Alasan Nadiem Makarim Hapus UN: Luar Biasa Diskriminatif, Masa Depan Tergantung Tes 2-3 Jam

Asesmen nasional terdiri dari tiga bagian, yaitu asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

istimewa
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggantikan Ujian Nasional (UN) dengan asesmen nasional.

Asesmen nasional terdiri dari tiga bagian, yaitu asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Sistem asesmen nasional mulai berlaku tahun 2021.

Baca juga: Staf Khusus Jokowi Ayu Kartika Dewi Positif Covid-19, Kemungkinan Tertular Saat Makan Bareng

Peniadaan UN menjadi penanda perubahan paradigma evaluasi pendidikan dan peningkatan sistem evaluasi pendidikan.

"Meniadakan UN salah satu perubahan fundamental dari sistem pendidikan kita."

"Ini pertama kali lakukan," ucap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, saat berbincang dengan aktor Ikbal Ramadan di Live Instagram, Jumat (11/12/2020).

Baca juga: MAKI Duga Harga Sepaket Bansos yang Dikorupsi Juliari Batubara Rp 33 Ribu, Begini Hitungannya

UN yang sebelumnya mengukur potensi atau bahkan menentukan masa depan peserta didik, dinilai Nadiem sebagai sebuah kesalahan.

Sistem asesmen nasional, lanjut Nadiem, harusnya dilakukan untuk mengukur kualitas daripada sistem pendidikan, yaitu kualitas sekolahnya.

"Ini adalah kesalahan yang ada sebelumnya, yang kita koreksi."

Baca juga: Novel Baswedan Kembali Ungkap Niat Hengkang dari KPK, Nilai Negara Tak Ingin Lagi Berantas Korupsi

"Bagaimana bisa kita mengambil tes dua tiga jam, tiba-tiba masa depan dia bergantung pada tes itu."

"Itu tidak fair, tidak adil," sambung Nadiem.

Nadiem menceritakan, saat penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) keluar, Indonesia mendapat ranking rendah di bidang pendidikan.

Baca juga: Kapolda Metro Jaya: Enggak Ada Gigi Mundur, Hukum Harus Tegak pada Ormas yang Merasa di Atas Negara

Penilaian dari PISA ini sempat menjadi animo krisis pembelajaran di Tanah Air.

"Makanya kita melakukan reformasi (pendidikan) secara cepat," ucap Nadiem.

Reformasi pendidikan di sini dimaksudkan mengganti UN dengan AKM, survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Baca juga: Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Tambah 53 Orang, Tenjolaya Masuk Zona Merah Lagi

Berdasarkan data PISA, terjadi perbandingan yang sangat mencolok antara sekolah swasta dan sekolah negeri, khususnya di tingkat SMP dan SMA.

Mayoritas anak-anak dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi justru bersekolah di sekolah negeri.

Sementara, anak-anak dengan tingkat ekonomi lebih rendah justru ada di sekolah swasta.

Baca juga: Rizieq Shihab Cs Jadi Tersangka, Kuasa Hukum FPI Bakal Sambangi Polda Metro Jaya

Nadiem mengatakan, temuan PISA ini menjadi penanda gagalnya pemerintah dalam memberikan kesetaraan di bidang pendidikan.

Penyebabnya tak lain adalah sistem asesmen nasional yang masih menggunakan Ujian Nasional (UN).

"Semua yang tingkat ekonominya tinggi itu justru ada di sekolah negeri."

Baca juga: Imigrasi Terima Surat Pengajuan Pencekal Rizieq Shihab Cs dari Polisi Sejak 7 Desember 2020

"Semua yang ekonominya lebih rendah itu ada di sekolah swasta.

"Kenapa di sekolah negeri banyak yang dari tingkat ekonominya lebih tinggi?"

"itu karena UN."

Baca juga: Sebelum Jadi Tersangka, Rizieq Shihab Diklaim Janji Penuhi Panggilan Penyidik pada 14 Desember 2020

"Karena semua anak-anak yang nilai UN-nya lebih tinggi itu bisa masuk sekolah negeri," sambung eks bos Gojek itu.

Nadiem menyebut para peserta didik yang memperoleh nilai UN tinggi kebanyakan berasal dari keluarga mampu.

Orang tua daripada anak-anak itu secara finansial mampu memberikan program bimbingan belajar (bimbel).

Baca juga: Jelaskan Tugas Berantas Premanisme di Jakarta, Kapolda Pakai Analogi Gajah Mada dan Preman Kampung

"Anak-anak yang bisa dapat UN tinggi itu, anak-anak yang orang tuanya mampu mengikutkan bimbel bagi anaknya, untuk dapat nilai UN yang lebih tinggi," beber Nadiem.

Sementara, yang tidak punya uang untuk mengikuti program bimbel, kebanyakan gagal masuk sekolah negeri.

Mereka adalah para peserta didik yang berasal dari keluarga dengan perekonomian lebih rendah.

Baca juga: Banyak Pasien Belum Sembuh, Kasus Aktif Covid-19 di Indonesia Naik Jadi 14,46 Persen

Melihat kasus tersebut, Nadiem menilai UN sebagai sistem asesmen nasional justru menjadi instrumen yang luar biasa diskriminatif.

"Jadi lucu bukan? Bagaimana suatu sistem yang tadinya untuk kebaikan justru menjadi instrumen diskriminatif yang luar biasa," paparnya.

Maka itu, Kemendikbud di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim meniadakan UN.

Baca juga: Bacakan Pleidoi, Djoko Tjandra: Saya Harus Dibebaskan

"Harusnya pemerintah memberikan pendidikan untuk semua."

"Jadi UN itu sudah kita hilangkan, jadi itu sudah tidak ada," cetus Nadiem. (Lusius Genik)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved