Hari Pahlawan

Sikap Megawati Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Dinilai Cermin Luka Orde Baru

Penolakan Megawati terhadap rencana gelar pahlawan untuk Soeharto dinilai mencerminkan luka sejarah Orde Baru.

Wartakotalive/Miftahul Munir
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Presiden Mahasiswa BEM UIN Alauddin Makassar, M Zulhamdi Suhafid soroti ketum PDIP Megawati yang tolak pemberian gelar ke Soeharto, Sabtu (8/11/2025). (WARTA KOTA/MIFTAHUL MUNIR) 

WARTAKOTALIVE.COM, KELAPA GADING - Penolakan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, kembali memantik perdebatan publik.

Sikap Megawati dinilai mencerminkan bahwa bangsa Indonesia masih berhadapan dengan luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.

Presiden Mahasiswa BEM UIN Alauddin Makassar, M Zulhamdi Suhafid menilai, bahwa keputusan Megawati tersebut bisa dimaknai sebagai ekspresi jujur dari memori kolektif bangsa yang terluka.

Namun di sisi lain juga menunjukkan bahwa proses pendewasaan sejarah nasional belum selesai.

“Sikap Ibu Megawati adalah bentuk keberanian dalam mempertahankan prinsip. Ini menunjukkan bahwa luka sejarah, terutama terkait dinamika politik Orde Baru, masih meninggalkan residu psikologis di ruang sosial dan politik Indonesia,” ujar Zulhamdi, Sabtu (8/11/2025).

Baca juga: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Akademisi: Beliau Bapak Pembangunan

Lebih lanjut, Zulhamdi menyatakan, jika penolakan tersebut didasari pengalaman pribadi dan sejarah keluarga besar Soekarno, maka keputusan itu berpotensi menimbulkan kesan politik dendam di tengah masyarakat.

Padahal, kata dia, Presiden Prabowo tengah berupaya merawat persatuan dan memulihkan memori sejarah bangsa melalui pendekatan yang lebih inklusif.

“Tentu kita tidak bisa menafikan trauma masa lalu, namun bila pengalaman personal dijadikan dasar untuk menolak pengakuan terhadap jasa tokoh lain, itu berisiko menumbuhkan politik dendam yang justru menghambat rekonsiliasi nasional,” tuturnya.

Zulhamdi juga menekankan pentingnya keteladanan dari para pemimpin bangsa dalam menyikapi tokoh-tokoh masa lalu termasuk yang pernah berseberangan secara politik. 

Ia mencontohkan langkah-langkah yang pernah dilakukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Taufiq Kiemas, hingga Presiden Prabowo yang berani mengakui jasa orang-orang yang berbeda pandangan, tanpa kehilangan sikap kritis terhadap sejarah.

Baca juga: Balik Arah, Jokowi Setarakan Gus Dur dengan Soeharto ​untuk Jadi Pahlawan Nasional

“Seorang pemimpin sejati tidak perlu menghapus catatan kelam masa lalu, tetapi harus mampu menempatkannya dalam konteks yang objektif," jelasnya.

"Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan bahkan Presiden Prabowo telah menunjukkan bahwa penghargaan terhadap jasa seseorang tidak berarti menghapus kritik atas kesalahannya. Inilah bentuk kedewasaan politik yang perlu diteladani," sambung Zulhamdi.

Menanggapi pertanyaan apakah adil bila jasa besar Soeharto di bidang pembangunan, pangan, infrastruktur, ekonomi, dan stabilitas nasional diabaikan hanya karena kontroversi politiknya.

Zulhamdi berpendapat bahwa sejarah harus dilihat secara proporsional bukan secara dendam keluarga.

Baca juga: Muhammadiyah Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Muhadjir Effendy: Jasa Beliau Besar

“Kita tidak bisa menafikan peran besar Soeharto dalam pembangunan nasional. Kesalahan dan pelanggaran politiknya harus diakui, tetapi pencapaian konkret di bidang ekonomi dan ketahanan pangan juga patut diapresiasi," ungkapnya.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved