Kasus BLBI

Mahfud MD kepada Obligor dan Debitur BLBI: Tak Ada yang Bisa Sembunyi, Mari Kooperatif

Mahfud MD meminta para obligor dan debitur dana BLBI kooperatif dan proaktif karena karena uang tersebut milik negara.

setneg.go.id
Keppres 6/2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Menkopolhukam sekaligus Pengarah Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Mahfud MD berharap, para obligor dan debitur dana BLBI kooperatif dan proaktif membayar kewajiban utangnya kepada negara.

Mahfud MD menegaskan, pemerintah akan mulai menagih utang seluruh obligor atau pemilik bank yang pernah memperoleh dana BLBI, dan debitur pemilik utang kepada bank yang pernah memperoleh dana BLBI.

Piutang negara tersebut, kata Mahfud MD, bernilai total sekira Rp 110, 454 triliun.

Baca juga: Bantah Bikin Daftar Pegawai KPK yang Harus Diwaspadai, Firli Bahuri Mengaku Tak Punya Kepentingan

Mahfud MD meminta para obligor dan debitur dana BLBI kooperatif dan proaktif karena karena uang tersebut milik negara.

"Kedua, proaktif, kalau bisa."

"Kalau tidak bisa kerja sama biasa, malah lebih bagus kalau proaktif."

Baca juga: Buruh Bangunan Tewas Ditembak OTK di Papua, Aparat Sempat Diberondong Tembkan Saat Evakuasi Korban

"Datang sendiri, saya akan selesaikan dengan cara ini, ini barangnya, ini uangnya," kata Mahfud MD saat konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (4/6/2021).

Ia menegaskan kepada para obligor dan debitur dana BLBI, tidak ada satu pun yang bisa sembunyi.

Hal tersebut karena pemerintah telah memiliki daftar seluruh obligor dan debitur dana BLBI.

Baca juga: Perpres 47/2021 Terbit, MenPANRB Kini Bisa Dibantu Wakil Menteri

"Tidak ada yang bisa sembunyi, karena daftarnya ada dan Anda semua punya daftar, para obligor dan debitur."

"Jadi kami tahu Anda pun tahu. Sehingga tidak usah saling buka, mari kooperatif saja."

"Kami akan bekerja, ini untuk negara dan Anda harus bekerja juga untuk negara."

Baca juga: Wakil Ketua Komisi III DPR Bilang Panglima Selanjutnya Harus dari AL, Begini Kata UU TNI

"Menurut info sementara dari data yang kami punya, memang ada beberapa aset dan orang, obligor atau debitur yang sekarang sedang berada di luar negeri, mohon kerja samanya," tutur Mahfud MD.

Ia mengingatkan, pemerintah lewat satgas bisa menggunakan instrumen United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.

Mahfud MD menjelaskan, dengan demikian pemerintah bisa bekerja sama lintas negara untuk mengejar aset sekaligus obligor dan debitur dana BLBI tersebut di luar negeri.

Baca juga: BREAKING NEWS: Pileg dan Pilpres 2024 Disepakati Digelar pada 28 Februari, Pilkada 27 November

"Yang juga instrumen internasional kita punya UNCAC, itu juga bisa dipakai."

"Kalau UNCAC itu kan pertama kerja sama lintas negara untuk memberantas korupsi, termasuk memburu koruptor.

"Kedua mengembalikan aset negara. Itu intinya. Dan itu bisa dipakai karena Indonesia sudah meratifikasi UNCAC," beber Mahfud MD.

Dihitung Ulang, Utang Obligor BLBI kepada Pemerintah Bertambah Jadi Rp 110,4 Triliun

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, piutang perdata pemerintah kepada para obligor BLBI kini mencapai Rp 110 triliun lebih.

Mahfud MD merincikan jumlah tersebut sebesar Rp 110.454.809.645.467.

"Per hari ini, dan ini yang kemudian menjadi pedoman daftar ini untuk penagihan adalah sebesar Rp 110.454.809.645."

Baca juga: Polisi Bolehkan Warga Mudik Lebaran Sebelum 6 Mei 2021, Setelah Itu Bangun 333 Titik Pos Penyekatan

"Jadi kalau ditulis angka begini biar nanti seragam Rp 110.454.809.645.467," kata Mahfud MD dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (15/4/2021).

Mahfud MD mengatakan, jumlah tersebut bertambah dari jumlah yang sebelumnya ia sebutkan, yakni Rp 109 triliun lebih.

Sejumlah aspek yang juga dihitung, kata Mahfud MD, antara lain perkembangan kurs mata uang dan pergerakan saham.

Baca juga: DPC Bakal Rapat Akbar Desak MLB PKB, Yenny Wahid dan Menteri Agama Digadang Jadi Pengganti Cak Imin

"Hitungan terakhir per hari ini tadi tagihan hutang dari BLBI ini, setelah menghitung sesuai dengan perkembangan jumlah kurs mata uang."

"Kemudian sesudah menghitung pergerakan saham, dan nilai-nilai properti yang dijaminkan pada waktu itu," jelas Mahfud MD.

Dari jumlah tersebut, kata Mahfud MD, piutang pemerintah di antaranya berupa saham, properti, rekening rupiah, rekening mata uang asing, dan sebagainya.

Baca juga: SEJARAH Logo Partai Demokrat: Ide dari SBY, Cari Bahan Warna Biru Pasukan PBB di Tanah Abang

"Tadi Menteri Keuangan sudah menayangkan nih uang yang akan ditagih untuk aset kredit sekian, berbentuk saham sekian."

"Berbentuk properti sekian, berbentuk rupiah dalam bentuk tabungan sekian, dalam bentuk tabungan uang asing sekian dan sebagainya," beber Mahfud MD.

Sebelumnya Mahfud MD mengungkapkan, total utang perdata yang merupakan hak negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), diperkirakan lebih dari Rp109 triliun.

Baca juga: Rapat Pleno KPU Sepakat Jadikan Ilham Saputra Ketua Definitif Gantikan Arief Budiman

Nilai tersebut, kata dia, didapatkan setelah ia membahasnya bersama Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dan Jamdatun Kejaksaan Agung.

Hitung-hitungan tersebut meralat informasi sebelumnya yang ia sampaikan terkait nilai utang perdata hak negara, yakni Rp 108 triliun.

Baca juga: Perusahaan Wajib Bayar THR 2021 Penuh dan Tepat Waktu, yang Terlambat Didenda 5 Persen

"Saya baru saja memanggil Dirjen Kekayaan negara dan Jamdatun dari Kejaksaan Agung."

"Tadi menghitung 109 lebih, hampir 110."

"Jadi bukan hanya Rp 108 triliun, tapi kira-kira Rp 109 triliun lebih," kata Mahfud MD dalam keterangan video dari Tim Humas Kemenko Polhukam, Senin (12/4/2021).

Baca juga: Darmizal Tuding Sosok Ini yang Jerumuskan SBY Daftarkan Merek dan Lukisan Partai Demokrat ke DJKI

Namun demikian, kata Mahfud MD, dari nilai tersebut, pemerintah masih harus menghitung dengan hati-hati terkait nilai yang masih realiatis untuk ditagih saat ini.

"Tapi dari itu yang masih realistis untuk ditagih itu berapa, ini masih sangat perlu kehati-hatian," tutur Mahfud MD.

Mahfud MD berencana mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk meminta data pelengkap terkait kasus BLBI, Selasa (13/4/2021) besok.

Baca juga: Yakin Menang Gugatan Soal AD/ART Partai Demokrat, Kubu Moeldoko Minta AHY Fokus Siapkan Rp 100 M

Mahfud MD mengatakan, data tersebut di antaranya data lain di luar hukum perdata yang bisa ditagihkan, bersama tagihan dalam kasus perdatanya.

"Saya sudah koordinasi dengan KPK, saya perlu data-data pelengkap dari KPK."

"Karena tentu KPK punya data-data lain di luar soal hukum perdata yang bisa ditagihkan."

Baca juga: Pleidoi Tak Digubris Hakim, Djoko Tjandra Banding Vonis 4 Tahun 6 Bulan Penjara

"Digabungkan ke perdata karena pidananya sudah diusut."

"Hari Selasa besok saya akan ke KPK," ucapnya.

Mahfud MD menjelaskan dua alasan mengapa KPK tidak masuk ke dalam Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, yang telah dibentuk pemerintah.

Baca juga: Aktor Intelektual Kasus Penyiraman Air Keras Tak Terungkap, Novel Baswedan Nilai Polisi Enggan

Pertama, kata dia, KPK adalah lembaga penegak hukum pidana.

"Kedua, KPK itu adalah lembaga dalam rumpun eksekutif, tetapi bukan bagian dari pemerintah, sehingga dia seperti Komnas HAM dan sebagainya.

"Dia kalau masuk ke tim kita nanti dikira disetir, dikooptasi, dan sebagainya."

Baca juga: Ingin TMII Berbasis Konsep 4.0, Kemensetneg Buka Kanal Aspirasi Publik

"Biar dia bekerja lah, kalau memang ada korupsinya dari kasus ini nantikan bisa dia ikut, bisa tetap diawasi," jelas Mahfud MD.

Mahfud MD membeberkan alasan dibentuknya Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI berdasarkan Keppres 6/2021.

Mahfud MD mengatakan, Kepres tersebut keluar karena dana BLBI selama ini baru berupa jaminan surat, jaminan uang, jaminan deposito, dan sebagainya.

Baca juga: Besok Sentra Vaksinasi Bersama BUMN Libur, Beroperasi Hanya Sampai Pukul 14.00 Selama Ramadan

Dana tersebut, kata Mahfud MD, selama ini belum dieksekusi karena masih menunggu putusan Mahkamah Agung (MA).

"Karena dana BLBI itu selama ini baru berupa jaminan surat, jaminan uang, jaminan deposito, dan sebagainya, belum dieksekusi karena menunggu putusan MA."

"Apakah di dalam penanganannya itu sudah benar atau tidak."

Baca juga: Diajukan SBY, Begini Proses Pendaftaran Merek dan Lukisan Partai Demokrat ke DJKI Kemenkumham

"MA sekarang sudah membuat putusan yang itu tidak bisa kita tolak. Itu urusan MA," cetus Mahfud MD.

Bahwa ada masyarakat masih mempersoalkan hal tersebut, kata Mahfud MD, silakan lapor ke MA.

Namun, kata dia, bagi pemerintah kebijakan BLBI tahun 1998 sudah selesai dan sudah dianggap benar, meskipun negara rugi karena waktu itu situasinya menghendaki itu.

"Kemudian RD, release, dan discharge, pada tahun 2004 juga menurut keputusan MA juga sudah selesai."

"Oleh sebab itu, sekarang hak perdatanya kita tagih, karena semula ini kan perjanjian perdata."

"Sudah pidananya tidak ada kata MA, maka ya kita kembali ke perdata, kita tagih sekarang," terang Mahfud MD.

Mahfud MD juga meminta KPK dan masyarakat mengawasi kinerja Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang dibentuk pemerintah.

Mahfud MD meminta masyarakat untuk tak segan melaporkan hal yang dicurigainya terkait kinerja satgas, kepada aparat penegak hukum.

"Awasi kami mengurusi uang Rp 109 triliun ini, silakan diawasi, itu tugas KPK."

"Masyarakat juga mengawasi, kalau ada yang aneh lapor saja ke KPK, lapor ke polisi, lapor ke Kejaksaan Agung," tegasnya.

Mahfud MD juga memastikan Satgas akan bekerja transparan.

Hal itu karena menurutnya masyarakat berhak mengetahui terkait kerja yang dilakukan oleh Satgas.

"Pasti transparan, karena ini kan hak masyarakat untuk tahu, nanti akan ada pemanggilan-pemanggilan."

"Kemudian akan diumumkan uangnya berapa yang bisa langsung dieksekusi itu seberapa besar, kita nanti akan transparan ke masyarakat," beber Mahfud MD.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres 6/2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI pada 6 April 2021

“Dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti, dibentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI."

"Yang selanjutnya disebut Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI,” begitu bunyi pasal 1 peraturan yang dapat diakses pada laman JDIH Sekretariat Kabinet ini.

Dituangkan dalam Keppres, pembentukan satgas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden ini bertujuan untuk melakukan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien.

Berupa upaya hukum dan/atau upaya lainnya di dalam atau di luar negeri, baik terhadap debitur, obligor, pemilik perusahaan serta ahli warisnya maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama dengannya, serta merekomendasikan perlakuan kebijakan terhadap penanganan dana BLBI.

“Dalam melaksanakan tugas, Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI dapat melibatkan dan/atau berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian."

"Instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, swasta, serta pihak lain yang dianggap perlu,” bunyi ketentuan dalam peraturan ini.

Susunan organisasi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI ini terdiri dari pengarah dan pelaksana.

Tugas dari pengarah adalah sebagai berikut:

a. menyusun kebijakan strategis dalam rangka percepatan penanganan dan pemulihan hak tagih negara dan aset BLBI;

b. mengintegrasikan dan menetapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan strategis dan terobosan yang diperlukan dalam rangka percepatan penanganan dan pemulihan hak tagih negara dan aset BLBI;

c. memberikan arahan kepada pelaksana dalam melaksanakan percepatan penanganan dan pemulihan hak tagih negara dan aset BLBI; dan

d. melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan percepatan penanganan dan pemulihan hak tagih negara dan aset BLBI.

Pengarah terdiri dari Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menko Bidang Perekonomian; Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi; Menteri Keuangan (Menkeu); Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham); Jaksa Agung; dan Kapolri.

Sedangkan, pelaksana memiliki tugas sebagai berikut:

a. melakukan inventarisasi dan pemetaan hak tagih negara dan aset properti BLBI;

b. melaksanakan kebijakan strategis, langkah-langkah penanganan serta terobosan yang diperlukan dalam rangka penanganan dan pemulihan hak tagih negara dan aset properti BLBI;

c. dalam hal diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang memerlukan terobosan dalam rangka penyelesaian penanganan dan pemulihan hak tagih negara dan aset properti BLBI, menyampaikan rekomendasi pengambilan kebijakan baru kepada pengarah;

d. melakukan upaya hukum dan/atau upaya lainnya yang efektif dan efisien bagi penyelesaian, penanganan, dan pemulihan hak tagih negara dan aset properti BLBI;

e. meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan antarkementerian/lembaga; dan

f. melakukan koordinasi dan mengambil langkah-langkah penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Struktur pelaksana terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan tujuh orang anggota.

“Ketua Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada pengarah sesuai dengan kebutuhan dan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan selaku pengarah."

"Paling sedikit satu kali setiap enam bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan,” bunyi Keppres ini.

Di bagian akhir Keppres 6/2021 disebutkan, segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas Satgas dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan.

“Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI bertugas sejak Keputusan Presiden ini ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2023,” tegas Presiden Jokowi dalam peraturan yang berlaku sejak ditetapkan ini.

Sebagaimana dituangkan pada bagian awal Keppres, saat terjadi krisis sektor keuangan tahun 1997, pemerintah memberikan BLBI terhadap korporasi atau perseorangan.

Pelaksanaan pemulihannya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Dengan berakhirnya masa tugas dan bubarnya BPPN yang diatur melalui Keppres Nomor 15 Tahun 2004, maka segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menkeu.

Dalam pengelolaan kekayaan negara oleh Menkeu itu, masih terdapat hak tagih negara atas sisa piutang negara maupun aset properti terhadap beberapa korporasi atau perseorangan, dengan kompleksitas permasalahan yang memerlukan penanganan dan pemulihan hak tagih negara.

Dalam rangka penanganan dan pemulihan hak tagih tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antarkementerian/lembaga.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan diterbitkannya Keppres 6/2021 ini oleh Presiden Joko Widodo. (Gita Irawan)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved