Kasus Masa Lalu Tak Kunjung Tuntas, Komisi III DPR Minta Komnas HAM Bikin Terobosan Non Yudisial

Komisi III DPR meminta Komnas HAM membuat langkah alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

ISTIMEWA
Komisi III DPR menilai langkah alternatif diperlukan agar ada perkembangan dari kasus pelanggaran HAM masa lalu. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Komisi III DPR meminta Komnas HAM membuat langkah alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Hal itu disampaikan beberapa anggota Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Selasa (6/4/2021).

"12 peristiwa bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, minimal ada satu alternatif penyelesaian, selesaikan lah."

Baca juga: Yaqut Cholil Qoumas Ingin Doa Semua Agama Dipanjatkan di Acara Kemenag, Waketum MUI Tak Setuju

"Karena kalau ini terus berlanjut, kalau terus menjadi masalah, siapa pun nanti pengganti bapak menjadi beban."

"Jadi buat alternatif penyelesaian," kata anggota Komisi III DPR Fraksi PKS Adang Daradjatun.

Senada dengan Adang, anggota Fraksi PPP Arsul Sani menilai langkah alternatif diperlukan agar ada perkembangan dari kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Baca juga: PANDUAN Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1442 H di Masa Pandemi, Kuliah Subuh Paling Lama 15 Menit

"Kasus dugaan pelanggaran HAM berat pada masa lalu."

"Ini saya terus terang saja saya enggak clear, walaupun agak bingung. Kenapa?"

"Karena kita masih bicara penyelesaian pelanggaran HAM '65 dan '66 dengan pendekatan yudisial."

Baca juga: Penjual Airgun kepada Zakiah Aini Mantan Napi Teroris Aceh, Kini Dibawa ke Jakarta

"Ini mau seperti apa? Kalau yudisial itu diartikan itu proses peradilan itu yang mau diadili siapa?"

"Kalaupun katakanlah teridentifikasi, jangan-jangan orangnya sudah menjadi jalan semua pak di kampungnya masing-masing," tutur Arsul.

Arsul menyarankan, agar Komnas HAM mengusulkan usulan lain yang bersifat non-yudisial.

Baca juga: Jokowi Diminta Barter Konten dengan Atta Halilintar, Bilang ke Follower Mati Bawa Bom Masuk Neraka

Dengan begitu, menurut Arsul, tidak ada lagi lempar kasus antara Kejagung dengan Komnas HAM.

Wakil Ketua MPR itu meminta harus ada terobosan terkait hal itu.

"Belum seperti yang tadi dijelaskan tektok antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung."

Baca juga: Nadiem Makarim: Kalau Enggak Berani Ambil Risiko Mending Jangan Memimpin

"Komnas bilang ini sudah bisa cukup untuk ditingkatkan ke pada tahap penyidikan, kemudian Komnas bilang ini belum memenuhi petunjuk Kejagung sehingga belum bisa ditingkatkan."

"Ini kan harus ada terobosan. Ini yang saya pikir harus concern kita," ucap Arsul.

Siap Kerja Keras Selesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Wanma Yetti, anak korban Peristiwa Tanjung Priok 1984 mengharapkan kehidupan yang lebih baik saat memasuki usia senja.

Wanma datang menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bersama delapan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu di Jakarta, Kamis (10/12/2020).

"Memasuki usia tua, saya hanya mengharapkan kehidupan yang tenang.

Terlebih, kami sebagai keluarga korban kasus HAM masa lalu yang terus berusaha hidup dengan berbagai usaha juga ikut terdampak pandemi Covid-19," kata Wanma Yetti dalam keterangan tertulis.

Sembilan keluarga korban kasus HAM masa lalu datang bertepatan dengan Peringatan Hari HAM se-dunia.

Mereka mengapresiasi berbagai langkah yang sedang ditempuh oleh pemerintah dalam mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk penyelesaian kasus melalui jalur di luar pengadilan atau non-yudisial.

Pernyataan senada disampaikan Paian Siahaan, keluarga korban penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Paian bersyukur dengan alternatif penyelesaian kasus melalui jalur non-yudisial.

"Saya merasa, jalur non yudisial merupakan sesuatu yang kami tunggu setelah 22 tahun berjuang, untuk melengkapi jalur yudisial yang jalannya tersendat.

Saya kira usulan membantu korban melalui jalur non-yudisial menjadi angin segar bagi kami," ungkap Paian.

Pada intinya, kata Paian, pihaknya sangat senang bisa bertemu Moeldoko dan mendengar langkah yang akan dilakukan untuk penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Yang jelas, Paian berharap, apapun yang akan dilaksanakan merupakan jalan yang tepat, dan benar-benar dijalankan Pemerintah.

Utomo Raharjo, ayah dari Petrus Bima Anugerah sebagai korban penghilangan paksa di tahun 1998 menghargai langkah yang disampaikan Moeldoko.

Ia pun ingin menikmati sisa hidup dengan kenyamanan dan keamanan.

"Sehingga saya harap ada solusi yang akan indah pada waktunya," kata Utomo.

Pertemuan Moeldoko dengan keluarga korban dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu sejalan dengan hari HAM 10 Desember 2020.

Melalui pertemuan ini, Moeldoko menyampaikan, dalam mencari solusi penyelesaian kasus HAM harus berani melangkah dan jangan terfokus pada penyelesaian secara yudisial.

Apalagi, kata Moeldoko, selama ini pun Pemerintah sudah ikut memperjuangkan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu.

"Dengan pertemuan ini, saya pun akan bekerja lebih keras lagi," ujar Moeldoko.

Kepada sembilan keluarga korban HAM yang hadir, Moeldoko juga menyampaikan, pihaknya punya program KSP Mendengar yang menjadi forum untuk menerima berbagai pengaduan dari beragam kalangan.

Bahkan, kata Moeldoko, KSP harus menjadi rumah terakhir pengaduan bagi masyarakat.

Mantan Panglima TNI ini pun menegaskan, KSP akan menindaklanjuti harapan para keluarga korban HAM, sehingga menghasilkan solusi terbaik.

Moeldoko bersyukur bisa bertemu para keluarga korban HAM masa lalu, sekaligus ikut merasakan persoalan yang dihadapi.

"Karena kalau bukan kami, siapa lagi yang bisa ditemui. Maka harus terus menjaga silaturahmi agar komunikasi tetap berjalan. Pada intinya, pemerintah tetap mendengar persoalan di masyarakat," jelas Moeldoko. (Chaerul Umam)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved