Aksi Terorisme
Racikannya Sempat Meletup, Orang yang Belajar Bikin Bom kepada Terduga Teroris Ini Jadi Kapok
Zulaimi mengungkapkan, keahliannya itu pun diajarkan kepada sejumlah terduga teroris yang juga turut ditangkap Densus 88 Antiteror di Jakarta-Bekasi.
Ahmad mengatakan, radikalisme banyak menjangkiti mereka yang berusia 20-39 tahun, karena beberapa faktor.
Baca juga: Tembak Mati Terduga Teroris Zakiah Aini, Polri: Awalnya Ingin Melumpuhkan
Pertama, karena generasi milenial ada di masa pertumbuhan yang tingkat kedewasaannya masih proses pembentukan, dan masih mencari jati diri.
Selain itu, kata dia, emosi mereka belum stabil dan senang dengan tantangan.
Selain itu, kata Ahmad, kecenderungan semangat keagamaan mereka tinggi.
Baca juga: Wujud Kontribusi Lestarikan Lingkungan, MSIG Indonesia Dukung Toyota EV Smart Mobility Project
"Ini mudah sekali keterpaparannya, apalagi dengan maraknya atau fenomena dunia maya."
"Apalagi tentu saja generasi milenial yang banyak menggunakan fasilitas dunia maya ini," kata Ahmad ketika berbincang dengan Tribun Network, di kantor redaksi Tribunnews, Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Untuk itu, kata dia, BNPT telah membuat sejumlah strategi pencegahan pemaparan radikalisme terhadap mereka.
Baca juga: Sri Mulyani: 70 Persen Rakyat Indonesia Diprediksi Bergaji Rp 28 Juta per Bulan pada 2045
Di antaranya dengan menguatkan dan melibatkan secara aktif dan produktif civil society moderat, tokoh agama, dan civitas academic.
Pencegahan tersebut, kata Ahmad, dalam rangka memberi 'vaksin' berupa pembangunan karakter dan mengajarkan budi pekerti.
Hal itu karena menurutnya puncak dari keagamaan bukan pada tindakan jihad, sebagaimana yang dipahami oleh penganut paham radikal.
Baca juga: 85 Persen Negara Asia Pasifik Sudah Kembali Sekolah Tatap Muka, Nadiem Makarim: Kita Ketinggalan
Untuk itu, ia mengajak generasi milenial untuk tidak mengikuti akun media sosial maupun ajaran ustaz-ustaz intoleran dan radikal.
"Kedua, anak-anak kita jangan boleh mem-follow ustaz-ustaz yang intoleran, ustaz-ustaz yang radikal."
"Karena ustaz ini adalah pintu masuk radikalisasi tadi, pintu masuk radikalisme," tutur Ahmad.
Baca juga: Polisi Bakal Teliti Alasan Zakiah Aini Dropout dari Kampus pada Semester V
Ia pun menjelaskan indikator ustaz-ustaz yang berpaham radikal di antaranya mengajarkan intoleransi terutama yang menganut Salafi Wahabi Jihadis.
"Saya mengatakan semua teroris yang kami tahan baik itu di Polri, lapas, BNPT itu semua berpaham Salafi Wahabi (Jihadis)."
"Tetapi tidak semua wahabi salafi otomatis adalah teroris," jelas Ahmad.
Baca juga: Aksi Teror di Mabes Polri, Pendiri NII Center: Polisi Dianggap Padamkan Cahaya Allah
Juga, lanjutnya, waspadai ustaz-ustaz yang membentur-benturkan antara agama dengan budaya, agama dengan negara, atau agama dengan nasionalisme.
"Ini sudah selesai. Jadi kalau ada ustaz yang melakukan dikotomi seperti itu, hati-hati, waspada, dan jangan diikuti, karena itu sudah ustaz yang akan meradikalisasi," beber Ahmad.
Menurutnya, jika ajaran tersebut diterima mentah-mentah oleh generasi milenial, maka mereka akan mudah mengafirkan orang-orang yang tidak sepaham, apalagi yang seagama.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 1 April 2021: 7.248 Pasien Sembuh, 6.142 Orang Positif, 196 Meninggal
Selain itu mereka juga akan merasa terzalimi atau diperlakukan tidak adil, menghalalkan segala cara atas nama agama, hingga akhirnya melakukan aksi teror.
"Artinya ini yang harus kita waspadai tentang klaim kebenaran, tentang manipulasi," cetus Ahmad. (Igman Ibrahim)