Megakorupsi Jiwasraya-Asabri Bikin Jaksa Agung Pertimbangkan Tuntut Hukuman Mati kepada Koruptor
Penerapan tuntutan hukuman mati ini ia nilai tepat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengkaji kemungkinan menuntut hukuman mati kepada koruptor.
Penerapan tuntutan hukuman mati ini ia nilai tepat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan Burhannudin saat melakukan briefing bersama Kajati, Wakajati, Kajari, dan Kacabjari, dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis (28/10/2021).
Baca juga: BREAKING NEWS: Tes PCR Turun Harga Jadi Rp 275 Ribu untuk Jawa-Bali, Rp 300 Ribu di Pulau Lain
"Bapak Jaksa Agung sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati, guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud."
"Tentunya penerapannya harus tetap memperhatikan hukum positif yang berlaku, serta nilai-nilai hak asasi manusia," kata Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer, Kamis (28/10/2021).
Jaksa Agung, kata Leo, mempertimbangkan tuntutan hukuman mati, setelah melihat penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung.
Baca juga: Penyuntikan Dimulai Tahun Depan, Pemerintah Kaji Kombinasi Merek Paling Ideal untuk Vaksin Booster
Dua yang menjadi sorotan adalah kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri.
"Jiwasraya dan Asabri sangat memprihatinkan kita bersama, di mana tidak hanya menimbulkan kerugian negara kasus Jiwasraya Rp 16,8 triliun dan Asabri Rp 22,78 triliun."
"Namun sangat berdampak luas, baik kepada masyarakat maupun para prajurit," ujarnya.
Baca juga: Apa Kabar Rencana Rekrutmen 57 Mantan Pegawai KPK Jadi ASN? Polri: Masih Diproses
Leo menuturkan, Jiwasraya dan Asabri menyangkut hak banyak pegawai maupun prajurit yang menggantungkan jaminan hidup hari tuanya.
Namun, dana itu justru dikorupsi oleh oknum tertentu.
"Perkara Jiwasraya menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial."
Baca juga: Pemerintah Sudah Habiskan Rp 28,2 Triliun untuk Belanja Vaksin Covid-19
"Demikian pula perkara korupsi di ASABRI, terkait dengan hak-hak seluruh prajurit."
"Di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua," paparnya.
Selain itu, kata Leo, Jaksa Agung juga membuka kemungkinan menuntut vonis selain hukuman mati kepada koruptor.
Baca juga: Pengamat: Kalau Menentukan Jadwal Pemilu Saja Masih Ragu, Berarti KPU Tidak Mandiri
"Bapak Jaksa Agung juga menyampaikan kemungkinan konstruksi lain yang akan dilakukan."
"Yaitu bagaimana mengupayakan agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung."
"Dan adanya kepastian, baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi," terang Leo.
Warisan Penjajah yang Anggap Bangsa Indonesia Susah Diatur
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu meminta pemerintah meninjau kembali penerapan hukuman mati.
Data olahan ICJR dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM pada 2019 dan database ICJR soal hukuman mati di Indonesia pada 2020 menunjukkan, ada sekitar 274 terpidana mati di lapas.
Dari jumlah itu, 60 orang sudah duduk di dalam deret tunggu eksekusi mati selama lebih dari 10 tahun.
• ISI Lengkap SE Menteri Agama tentang Kegiatan di Rumah Ibadah, Waktu Ibadat Wajib Dipersingkat
"Indonesia duduk sebagai salah satu dari hanya sedikit negara di dunia yang masih mempraktikkan hukuman mati di dalam kebijakan pidana."
"Sedangkan 142 negara sudah menghapus total hukuman mati," kata dia, dalam keterangan tertulis, Selasa (2/6/2020).
Dia menilai hukuman mati bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
• DAFTAR 102 Kabupaten/Kota yang Sudah Boleh Terapkan New Normal, di Pulau Jawa Cuma Tegal
Hukuman mati yang diturunkan penjajah tidak menggambarkan kemajuan secara nasional ataupun internasional.
Menurut dia, hukuman mati hadir dalam sistem hukum di Indonesia karena alasan rasial dan stigma penjajahan terhadap Bangsa Indonesia.
Saat itu, Bangsa Indonesia dianggap tidak dapat diatur dan merupakan bangsa yang tidak bisa dipercaya, sehingga perlu diberlakukan hukuman mati.
• Orang Tua dan Istrinya Sakit, Ruslan Buton yang Minta Jokowi Mundur Ajukan Penangguhan Penahanan
Selama 75 tahun bangsa berdiri, lanjutnya , pemerintah belum bisa sepenuhnya menghadirkan hukum pidana yang berdasarkan dan mencerminkan prinsip-prinsip negara untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
"Saat ini Indonesia negara merdeka, segala kebijakan berbasis stigma seperti hukuman mati, harusnya dihapus."
"Selama hukuman mati masih menjadi bentuk sanksi, maka Indonesia masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam Pancasila," tuturnya.
• 11 Indikator Daerah Bisa Terapkan New Normal, Semuanya Berbasis Data
Untuk itu, pihaknya mengajak pemerintah dan jajaran untuk maju dan berkembang secara rohani, budaya, dan masyarakat, sesuai Sila ke-2 Pancasila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Cara yang dapat dilakukan, pertama, pemerintah termasuk DPR melahirkan kebijakan pidana yang berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Salah satunya, dapat dimulai dengan revisi Rancangan Kitab Perundang-undangan Hukum Pidana (RKUHP), penghapusan hukuman mati harus kembali diwacanakan.
• UPDATE Covid 30 Mei 2020: 7 Kelurahan di Kota Depok Nihil Kasus Baru, 3 di Antaranya Bersih Total
Kedua, mempertahankan moratorium pidana mati bukan hanya dalam hal eksekusi, tetapi juga dalam penjatuhan pidana dalam tahap yudisial/peradilan pidana.
"Ketiga, memberikan komutasi atau pengubahan hukuman bagi mereka yang sudah dalam deret tunggu eksekusi mati lebih dari 10 tahun demi alasan kemanusiaan."
"Tanpa kejelasan hidup dalam ketakutan, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab," paparnya.
• KISAH ART Usia 16 Tahun Terpaksa Jual Paket Sembako Bansos Demi Bantu Ibunya yang Sakit Strok
Sebelumnya perumus RKUHP, Muladi, mengungkapkan bahwa hukuman mati kemungkinan besar takkan dihapuskan.
Tapi, ada jalan tengah yang diambil antara pemerintah dan DPR, guna menengahi persoalan tersebut.
"Akhirnya kita menempuh Indonesian way, jalan tengah itu mengatur pidana mati bersyarat," kata pakar hukum pidana tersebut.
• 30 Mei 2020, Penambahan Kasus Positif Covid-19 di Jawa Timur Tertinggi dan Lampaui Jakarta
Pidana mati bersyarat itu mengatur bahwa orang yang dipidana mati, akan terus dipantau selama 10 tahun.
Jika berkelakuan baik, hukumannya bisa diubah menjadi pidana seumur hidup, atau 20 tahun penjara.
Sementara, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan menegaskan, hukuman mati tidak pernah dapat menanggulangi kejahatan.
• 30 Mei 2020 Catat Rekor Baru 523 Pasien Covid-19 Sembuh dalam Sehari, 10 Provinsi Tak Ada Kasus Baru
Hal tersebut diungkapkan Maruarar dalam diskusi memperingati hari anti hukuman mati dunia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/10/2017).
Ia mengatakan, selama masih ada keuntungan terhadap kejahatan, ancaman terhadap kejahatan yang tertulis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak akan berpengaruh signifikan.
"Menganggap hukuman mati membuat keder, padahal tidak," katanya.
• UPDATE Kasus Covid-19 di Kota Depok 30 Mei 2020: Jumlah Pasien Sembuh Tembus 40 Persen
Oleh karenanya, Rektor UKI tersebut berpendapat bahwa sebaiknya pemberlakuan hukuman mati tersebut dimoratorium.
Menurutnya, dalam menerapkan hukuman, harus dilihat filosofi bernegara yang sesuai Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa.
"Orang merasa puas dengan hukuman mati, padahal hukuman mati melegitimasi terhadap kekerasan."
• Satpas SIM Daan Mogot Kembali Dibuka, Jumlah Pemohon Dibatasi dan Terapkan Physical Distancing
"Ini problem penting dalam filosofi bernegara," tuturnya.
Pemerintahan Joko Widodo terbilang sering menerapkan hukuman mati. Sejak menjabat 2014 lalu, pemerintah Jokowi sudah mengeksekusi 18 terpidana mati.
Sedangkan selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 16 orang yang dieksekusi. (Igman Ibrahim)