Buronan Kejaksaan Agung

Djoko Tjandra Ajukan Diri Jadi Justice Collaborator, ICW: Lalu Siapa Pelaku Utamanya?

Kurnia mencontohkan, hingga saat ini Djoko Tjandra tidak menjelaskan secara terang, apa yang membuatnya percaya dengan Pinangki.

Tribunnews.com
Djoko Tjandra mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC). 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak jaksa penuntut umum (JPU) menolak permohonan justice collaborator (JC) Djoko Tjandra.

Terdakwa kasus suap pengurusan penghapusan red notice dan fatwa Mahkamah Agung (MA) itu baru saja mengajukan JC pada persidangan pada Kamis (4/2/2021) kemarin.

"ICW mendesak agar jaksa penuntut umum menolak permohonan justice collaborator yang saat ini sedang diajukan oleh Joko S Tjandra," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (5/2/2021).

Andi Arief Sebut Jokowi Sudah Tegur Moeldoko, Minta Tak Ulangi Perbuatan Tercela kepada Demokrat

Kurnia menerangkan, melandaskan pada regulasi yang mengatur tentang JC, disebutkan syarat-syarat untuk dapat dikategorikan sebagai JC dalam sebuah penanganan perkara.

Regulasi JC diatur dalam United Nation Convention Against Corruption, United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, UU Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA 4/2011, dan Peraturan Bersama KPK-Kepolisian-Kejaksaan-LPSK-Kemenkumham.

Antara lain, mengakui kejahatannya; bukan menjadi pelaku utama; memberikan keterangan yang signifikan; mengembalikan aset; memberikan keterangan di persidangan; serta bersikap kooperatif.

Natalius Pigai Siap Bertemu Abu Janda: Saya Tak Pernah Terpikirkan untuk Memenjarakan

Kata Kurnia, dalam konteks Djoko Tjandra untuk perkara dugaan suap permohonan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari, ICW beranggapan ia tidak terbuka dalam memberikan keterangan.

"Keseluruhan syarat ini mesti dipandang sebagai syarat kumulatif, jadi, satu saja tidak dipenuhi, selayaknya permohonan tersebut ditolak," tuturnya.

Kurnia mencontohkan, hingga saat ini Djoko Tjandra tidak menjelaskan secara terang, apa yang membuatnya percaya dengan Pinangki.

Abu Janda: Saya Kagum Sama AM Hendropriyono, Makanya Reaktif Terhadap Hinaan Natalias Pigai

Sebab secara logika, menurut Kurnia, seorang buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra, tidak mungkin begitu saja percaya kepada Pinangki, terlebih jaksa tersebut tidak memiliki jabatan penting di Korps Adhyaksa.

"Apakah ada oknum lain yang meyakinkan Joko S Tjandra sehingga kemudian ia percaya lalu bekerja sama dengan Pinangki?" Tanya Kurnia.

Kurnia menggarisbawahi, saat perkara terbongkar, Djoko Tjandra juga tidak kooperatif.

Jimly Asshiddiqie: WNA Mutlak Tidak Boleh Dilantik Jadi Bupati, Coret!

Ia justru melarikan diri ke Malaysia, sampai akhirnya Kepolisian Diraja Malaysia bersama Bareskrim Polri menangkap buronan kasus korupsi hak tagih Bank Bali tersebut.

"Ihwal syarat 'bukan pelaku utama' mesti disorot."

"Pertanyaan sederhananya, jika ia mengajukan diri sebagai JC, tentu ia menganggap dirinya bukan pelaku utama, lalu siapa pelaku utamanya?" ucap Kurnia.

DAFTAR 106 Rumah Sakit Rujukan Covid-19 di Jakarta, Pemprov DKI Tambah 5

Sebelumnya, Soesilo Aribowo, kuasa hukum Djoko Tjandra mengatakan, kliennya berperan besar dalam pengungkapan kasus yang telah menjeratnya.

"Pak Djoko tadi mencoba mengajukan JC ya."

"Artinya, Pak Djoko meyakini dirinya ini punya peran dalam membuka peristiwa-peristiwa pidana yang sekarang disidangkan ini," ujar Soesilo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/2/2021).

Anggota FPI Makassar Mengaku Dibaiat ISIS dan Disaksikan Munarman, Polri Tunggu Kerja Densus 88

Soesilo menyebut pihaknya tidak akan mengungkap hal-hal baru terkait kasus ini.

Dia juga mengatakan pengajuan JC ini juga sebagai salah satu upaya meringankan hukuman Djoko Tjandra nantinya.

"Karena Pak Djoko membuka peran itu, tentu Pak Djoko ingin dihargai lah sebagai nanti ketika tuntutan atau putusan."

Pemerintah Pastikan Tak Potong Insentif Nakes, Rp 1,17 Triliun Belum Disalurkan Pemda

"Supaya paling tidak ringan atau dimudahkan ketika jika nanti dihukum untuk mendapatkan remisi dan sebagainya," bebernya.

Wartakotalive sebelumnya memberitakan, terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra, mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).

Djoko Tjandra ingin menjadi JC dalam kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan red notice.

19 Teroris dari Makassar Anggota FPI, Aziz Yanuar: Bingung, Sudah Bubar Masih Saja Dibawa Ribet

Hal ini disampaikan tim kuasa hukum Djoko Tjandra, Krisna Murti, usai menjalani persidangan.

"Sebelum pemeriksaan terdakwa, tadi Pak Djoko berkeinginan akan mengajukan sebagai JC," ucap Krisna di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/2/2021).

Krisna mengklaim, Djoko Tjandra telah mengungkap aliran uang dalam persidangan.

26 Teroris Dipindahkan dari Gorontalo dan Makassar ke Rutan Khusus Cikeas, 19 Anggota FPI

Dia menyebut, Djoko Tjandra selama menjalani proses hukum telah berusaha kooperatif kepada penyidik maupun jaksa.

"Artinya, dari awal yang membuka tentang masalah uang tersebut kan Pak Djoko, di dalam BAP pun juga dituangkan, nah itu nanti dalam JC-nya nanti," jelas Krisna.

Hakim ketua Muhammad Damis pun mempersilakan tim kuasa hukum untuk menyerahkan permohonan JC.

UPDATE Vaksinasi Covid-19 di Indonesia 4 Februari 2021: 700.266 Dosis Pertama, 96.553 Suntikan Kedua

Djoko Tjandra didakwa menyuap Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, senilai 500 ribu dolar AS, dari total yang dijanjikan sebesar 1 juta dolar AS.

Suap sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan Djoko Tjandra itu bermaksud agar Pinangki bisa mengupayakan pengurusan fatwa Mahkamah Agung lewat Kejaksaan Agung.

Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009, tidak bisa dieksekusi.

UPDATE Covid-19 di Indonesia 4 Februari 2021: Pasien Baru Tambah 11.434 Orang, 11.641 Sembuh

Sedangkan dalam kasus dugaan suap penghapusan namanya dalam daftar red notice Polri, Djoko Tjandra didakwa menyuap dua jenderal polisi.

Yakni, eks Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan eks Kakorwas PPNS Polri Brigjen Prasetijo Utomo, terkait pengurusan red notice kasus korupsi hak tagih Bank Bali.

Uang suap dibawa oleh rekan Djoko yakni, Tommy Sumardi, yang memberikan Napoleon uang sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS, serta memberikan 150 ribu dolar AS untuk Prasetijo.

Divonis 2 Tahun 6 Bulan Penjara

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis 2 tahun 6 bulan penjara kepada terdakwa kasus surat jalan palsu, Djoko Tjandra.

Vonis tersebut lebih tinggi ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Eks buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu terbukti sah dan meyakinkan membuat surat jalan palsu secara berlanjut.

Baca juga: JADWAL MISA Natal dan Tahun Baru di Keuskupan Agung Jakarta, TVRI Siaran Langsung Pukul 18.00 WIB

"Mengadili, menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan."

"Bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut membuat surat palsu," kata hakim ketua Muhammad Sirat, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (22/12/2020).

"Menjatuhkan pidana terhadap Joko Soegiarto Tjandra dengan pidana penjara 2 tahun dan 6 bulan penjara," sambungnya.

Baca juga: Lebih Pilih ke Solo, Haikal Hassan Tak Penuhi Undangan Klarifikasi Polda Metro Jaya

Terhadap putusan tersebut terdapat hal-hal yang memberatkan, yakni Djoko Tjandra melakukan perbuatan tindak pidana itu saat sedang melarikan diri dalam kasus hak tagih Bank Bali.

Djoko Tjandra juga dinilai membahayakan kesehatan masyarakat karena melakukan perjalanan tanpa tes kesehatan.

Sedangkan hal yang meringankan, majelis hakim memandang Djoko Tjandra bersikap sopan selama persidangan.

Baca juga: Komnas HAM Bakal Periksa Senjata Api dan Mobil yang Terlibat Insiden Penembakan 6 Anggota FPI

Terdakwa juga telah menyesali perbuatannya. Usia juga Djoko Tjandra yang sudah lanjut juga masuk dalam hal meringankan.

"Tindak pidana dilakukan saat melarikan diri, terdakwa membahayakan kesehatan masyarakat dengan melakukan perjalanan tanpa tes."

"Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, menyesali perbuatannya dan terdakwa berusia lanjut," ucap Sirat.

Cinta Indonesia 

Pengadilan Negeri Jakarta Timur menggelar sidang perkara surat jalan palsu dengan terdakwa Djoko Tjandra, Jumat (11/12/2020).

Agenda sidang mendengar pleidoi terdakwa atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Dalam pleidoinya, Djoko Tjandra mengungkit soal kecintaannya kepada Indonesia, yang telah membesarkan dan membuatnya sukses.

Baca juga: Banyak Pasien Belum Sembuh, Kasus Aktif Covid-19 di Indonesia Naik Jadi 14,46 Persen

"Saya mencintai Indonesia sebagaimana cinta seorang anak kepada ibunya yang telah melahirkan, membesarkan, dan membuatnya jadi sukses," kata Djoko Tjandra membacakan pleidoinya.

Djoko Tjandra mengatakan dirinya pulang ke Indonesia karena rindu setelah 11 tahun meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.

Namun, setiap kali dirinya mengungkap mau pulang ke Indonesia, rekan-rekan bisnisnya selalu menyinggung soal ketidakadilan hukum Indonesia yang menimpanya.

Baca juga: Jelaskan Tugas Berantas Premanisme di Jakarta, Kapolda Pakai Analogi Gajah Mada dan Preman Kampung

"Buat apa pulang ke Indonesia yang sudah memperlakukan kamu secara tidak adil?"

"Yang menghukummu secara tidak adil?"

"Yang telah menjadikan kamu sebagai korban miscarriage of justice dan korban ketidakadilan?," beber Djoko Tjandra menirukan ucapan rekannya.

Baca juga: Sebelum Jadi Tersangka, Rizieq Shihab Diklaim Janji Penuhi Panggilan Penyidik pada 14 Desember 2020

Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat ini mengaku paham dengan pernyataan rekan sejawatnya.

Terlebih, kata dia, di luar negeri ia bisa melakukan bisnis tanpa hambatan.

Bahkan, pemerintah asing mendukung bisnisnya.

Baca juga: Imigrasi Terima Surat Pengajuan Pencekal Rizieq Shihab Cs dari Polisi Sejak 7 Desember 2020

Beberapa pihak menggelar karpet merah agar dirinya mau mengembangkan investasinya di negara tersebut.

Bisnis di Indonesia juga disebut berjalan lancar tanpa perlu kehadiran fisik dirinya.

Tapi, Djoko Tjandra, mengutip pepatah "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Tetap saja lebih baik negeri sendiri."

Baca juga: Kabareskrim Pastikan Polisi Diserang, Ada Jelaga Bekas Tembakan Senjata Api di Tangan Laskar FPI

"Kata pepatah itu benar, dan itulah yang saya alami."

"Kerinduan untuk pulang ke tanah air Indonesia, sekalipun saya telah jadi korban miscarriage of justice dan korban ketidakadilan," ucapnya.

Miscarriage of justice dan korban ketidakadilan yang ia maksud, merujuk pada peninjauan kembali (PK) yang diajukan penuntut umum Kejari Jakarta Selatan.

Baca juga: Naikkan Cukai, Sri Mulyani Berharap Jumlah Perokok di Indonesia Menurun, Terutama Anak dan Perempuan

Yang, kemudian dikabulkan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.

Padahal, kata dia, PK yang diajukan jaksa Kejari Jakarta Selatan melanggar hukum, sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04/BUA.6/HS/III/2014 tanggal 28 Maret 2014.

Baca juga: Kapolda Metro Jaya: Enggak Ada Gigi Mundur, Hukum Harus Tegak pada Ormas yang Merasa di Atas Negara

Dalam Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dinyatakan pada butir 3, jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK.

Sebab, yang berhak diatur dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1).

Lalu Djoko Tjandra menjelaskan sengaja kembali ke Indonesia setelah menetap lama di luar negeri.

Baca juga: Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Tambah 53 Orang, Tenjolaya Masuk Zona Merah Lagi

Karena, ingin mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor : 12/PK/Pid.Sus/2009 tersebut.

PK disebut sebagai jalan hukum satu-satunya.

"Dan untuk itu saya harus mengajukan permohonan Peninjauan Kembali."

Baca juga: Rizieq Shihab Cs Jadi Tersangka, Kuasa Hukum FPI Bakal Sambangi Polda Metro Jaya

"Apakah itu merupakan niat yang jahat?" Ucapnya.

Namun ia mengaku tidak paham apa saja yang diperlukan untuk pengajuan PK.

Oleh karena itu, dirinya merekrut Anita Dewi Kolopaking sebagai advokatnya, dan temannya, Tommy Sumardi.

Baca juga: Imigrasi Terima Surat Pengajuan Pencekal Rizieq Shihab Cs dari Polisi Sejak 7 Desember 2020

Djoko Tjandra tidak tahu bagaimana Anita dan dengan siapa saja ia mengurus segala keperluan pengajuan PK itu.

Ia mengaku tak kenal dengan Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte.

Selaras dengan itu, ia menyebut fakta dalam persidangan juga menunjukkan dirinya tak tahu menahu, bahkan tak pernah bertemu dengan kedua saksi.

Baca juga: Sebelum Jadi Tersangka, Rizieq Shihab Diklaim Janji Penuhi Panggilan Penyidik pada 14 Desember 2020

"Fakta-fakta dalam persidangan perkara ini menunjukkan dan membuktikan.

"Sebelum saya pulang ke Indonesia, saya tidak pernah bertemu dan tidak mengenal saksi-saksi," beber Djoko Tjandra.

Tuntutan Jaksa

Dalam surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara.

JPU menyatakan Djoko Tjandra bersalah karena menyuruh melakukan tindak pidana memalsukan surat secara berlanjut.

Djoko Tjandra dituntut pidana penjara sebagaimana tertuang dalam pasal 263 ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 ayat (1) ke (1) juncto 64 ayat (1) KUHP.

Baca juga: Jelaskan Tugas Berantas Premanisme di Jakarta, Kapolda Pakai Analogi Gajah Mada dan Preman Kampung

"Menyatakan terdakwa Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan telah terbukti melakukan tindak pidana menyuruh pemalsuan surat berlanjut," kata Yeni Trimulyani, JPU dalam perkara tersebut.

Dengan demikian, JPU meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan hukuman dua tahun penjara terhadap Djoko Tjandra.

"Menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama dua tahun penjara," sambung Yeni. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved