Penyuap Edhy Prabowo: Saya 12 Kali Ekspor Benur Cuma Untung Rp 40 Juta, yang Lainnya Rugi
Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito mengaku bisnis ekspor benih lobster (benur) tak menguntungkan.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito mengaku bisnis ekspor benih lobster (benur) tak menguntungkan.
Sebab, kata penyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo itu, banyak risiko bisnis yang membuat nilai benur berkurang.
Pernyataan ini disampaikan Suharjito saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor benur untuk terdakwa Edhy Prabowo, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/5/2021).
Baca juga: KPK Umumkan 75 Pegawainya Tak Memenuhi Syarat Jadi ASN, 2 Orang Tidak Ikut Tes
Suharjito mulanya menjelaskan harga ekspor benur yang dipatok KKP dinilai terlalu tinggi.
Kata dia, biaya ekspor benur yang seharusnya hanya Rp 300 per ekor, melonjak jadi Rp 1.800 per ekor, lantaran ada hitung-hitungan pembayaran ke PT ACK selaku perusahaan kargo.
"Jadi sebelumnya itu kita sudah hitung, sampai plastiknya kita hitung."
Baca juga: Propam Segera Gelar Sidang Etik untuk Brigjen Prasetijo Setelah Divonis 3 Tahun Penjara
"Kita kan memang bisnis, sudah kita menghitung itu kemahalan," ungkap Suharjito.
Ia mengaku tak punya pilihan untuk mundur, sehingga terus melanjutkan bisnis ekspor benur tersebut.
Sebab, komitmen sudah terbentuk antara PT ACK dengan pihak KKP, sehingga harga ditentukan Rp 1.800 per ekor.
Baca juga: Epidemiolog UI Bilang MER-C Tak Berhak Melakukan Tes Swab kepada Rizieq Shihab
"Karena itu tidak ada suatu pilihan."
"Karena waktu saya bergabung sama Pak Chandra Astan (Direktur PT Grahafoods Indo Pasifik) di kantor saya, itu memberi tahu selaku ketua asosiasi Perduli (Persatuan Dunia Lobster Indonesia), yang pasti terima keluhan dari anggota."
"Nah, itu saya bertemu lalu Candra cerita untuk ACK itu sudah komitmen dengan pihak KKP sehingga harganya Rp 1.800," tuturnya.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 5 Mei 2021: Dosis Pertama 12.832.886, Suntikan Kedua 8.151.942 Orang
Suharjito mengatakan, keuntungan tak bisa didapat lantaran pihak pembeli sudah tahu kuota ekspor benur setiap perusahaan.
Sehingga, harganya sudah diperkirakan sedari awal.
"Misalkan 10 ribu benih, Vietnam sudah ngitung 10 ribu kali Rp 1.800 plus PPDB Rp 1.000, nah sudah Rp 2.800."
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 5 Mei 2021: 5.285 Pasien Baru, 5.943 Sembuh, 212 Meninggal
"Nah, nanti dikasih selisih (keuntungan) paling harga Rp 1.000 atau Rp 1.500," jelasnya.
Selisih untung Rp 1.000 - Rp 1.500 per ekor, katanya, juga tidak bisa dipastikan.
Sebab, banyak faktor yang bisa membuat rugi atau keuntungan berkurang, seperti benur mati, hingga penurunan kualitas seperti perubahan warna.
Baca juga: LIVE STREAMING Firli Bahuri Umumkan Hasil Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
"Di situ ada kematian, hitungan, berubah warna, kurang ini itu yang rugi."
"Jadi usaha BBL ini enggak ada untung, enggak ada untung."
"Saya sendiri 12 kali ekspor cuma untung Rp 40 juta, yang lainnya rugi," ungkap Suharjito.
Bukan Prabowo Subianto
Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito mengklarifikasi pernyataan Manajer PT DPPP Ardi Wijaya, yang menyebut Prabowo Subianto pengendali perusahaan kargo ekspor impor benih lobster, PT Aero Cipta Kargo (ACK).
Suharjito menyatakan, Prabowo yang dimaksud Ardi Wijaya bukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, melainkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo.
Hal ini ia sampaikan saat ditanya hakim terkait isi komunikasi dengan Ardi Wijaya yang tertuang dalam BAP.
Baca juga: KPK Umumkan 75 Pegawainya Tak Memenuhi Syarat Jadi ASN, 2 Orang Tidak Ikut Tes
"Saudara pernah melakukan komunikasi dengan Ardi Wijaya?" Tanya hakim dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster (benur) untuk terdakwa Edhy Prabowo, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/5/2021).
"Iya," jawab Suharjito.
"Terkait dengan komunikasi itu, kan saudara bilang bahwa PT ACK tidak bisa dipecah oleh orang lain, dipergunakan orang lain, karena punya Prabowo."
Baca juga: Propam Segera Gelar Sidang Etik untuk Brigjen Prasetijo Setelah Divonis 3 Tahun Penjara
"Yang saudara maksud Prabowo siapa?" Tanya hakim lagi.
Suharjito pun menerangkan bahwa Prabowo yang dimaksud dalam percakapan itu merujuk pada Edhy Prabowo.
Suharjito menyebut Ardi Wijaya salah menyimpulkan perkataannya.
Baca juga: Epidemiolog UI Bilang MER-C Tak Berhak Melakukan Tes Swab kepada Rizieq Shihab
"Salah itu, salah mengartikan."
"Tapi di situ kan Pak Edhy Prabowo."
"Yang punya kewenangan Pak Edhy Prabowo, bukan Pak Prabowo (Subianto)," jelas Suharjito.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 5 Mei 2021: Dosis Pertama 12.832.886, Suntikan Kedua 8.151.942 Orang
Sebelumnya pada sidang lanjutan pada Rabu (28/4/2021) lalu, saksi Ardi Wijaya selaku Manajer Ekspor Impor PT DPPP, menyebut nama Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, terkait kepemilikan dan pengendali PT ACK.
PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan forwarder benur, dan meraup untung hingga Rp 38 miliar sebagaimana dakwaan jaksa.
Ada pun para pemegang saham PT ACK tak lain kerabat dari Edhy Prabowo sendiri, yaitu Amri dan Achmad Bachtiar.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 5 Mei 2021: 5.285 Pasien Baru, 5.943 Sembuh, 212 Meninggal
Ardi Wijaya mengaku memang pernah terjadi diskusi yang membicarakan hal itu pada Bulan Oktober. Namun, tidak spesifik disebut siapa pengendali PT ACK.
"Memang tidak secara spesifik pengendali PT ACK, memang ada diskusi dengan Suharjito."
"Dan diskusi itu diskusi di Bulan Oktober," ungkap Ardi WIjaya.
Baca juga: LIVE STREAMING Firli Bahuri Umumkan Hasil Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Jaksa kemudian menanyakan isi berita acara pemeriksaan (BAP) saksi nomor 27, perihal pernyataan PT ACK yang tak bisa dipecah karena khusus milik 'Prabowo', dengan keuntungan Rp 30-an miliar per bulan.
"Ini maksudnya apa ya PT ACK punya Prabowo khusus?" Tanya jaksa.
"Ini yang saya tangkap beliau pasti mengaitkan dengan Pak Prabowo," jawab Ardi Wijaya.
Baca juga: THR 2021 Tak Penuh, Mendagri: PNS Harus Bersyukur, Coba Lihat yang Kena PHK
"Pak Prabowo siapa?" Tanya jaksa.
"Pak Prabowo, Menteri Pertahanan."
"Karena di majalah-majalah sebelumnya itu dikait-kaitkan berhubungan dengan kader."
Baca juga: Menteri Agama Bakal Pimpin Sidang Isbat Penentuan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah pada 11 Mei 2021
"Tapi saya tidak menanya balik, tidak memperjelas," tutur Ardi Wijaya.
Dalam perkara ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo didakwa menerima suap Rp 25,7 miliar.
Rinciannya, 77 ribu dolar AS atau setara Rp 1,12 miliar, dan Rp 24.625.587.250 (Rp 24,6 miliar) dari beberapa perusahaan.
Baca juga: MK Cabut Kewenangan Dewas KPK, Izin Geledah dan Penyadapan Bakal Lebih Lama karena Lewat Pengadilan
Suap itu ditujukan guna memuluskan izin budi daya lobster dan ekspor benur yang ditangani KKP.
Uang sebesar 77 ribu dolar AS diterima Edhy Prabowo dari Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Sedangkan Rp24,6 miliar juga diterima dari Suharjito dan sejumlah eksportir benih bening lobster (BBL) lain.
Baca juga: Wisma Atlet Siaga Lonjakan Kasus Covid-19, Kapuskes TNI: Ibarat Perang, Posisi Kami Siap Menembak
Atas perbuatannya itu, Edhy didakwa dengan pasal 12 huruf a UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Atau, pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (Danang Triatmojo)
