KISAH Deputi VII BIN Diancam Dibunuh Usai Tewasnya 6 Pengawal Rizieq Shihab, Ponsel Sampai Macet

Akibatnya, kata Wawan, ponselnya pun macet karena banyaknya pesan masuk tersebut.

Istimewa
Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto mengaku pernah diancam dibunuh, terkait peristiwa tewasnya pengawal Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek KM 50. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengaku pernah diancam dibunuh, terkait peristiwa tewasnya pengawal Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek KM 50.

Wawan mengatakan, teror tersebut berbentuk pengungkapan nama, nomor telepon, telepon gelap, dan pengiriman ribuan pesan singkat melalui aplikasi Labalabi di WhatsApp.

Inti dari pesan teror tersebut, kata Wawan, mereka ingin membunuhnya.

Baca juga: JADWAL Lengkap dan Link Live Streaming Misa Kamis Putih 1 April 2021 di Jakarta dan Sekitarnya

Awalnya, Wawan menjelaskan terkait masalah terorisme yang masuk ke dalam kategori extra ordinary crime.

Selama ini, kata Wawan, pemerintah melalui Kemenkominfo telah melalukan berbagai cara untuk membendung masalah tersebut.

Namun langkah tersebut, kata Wawan, tidak cukup efektif tanpa adanya filter dari penyedia platform media sosial seperti Facebook, YouTube, dan WhatsApp.

Baca juga: Indonesia Peringkat 4 Vaksinasi Covid-19 Terbesar di Dunia, Kalahkan Israel dan Prancis

Hal tersebut ia sampaikan dalam Webinar ISNU-BNPT bertajuk 'Mencegah Radikalisme dan Terorisme untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial', Selasa (30/3/2021).

"Cuma, kita juga sadari ada juga server-server yang tidak berada di Indonesia."

"Dan akun-akun itu kemarin nama saya di-blow up di situ."

Baca juga: Tangkal Mutasi Baru, Sejumlah Produsen Kaji Pemberian Dosis Ketiga Vaksin Covid-19

"Nomor saya di-blow-up di situ, dan mereka me-Labalabi saya."

"Saya di-Labalabi ratusan ribu teror ke saya melalui Labalabi, baik WhatsApp maupun telepon gelap, intinya mau membunuh saya, terus-menerus," tutur Wawan.

Akibatnya, kata Wawan, ponselnya pun macet karena banyaknya pesan masuk tersebut.

Baca juga: Atribut FPI Ditemukan di Rumah Terduga Teroris, Kuasa Hukum Rizieq Shihab: Bisa Dibeli di Mana-mana

"Itu yang ratusan ribu sampai (handphone) hang karena di-Labalabi, sekali pukul bisa 4.500 (pesan) sehingga panas handphonenya," ungkap Wawan.

Namun demikian, Wawan menanggapi pesan-pesan bernada teror tersebut dengan santai.

Beberapa di antaranya baru berhenti ketika Wawan balas dengan pesan yang mengungkapkan identitas berupa foto dan nama mereka.

Baca juga: BREAKING NEWS: Sekolah Wajib Gelar Belajar Tatap Muka Lagi Usai Vaksinasi Covid-19 Guru Rampung

Wawan mengungkapkan, sejumlah server dari akun-akun media sosial tersebut tidak berada di Indonesia.

"Sehingga kita akhirnya harus bekerja sama dengan negara lain untuk melakukan pelacakkan itu."

"Tapi selalu saya jawab dengan santun, meskipun dia kasar-kasar jawabnya mau bunuh, mau apa, saya jawab dengan santun," tutur Wawan.

Baca juga: Dua Terduga Teroris Sempat Tonton Sidang Rizieq Shihab di PN Jaktim, Polisi Perketat Pengamanan

Akhirnya, kata Wawan, beberapa di antara mereka justru berubah sikap dan minta maaf ke Wawan.

Menurut Wawan, perubahan sikap itu terjadi karena pendekatan yang ia gunakan untuk merespons mereka.

"Karena apa? Tujuan kami adalah membina dan mengubah mindset. Estom. Emosi, sikap tingkah laku, opini dan motivasi mereka."

"Beberapa di antaranya dari bulan itu sekarang tetap menghubungi saya dengan bahasa yang berubah, karena tadinya ada kesalahpahaman, ini terkait dengan peristiwa KM50," beber Wawan.

Targetkan Anak Muda

Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto membeberkan pola penyebaran radikalisme melalui media sosial yang menargetkan anak muda.

Wawan mengungkapkan saat ini banyak beretebaran konten yang memuat cara-cara membuat bom, agitasi, rekrutmen, teknik penyerangan, teknik gerilya kota, maupun praktik langsung membuat bom yang tersebar di media sosial.

Penyebaran konten tersebut, kata Wawan, menyasar utamanya anak muda berusia 17 sampai 24 tahun.

Baca juga: Dibilang Demisioner, Kubu AHY: Mana Ada Cerita Rampok Malah Tertibkan yang Punya Rumah

Sedangkan pengguna media sosial dengan usia lebih dari 24 tahun, kata Wawan, merupakan target keduanya.

Wawan mengatakan 60 persen konten di media sosial berisi hoaks.

Hoaks-hoaks tersebut, kata Wawan, sangat berdampak bagi jiwa-jiwa labil yang tidak kritis.

Baca juga: Sekolah Tatap Muka Bisa Langsung Disetop Jika Ada Penularan Covid-19, Orang Tua Boleh Memilih

Sehingga, mereka melakukan langkah-langkah intoleran yang berujung pada tindakan radikal hingga mengarah ke teroris.

Media sosial, kata Wawan, disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme.

"Kecenderungan ini dikuatkan oleh survei BNPT terbaru, bahwa 80 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme."

Baca juga: Sekolah Wajib Bentuk Satgas Covid-19 dan Gelar Rapid Test Berkala Saat Belajar Tatap Muka Terbatas

"Ini menjadi catatan kita bahwa generasi milenial lebih cenderung menelan mentah, tidak melakukan cek, recek, dan kroscek."

"Dan sikap intoleran ini biasanya muncul pada generasi yang tidak kritis dalam berpikir," kata Wawan.

Penyebaran radikalisme melalui media sosial, kata Wawan, menjadi menarik bagi generasi muda.

Baca juga: Olahraga, Ekskul, Hingga Kantin Dilarang Saat Pembelajaran Tatap Muka Terbatas

Hal itu, kata dia, disebabkan generasi muda berada di usia yang rawan butuh jati diri dan eksistensi.

Penyebaran paham radikal tersebut, kata Wawan, juga sering dibumbui narasi heroisme.

Propaganda radikalisme di media sosial, kata dia, juga dikemas dengan narasi ketidakadilan.

Baca juga: Nyaris Tak Ada Pandemi Selesai Setahun Jadi Alasan Menkes Dukung Pembelajaran Tatap Muka di Sekolah

Pesan-pesan tersebut menurutnya membentuk kesesatan berpikir, bahwa tatanan sosial saat ini perlu dibenahi.

Menurutnya, hal itu didukung dengan kemudahan mengakses internet, banyaknya waktu luang, dan narasi dan konten radikal yang disebar dengan mudah dapat diakses oleh generasi muda.

"Generasi muda diposisikan sebagai juru selamat yang mampu mengubah keadaan, salah satunya melalui aksi teror."

Baca juga: JADWAL Lengkap dan Link Live Streaming Ibadah Jumat Agung 2 April 2021 di Jakarta dan Sekitarnya

"Jadi dia ingin mengubah ini dengan pola yang radikal, pola yang pemaksaan kehendak."

"Ingin mengikuti apa yang diyakininya sebagai tatanan yang dianggap paling benar dan yang lain salah," ulas Wawan.

Kemudaham radikalisasi generasi muda melalui media sosial, kata Wawan, bisa menciptakan teroris baru.

Baca juga: Jhoni Allen Cs Absen Sidang, Kuasa Hukum AHY: Tak Hormati Proses Hukum, Hanya Koar-koar

Tingginya intensitas dan masifnya pesan radikal melalui media sosial, kata dia, mendorong pemikiran seseorang berubah menjadi ekstrem, yang akhirnya menjelma menjadi pelaku teror yang melakukan tindak kekerasan.

"Media sosial juga memperluas jangkauan konten radikal, karena penyebarannya yang cepat dan mudah," ucap Wawan.

Untuk itu, kata Wawan, BIN telah melakukan sejumlah langkah antisipatif, di antaranya melakukan patroli siber 24 jam.

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 Indonesia 30 Maret 2021: Dosis Pertama 7.729.582, Suntikan Kedua 3.500.264

BIN, kata Wawan, juga punya akun-akun media sosial yang bisa berkomunikasi langsung dengan generasi milenial tersebut, maupun masyarakat secara umum.

Melalui akun-akun tersebut, kata Wawan, BIN banyak melakukan tanya jawab dengan mereka.

Di sanalah, kata Wawan, BIN memberikan jawaban-jawaban terbaik untuk pembinaan mereka, terutama dalam pembinaan mental ideologi.

Baca juga: Dukung Larangan Mudik Lebaran, Wagub DKI: Tempat Terbaik Adalah di Rumah Bersama Keluarga

Selain itu, kata Wawan, BIN juga melakukan upaya-upaya pembinaan kepada mereka-mereka yang melakukan ujaran kebencian, atau menyebarkan ajaran-ajaran yang mengajak ke arah permusuhan.

"Beberapa di antaranya bisa kita lakukan pembinaan."

"Tapi yang tidak bisa dibina dan bahkan cenderung tidak baik, ya tentu menjadi target untuk diamankan, ditindak secara pidana."

Baca juga: Abdullah Hehamahua Tuding Bom Bunuh Diri di Makassar dan Temuan Atribut FPI Operasi Intelijen

"Sebagian yang lain di antaranya memang dilakukan blocking, ataupun take down, dan sejenisnya."

"Ini kerja sama dengan Kemenkominfo," jelas Wawan. (Gita Irawan)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved