Sayangkan PTTUN Kabulkan Banding Jaksa Agung, Komnas HAM: Padahal Semangatnya Agar Hati-hati Bicara
Anam menilai substansi pembicaraan di Komisi III yang menjadi sumber perkara sudah diralat sendiri oleh Jaksa Agung.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menyayangkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang mengabulkan banding Jaksa Agung ST Burhanuddin, atas gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II.
Anam mengatakan, Putusan Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) yang mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II, memiliki semangat membuat para pejabat publik berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya
Hal itu, kata Anam, karena sikap atau pernyataan pejabat publik memiliki risiko dalam konteks penegakan hukum.
Baca juga: Banding Vonis 4 Tahun Penjara, Irjen Napoleon Bonaparte: Saya Lebih Baik Mati
Hal itu disampaikan Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/3/2021).
"Kami menyayangkan putusan dari PTTUN, karena sebenarnya ghirah (semangat) dari proses tata usaha negara itu yang akhirnya diwujudkan oleh PTUN Jakarta sini."
"Itu adalah ghirah untuk meletakkan bahwa pejabat-pejabat publik itu berhati-hati bersikap, karena riskonya tinggi, khususnya dalam konteks penegakan hukum."
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 Indonesia 10 Maret 2021: Sudah 3.574.698 Orang Disuntik Dosis Pertama
"Kalau dokumen hukumnya bicara A, ngomongnya A, jangan dikasih konteks yang lain," kata Anam.
Anam menilai substansi pembicaraan di Komisi III yang menjadi sumber perkara sudah diralat sendiri oleh Jaksa Agung.
Kemudian, kata Anam, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga telah menjelaskan kepada Komnas HAM, tidak ada satu pun kasus yang telah dinyatakan pelanggaran HAM dan kini berkasnya sudah masuk di Kejaksaan, bukan pelanggaran HAM.
Baca juga: Dianggap Lempar Batu Sembunyi Tangan, Irjen Napoleon Bonaparte Dihukum 4 Tahun Penjara
"Menurut saya ini pembelajaran yang baik di luar konteks menang dan kalah dan sebagainya."
"Semua pejabat negara ketika menyampaikan di ruang formal kayak begitu, tertib."
"Kalau statusnya A ya A, jangan dibilang A, B, C, D."
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 10 Maret 2021: 5.633 Pasien Baru, 5.556 Orang Sembuh, 175 Meninggal
"Itu yang menurut saya pelajaran paling penting untuk Jaksa Agung," ucap Anam.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, terkait gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Sebelumnya, PTUN Jakarta memutus pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin ihwal tragedi Semanggi I dan II, sebagai perbuatan melawan hukum.
“Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 99/G/TF/2020/PTUN.JKT. tanggal 4 November 2020 yang dimohonkan banding,” demikian bunyi putusan yang diunduh dari situs PT TUN Jakarta, Rabu (10/3/2021).
Baca juga: DAFTAR Aliran Suap Bansos Covid-19: Dari Juliari Batubara, Oknum BPK, Hingga Pedangdut Cita Citata
Perkara dengan nomor 12/B/TF/2021/PT.TUN.JKT tersebut dibacakan dalam sidang pada 2 Maret 2021.
Majelis hakim tinggi yang menyidangkan perkara ini terdiri dari Sulistyo, Dani Elpah, dan Wenceslaus.
Dalam putusannya, majelis hakim tinggi menyatakan permohonan banding yang diajukan Jaksa Agung Burhanuddin dapat diterima secara formal.
Baca juga: Jokowi Ajak Rakyat Benci Produk Luar Negeri, Indef: Kalau Dibalas Ekspor Kita Dipersulit Gimana?
Soalnya, permohonan banding diajukan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan Pasal 123 ayat (1) UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Maka dari itu, PT TUN Jakarta selanjutnya mempertimbangkan aspek material atau substansial dari putusan di tingkat pertama.
Majelis hakim PT TUN Jakarta pun menilai PTUN Jakarta belum berwenang untuk memutus perkara gugatan yang diajukan oleh keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II tersebut.
Baca juga: Kejar Herd Immunity, Pemerintah Targetkan Vaksinasi Covid-19 Rampung Tahun Ini
Hal itu dikarenakan para advokat selaku penerima kuasa dari penggugat dinilai belum mengajukan upaya banding administratif.
Majelis hakim menilai sejumlah surat terbuka yang dikirim penggugat dalam naungan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak dikualifikasi sebagai upaya banding administratif.
Alasannya antara lain, substansi surat tidak terkait tanggapan Kejagung atas keberatan administratif, serta JSKK tidak diberi kuasa untuk mengajukan banding administratif.
Baca juga: Agar Tak Gagap Lagi Jika Ada Pandemi Lain, Doni Monardo Usulkan UU Kekarantinaan Kesehatan Direvisi
“Maka sesungguhnya Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta belum berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa Nomor: 99/G/TF/2020/PTUN. JKT,” bunyi putusan tersebut.
“Sebagaimana ditentukan di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif."
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, PT TUN Jakarta menerima eksepsi pihak Jaksa Agung Burhanuddin terkait poin yang menyebut gugatan penggugat prematur.
Baca juga: Amien Rais Cs Temui Jokowi, Minta Penembak 6 Anggota FPI Hingga Tewas Diseret ke Pengadilan HAM
PT TUN Jakarta juga menyatakan gugatan keluarga korban tidak dapat diterima, dan menghukum penggugat membayar biaya perkara di tingkat pertama dan banding.
Gugatan terhadap Jaksa Agung Burhanuddin dilayangkan oleh Maria Katarina Sumarsih, ibunda almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan; dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Hap.
Bernardinus Realino Norma Irmawan merupakan mahasiswa yang menjadi korban dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998.
Baca juga: Penembakan 6 Anggota FPI Disebut Pelanggaran HAM Berat, Mahfud MD Minta Bukti, Bukan Keyakinan
Sedangkan Yap Yun Hap adalah mahasiswa UI yang meninggal saat peristiwa Semanggi II, 24 September 1999.
Gugatan itu menyangkut pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin yang mengatakan kasus Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
PTUN Jakarta kemudian mengabulkan gugatan penggugat.
Baca juga: Pemerintah Bakal Bubarkan 19 Lembaga Negara Lagi, Sudah Diajukan ke DPR
Majelis hakim menyatakan pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin tersebut sebagai perbuatan melawan hukum.
Jaksa Agung Burhanuddin diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan kasus Semanggi I dan II sesuai keadaan sebenarnya, dalam rapat dengan Komisi III DPR berikutnya.
Tergugat juga dihukum membayar biaya perkara sejumlah Rp285.000.
Baca juga: Kenapa 6 Anggota FPI yang Tewas Ditembak Polisi Dijadikan Tersangka? Ini Penjelasan Mahfud MD
Atas putusan tersebut, Jaksa Agung ST Burhanuddin kemudian mengajukan banding.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Jaksa Agung ST Burhannudin bersalah, dalam sidang gugatan pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.'
Jaksa Agung dinyatakan bersalah dalam putusan nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT yang diketok pada Rabu (4/11/2020).
Baca juga: Rizieq Shihab Mau Kembali, Polri: Ya Pulang Saja, Kita Tidak Pernah Usir
Putusan itu ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai hakim anggota.
Dalam amar putusannya, majelis hakim juga mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya.
"Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," begitu kutipan putusan perkara yang diunggah secara online (sistem e-court) pada Rabu (4/11/2020).
Baca juga: Salah Ketik UU Cipta Kerja, Arteria Dahlan: Jangan-jangan Ada Motif Memperkeruh, Harus Diusut Tuntas
Dalam putusan itu, tindakan Jaksa Agung yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, merupakan tindakan melawan hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan Burhanuddin saat rapat kerja antara Komisi III DPR pada 16 Januari 2016.
"Menyatakan Tindakan Pemerintah yang dilakukan TERGUGAT berupa Penyampaian dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020."
Baca juga: Rizieq Shihab Pulang ke Indonesia Selasa 10 November 2020, Langsung Istirahat di Petamburan
"Yang menyampaikan: "Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat."
"Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden."
"Untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM" adalah Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan," jelas putusan tersebut.
Baca juga: Bakal Tuntut Orang yang Menuduhnya Overstay di Arab Saudi, Rizieq Shihab: Buang ke Tong Sampah
Jaksa Agung juga diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi II dan Semanggi II, sesuai keadaan sebenarnya, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berikutnya.
"Selain itu menghukum untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000," bunyi putusan tersebut.
Jaksa Agung ST Burhanuddin digugat ke PTUN Jakarta karena pernyataannya yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dalam rapat kerja Komisi III DPR, pada 16 Januari 2016.
Baca juga: Partai Demokrat Siap Lakukan Legislative Review untuk Revisi Undang-undang Cipta Kerja
Gugatan tersebut didaftarkan pada 12 Mei 2020 lalu.
Salah satu penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih yang merupakan ibu dari almarhum Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan).
Wawan dikenal sebagai mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.
Baca juga: Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Tambah 46 Orang, Kecamatan Sukamakmur Keluar dari Zona Merah
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Hal itu ia katakan saat menyampaikan penanganan kasus HAM dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi III DPR, Kamis (16/1/2020).
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI."
• Pengamat Bilang Banjir Jakarta 1 Januari 2020 Bukan Kiriman, Ini Buktinya
"Yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," katanya di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.
Dalam rapat itu, Burhanuddin juga menjelaskan hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM.
Ia mengatakan hambatan itu karena belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.
• Pria Disekap Teman Kantornya karena Gelapkan Uang Perusahaan, Makan Sehari Sekali dan Disundut Rokok
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala, terkait kecukupan alat bukti," tuturnya.
Tragedi Semanggi merujuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka. (Gita Irawan)