Pemilu 2024
Sudirman Said Tegaskan Jangan Sampai Kerusakan Demokrasi Begitu Berat dan Tak Bisa Diperbaiki
Hilangnya etika dan moralitas kepemimpinan, melemahkan skema kontrol berpotensi menyebabkan kerusakan demokrasi yang berat dan tidak bisa diperbaiki.
Penulis: Yolanda Putri Dewanti | Editor: Junianto Hamonangan
WARTAKOTALIVE.COM JAKARTA - Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said menilai bahwa hilangnya etika dan moralitas kepemimpinan dengan melemahkan skema kontrol berpotensi menyebabkan tingkat kerusakan demokrasi yang berat dan tidak bisa diperbaiki dalam waktu cepat.
Hal tersebut disampaikan Sudirman Said dalam Diskusi Publik "Rethinking Indonesia: Pemilu Terburuk dalam Sejarah Indonesia, Akankah Kita Terpuruk?" yang diselenggarakan Desantara Foundation di Jakarta, Sabtu (2/3/2024).
"Sehingga kerusakan [penyelenggaraan negara dan iklim demokrasi] akan terjadi terus-menerus dalam waktu 20 tahun depan. Katanya bisik-bisik di luar sudah ada yang membuat skenario bahwa keadaan ini akan berlangsung selama 20-25 tahun," kata Sudirman.
"Bahkan, sudah ada yang bisik-bisik sudah seluruh partai politik dimasukkan saja dalam koalisi besar permanen jangka panjang, tinggal satu atau dua [parpol] ditinggalkan di luar koalisi," sambungnya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh seperti Sandrayati Moniaga (eks Komisioner Komnas HAM), Eros Djarot (Politikus & Budayawan), Jumhur Hidayat, Muhammad Nurkhoiron, Yusuf Martak, dan lainnya.
Dia menilai, jika skenario itu benar adanya, maka menjadi iktikad buruk yang akan membuat masyarakat terjebak dalam kondisi rusaknya demokrasi, lemahnya pengawasan dalam penyelenggaraan negara, dan kepemimpinan yang melanggar etik dan moralitas.
Baca juga: Soal Isu Skenario Semua Parpol Masuk Koalisi Pemerintah, Sudirman Said: Sudah Mulai Ada Bisik-bisik
Sudirman menjelaskan bahwa kepemimpinan menjadi faktor penting dalam menentukan kemajuan atau kemunduran sebuah institusi.
Dia mencontohkan Singapura sebagai little dot [titik kecil] Asia, tetapi di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew mampu menjadikan negara tersebut sangat berwibawa.
Sebaliknya, banyak negara besar dengan penduduk banyak, sumber daya besar, tetapi tidak diperhitungkan karena kepemimpinan yang kurang bagus.
"Ini contoh bahwa betapa tingginya faktor etik bila kita memang menghendaki satu kepemimpinan yang paripurna dalam suatu negara," jelas dia.
Menurutnya, etik mengatur dan menjadi pengendali para pemimpin di level tertinggi.
Sebaliknya, jika pemimpin tertinggi mengabaikan etik dan hanya fokus pada legalistik, hal ini akan berbahaya karena dapat membuat aturan yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompok kepentingannya sehingga merugikan pihak lain.
Baca juga: Surya Paloh Buka Peluang Bertemu Megawati, Sudirman Said: No Urut 1 dan 3 Sudah Biasa Komunikasi
"Dan ini yang sedang terjadi, bukan bukan lagi nabrak hukum, tapi etik pun sudah diabaikan," imbuhnya.
Sudirman menilai, kondisi bernegara saat ini juga cukup berbahaya karena sudah tidak ada 'rem' atau pengendali lagi.
Dalam waktu 9 tahun atau 10 tahun terakhir, lanjutnya, semua menyaksikan terjadinya pelemahan instrumen kontrol.
| Sekretaris KPU Jakarta Dirja Abdul Kadir Ungkap Pekerjaan KPUD Jakarta Belum Selesai |
|
|---|
| Sempat Khawatir pada Kerawanan, KPU Jakarta Apresiasi Kinerja Polri Amankan Pelaksanaan Pilkada 2024 |
|
|---|
| DKPP Prihatin Masih Banyak Penyelenggara Pemilu Tidak Netral di Pemilu 2024 |
|
|---|
| Bawaslu Kabupaten Bekasi Rilis Laporan Akhir Pengawasan Pemilu 2024, Ini Hasilnya |
|
|---|
| Gugatan Kader PKB Calon Anggota DPR Terpilih yang Dipecat Cak Imin Dikabulkan Bawaslu |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.