Aksi Terorisme

Dianggap Jadi Sekolah Jihad, Pemerintah Diminta Perbaiki Sistem Deradikalisasi di Penjara

Serangan Zakiah Aini ke Mabes Polri adalah serangan ke-197 yang menggunakan senjata ke markas kepolisian

KOMPAS.COM / SHUTTERSTOCK
Berdasarkan hasil riset Ridlwan Habib di 12 lapas yang di dalamnya terdapat napi kasus terorisme, kegiatan deradikalisasi yang digelar bersifat formalistik, misalnya berupa seminar. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ridlwan Habib, pengamat intelijen dan terorisme dari Indonesia Intelligence Institute, menyoroti pola deradikalisasi yang dilakukan pemerintah di lapas-lapas yang di dalamnya terdapat napi kasus terorisme.

Menurut Ridlwan, pola tersebut cenderung bersifat formalistik.

Pola-pola tersebut, menurut Ridlwan, menjadi satu dari sejumlah faktor yang menyebabkan aksi terorisme terus berulang.

Baca juga: Kompolnas Tak Lihat Ada Polwan Periksa Pengunjung Wanita Saat Zakiah Aini Tebar Teror di Mabes Polri

Berdasarkan data Indonesia Intelijen Institute bekerja sama dengan laboratorium 45, kata dia, faktanya sejak 2000 hingga 2021, Indonesia sudah 553 kali mendapat serangan teror.

Dari data tersebut, serangan Zakiah Aini ke Mabes Polri beberapa waktu lalu adalah serangan ke-197 yang menggunakan senjata ke markas kepolisian.

Saat ini, kata dia, di dalam penjara ada 875 narapidana yang sedang menjalankan proses hukuman.

Baca juga: Penjual Senjata yang Dipakai Zakiah Aini Dibekuk di Aceh, Polisi Dalami Motif dan Cara Belinya

Narapidana yang sedang proses mau dihukum, dalam artian proses penyidikan atau menjalani persidangan, ada sekitar 220.

Data tersebut, kata dia, belum termasuk para terduga teroris yang ditangkap dalam periode tiga bulan terakhir, yang nyaris 180 orang sejak Januari sampai penangkapan terakhir.

Ridlwan mengaku telah menulis tentang kegagalan penggalangan intelijen dan kegagalan deradikaliasi di lapas terorisme.

Baca juga: LOWONGAN Kerja Reporter Tribun Network-Warta Kota, Simak Syaratnya Ya

Berdasarkan hasil risetnya di 12 lapas yang di dalamnya terdapat napi kasus terorisme, kegiatan deradikalisasi yang digelar bersifat formalistik, misalnya berupa seminar.

Para napi tersebut, kata dia, enggan mengikuti acara tersebut, karena bentuknya yang formalistik dan cenderung memilih untuk sekadar mengisi absensi.

Hal tersebut ia sampaikan dalam Diskusi Online bertajuk Anak Muda dan Terorisme yang digelar Partai Solidaritas Indonesia, Senin (5/4/2021).

Baca juga: MAKI Praperadilankan 5 Kasus Mangkrak di KPK, dari Perkara Bank Century Hingga Bansos Covid-19

"Saya kira proses ini harus diubah."

"Proses, sistem deradikalisasi dalam penjara perlu diperbaiki negara. Kenapa?"

"Karena yang terjadi adalah penjara menjadi madrasatul (sekolah) jihad."

Baca juga: Polri: Kelompok Teror Sebar Radikalisme Dibungkus Kebebasan Berpendapat

"Orang masuk penjara, bukannya sembuh tapi malah lebih hebat," tutur Ridlwan.

Sejumlah kasus, kata dia, juga mendukung hal tersebut.

Ia mencontohkan pelaku teror bom Thamrin beberapa tahun lalu.

Baca juga: Yaqut Cholil Qoumas Ingin Doa Semua Agama di Indonesia Dipanjatkan di Setiap Acara Kemenag

Ridlwan mengatakan, pelaku teror bom Thamrin awalnya merupakan residivis kasus pencurian kendaraan bermotor.

Namun, kata dia, pelaku tersebut bertemu kelompok jihadis yang mencuci otaknya di penjara.

"Dia sebenarnya adalah residivis kasus pencurian motor, bukan kasus terorisme."

Baca juga: Rebut Hati Pemilih Perlu Effort Sangat Besar, PPP Tak Terganggu Kehadiran Partai Masyumi Reborn

"Tapi begitu keluar dia jadi teroris, naik level."

"Belajarnya di dalam penjara."

"Pembunuh, pemerkosa, ditakut-takutin. Kalian tobatnya tidak akan diterima kalau tidak baiat ke kita."

Baca juga: SUSUNAN Pengurus Partai Masyumi 2021-2026: Ahmad Yani Ketua Umum, TB Massa Djafar Sekjen

"Jadi di dalam penjara, dengan mengikuti itu, mereka mencari pertobatan, pemurnian dosa, maka dia gabung teroris," beber Ridlwan.

Ia juga menyoroti pengawasan terhadap napi teroris setelah keluar dari penjara.

Kebanyakan dari mereka, kata Ridlwan, kembali berkegiatan yang cenderung beraroma radikal.

Baca juga: SKB Sudah Berlaku, Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Tak Perlu Tunggu Juli 2021

"Karena mereka menghadapi tuntutan hidup."

"Di satu sisi ada anak istri yang harus dinafkahi, di sisi lain masyarakat menolak dia, karena itu mereka kebingungan."

"Yang beruntung bisa survive, tapi lebih banyak yang tidak beruntung."

"Negara seharusnya yang berjalan di situ, bukan institusi swasta," ucap Ridlwan.

Tiga Indikator Orang Terpapar Radikalisme

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid membeberkan tiga indikator orang-orang yang terjangkit radikalisme terorisme.

Indikator pertama, kata Ahmad, mereka ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi agama menurut versi mereka.

Selain itu, lanjut dia, mereka juga ingin mengganti sistem pemerintahan dengan segala cara.

Baca juga: JADWAL Lengkap dan Link Live Streaming Ibadah Jumat Agung 2 April 2021 di Jakarta dan Sekitarnya

Hal itu, kata Ahmad, karena radikalisme sejatinya merupakan paham yang menginginkan tatanan sosial politik yang sudah mapan, dengan cara-cara ekstrem atau kekerasan.

Indikator kedua, kata dia, mereka takfiri yang berciri intoleran, cenderung anti budaya kearifan lokal, senang melabel kelompok di luar mereka sesat dan kafir.

Hal tersebut ia sampaikan ketika berbincang dengan Tribun Network, Kamis (1/4/2021).

Baca juga: JADWAL Lengkap dan Link Live Streaming Misa Malam Paskah 3 April 2021 di Jakarta dan Sekitarnya

"Kemudian yang ketiga, kecenderungan mereka lemah di bidang akhlak, perilaku, budi pekerti."

"Mereka lebih menonjol pada hal-hal yang sifatnya ritual keagamaan, identitas keagamaan, tampilan luar keagamaan."

"Jadi ritual formal keagamaan tapi lemah spiritual keagamaan," beber Ahmad.

Baca juga: Pernyataan Lengkap Kapolri Soal Aksi Teror di Mabes Polri: Pelaku Lone Wolf Berideologi Radikal ISIS

Untuk itu, kata Ahmad, radikalisme terorisme mengatasnamakan agama adalah cermin dari krisis spritual dalam beragama.

Ia pun menegaskan aksi terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun, baik kejadian di Gereja Katedral Makassar maupun di Mabes Polri Jakarta.

Namun demikian, kata Ahmad, aksi teror tersebut terkait dengan pemahaman dan cara beragama umatnya, dan biasanya didominasi dengan umat beragama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah.

Baca juga: Jokowi: Tidak Ada Tempat Bagi Terorisme di Tanah Air

"Jadi sekali lagi kita harus samakan persepsi, kita harus fair dalam hal ini."

"Sekali lagi ini tidak ada kaitannya dengan agama apa pun, tapi sangat terkait dengan pemahaman, cara beragama, umat beragama, dalam konteks ini Islam," jelas Ahmad. (Gita Irawan)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved