang dapat dicontoh adalah berkaitan dengan pemajakan aset orang kaya secara lebih tinggi ketimbang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 15 persen. 

"AS sebagai negara kapitalis liberal di era (Presiden) Joe Biden menargetkan pajak orang kaya lebih tinggi," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribun Network Senin (17/5/2021). 

Baca juga: Gojek dan Tokopedia Resmi Bentuk GoTo, Bisnis Kirim Barang, Makanan, Transportasi hingga Keuangan

Baca juga: Datangi Kedubes Palestina, Oki Setiana Dewi Kutuk Kekejaman Zionis Israel: Hentikan Penjajahan

Jadi, menurutnya arah kebijakan perpajakan global adalah menurunkan ketimpangan sekaligus meningkatkan rasio pajak. 

Sementara dalam konteks Indonesia selama ini kontribusi pajak orang kaya di masih rendah, sehingga tidak berdampak signifikan ke penerimaan negara. 

Ia pun menyarankan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, untuk mendorong penarikan pajak terhadap orang kaya.

Baca juga: Istana Angkat Bicara Terkait Kabar Jokowi Beda Pendapat dengan Sri Mulyani Masalah THR PNS 2021

Bhima menjelaskan, berdasarkan data Forbes yang merilis 50 orang paling kaya di Indonesia tahun 2019, total kekayaan diestimasi mencapai Rp 1.884,4 triliun. 

Namun, realisasi Pajak Penghasilan (PPh) 21 per November 2019 mencapai Rp 133,1 triliun, mencakup seluruh masyarakat dari beragam kelas pendapatan. 

"Adapun selama ini rata-rata kontribusi orang kaya terhadap total penerimaan pajak sebesar 0,8 persen atau Rp 1,6 triliun," pungkasnya.

Rencana kenaikan PPN

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk meningkatkan realisasi pajak tahun 2022.

Kendati demikian, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengungkapkan, kenaikan tarif PPN ini belum dibahas antar kementerian, antara Kemenkeu dengan Kemenko Perekonomian.

"Intinya kita menghormati pembahasan di internal di Kemenkeu, namun belum ada rapat koordinasi antar kementerian untuk membahas ini," ungkap Susiwijono dalam konferensi virtual, Senin (17/5/2021).

Susi menuturkan, pihaknya akan segera meminta penjelasan terkait mekanisme kenaikan tarif PPN jika rapat internal di kementerian sudah selesai dilakukan.

Penjelasan diperlukan lantaran kenaikan tarif PPN akan berpengaruh pada semua sektor industri maupun konsumen.

Baca juga: Anis Beri Solusi ke Sri Mulyani agar THR PNS DIbayar Penuh Lagi

Baca juga: Alhamdulillah, Harta Gus Yaqut Bertambah Rp10 Miliar dalam 21 Bulan, Punya 6 Bidang Lahan

"Ada konsepsi yang jelas kira-kira kapan akan disampaikan, karena ini pengaruhnya ke semua sektor bukan hanya sektor riil industri manufaktur, semuanya. Semua akan kena," kata Susi.

Sebelumnya, wacana kenaikan tarif PPN disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2021 untuk menggenjot pendapatan negara.

Berdasarkan pagu indikatif APBN tahun 2022, penerimaan negara dari pajak ditargetkan mencapai Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun. Angka itu tumbuh 8,37 persen - 8,42 persen dari outlook akhir tahun 2021.

Ada tiga opsi yang dipilih mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meliputi kenaikan tarif PPN, memperluas basis pajak digital, dan pengenaan cukai pada kantong plastik.

"Dari sisi perpajakan atau pendapatan negara yaitu bagaimana menggali potensi dan peningkatan tax (pajak) terutama dengan adanya era digital ekonomi. Kita juga akan melaksanakan cukai plastik dan tarif PPN yang akan dibahas dalam Undang-Undang ke depan," ucap Sri Mulyani dalam pembukaan Musrenbangnas 2021, Selasa (4/5/2021).

Baca juga: Kemenkeu Sindir BUMN yang Tak Setor Deviden ke Negara, Justru Jadi Beban karena Terlilit Utang

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu lantas membahas dua opsi skema kenaikan pajak, yakni single tarif dan multitarif. Jika nantinya mengadopsi skema single tarif, pemerintah perlu membentuk PP karena UU Pajak saat ini menganut sistem yang sama.

Namun jika mengadopsi multitarif, maka UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) perlu direvisi

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved