Berita Nasional
Beredar Pesan Vaksin Sinovac Mengandung Jaringan Kera Hijau Afrika, Begini Penjelasan Prof Zubairi
Dalam beberapa grup whatsApp dan internet beredar berita yang cukup heboh perihal kandungan vaksin Covid-19 Sinovac yang tercantum dalam kemasan.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Masyarakat dibuat resah terkait beredarnya chat WhatsApp tentang kandungan vaksin Sinovac dari kera hijau.
Sebuah pesan berantai mendadak viral dan beredar di grup WhatsApp.
Dalam beberapa grup whatsApp dan internet beredar berita yang cukup heboh perihal kandungan vaksin Covid-19 Sinovac yang tercantum dalam kemasan.
Baca juga: Komnas HAM Kantongi Kronologi Penembakan 6 Laskar FPI, Diumumkan Paling Lambat Pekan Depan
Berikut bunyi pesan yang beredar:
Coba perhatikan kemasan Vaksin Sinovac Covid-19 yang akan disuntikkan kepada warga.
Jelas bertuliskan "Only for clinical trial" (Hanya untuk uji coba klinis alias untuk kelinci percobaan).
Dan perhatikan "Composition and Desription" yaitu berasal dari Vero Cell atau berasal dari jaringan Kera Hijau Afrika (jelas tidak halal), kemudian mengandung virus hidup yang dilemahkan dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks, formaline, aluminium, merkuri, dll).
Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah divaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban vaksin.
Baca juga: Sudah Didistribusikan, Vaksin Sinovac Ternyata Belum Dapat Izin dari BPOM dan Sertifikasi MUI
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 PB IDI Prof. Zubairi Djoerban menyebut bahwa pesan yang beredar itu meresahkan.
ia memastikan, pesan berantai tersebut dalah hoaks alias tidak benar
"Sebuah pesan yang beredar melalui WhatsApp ini meresahkan. Disebutkan bahwa vaksin Sinovac hanya untuk kelinci percobaan dan tidak halal karena berasal dari jaringan kera hijau Afrika. Pesan berantai ini jelas tidak benar alias hoaks," jelas Prof. Zubairi Djoerban dikutip Wartakotalive.com dari akun Twitternya, Selasa (5/1/2021).
Ia menyebut, kemasan Sinovac yang ditampilkan dalam pesan itu adalah kemasan untuk uji klinis.
Baca juga: Sertifikasi Halal Vaksin Covid-19, LPPOM MUI Masih Tunggu Kelengkapan Informasi
"Bukan untuk dipasarkan dan memang belum ada di pasaran. Ihwal halal atau tidak juga belum ditentukan. Yang jelas, BPOM mengatakan bahwa Sinovac memenuhi syarat untuk mendapatkan label halal," terangnya.
Tanggapan ahli biologi molekuler
Menanggapi pesan tersebut, ahli biologi molekuler, Ahmad Rusdan Utomo, angkat bicara dalam kanal YouTube pribadinya, Pak Ahmad.
Dikutip Kompas.com, sebelum menjelaskan, Ahmad mengingatkan bahwa vaksin adalah bagian terakhir dari tiga lapis pengendalian pandemi.
Lapis pertama adalah 3M dari setiap individu, yakni mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker.
Lapis kedua adalah dari pemerintah, yakni menerapkan 3T yang semakin masif, yaitu Testing (pemeriksaan), Tracing (pelacakan), dan Treatment (pengobatan). Penerapan 3T ini bertujuan untuk mengenali dan mencari orang-orang dengan Covid-19 yang tidak bergejala.
Baca juga: BEM UI Diserang di Sosmed, Dituding Bela FPI usai Kritik Pembubaran Ormas Tanpa Proses Peradilan
Lapis terakhir yang masih dalam satu kesatuan pengendalian pandemi adalah vaksin.
Tujuan pembuatan vaksin adalah untuk menumbuhkan antibodi yang spesifik mengenali protein spike atau protein lonjakan.
Untuk diketahui, protein spike yang berbentuk paku di permukaan virus corona merupakan pintu masuk virus menginfeksi sel manusia melalui ACE2.
"Nah kita harapkan kalau ada antibodi di sini (tubuh), ikatan antara protein spike dan ACE2 bisa dihambat sehingga penyakit (Covid-19) tidak terjadi," jelas Ahmad dalam video YouTube-nya yang tayang Sabtu (2/1/2021).
Pembuatan vaksin di masa lalu memang membutuhkan waktu lama, sekitar 4-7 tahun.
Baca juga: Diperiksa Polisi terkait Aksi 1812, Slamet Maarif: Kami Hanya Tuntut Keadilan Kematian 6 Anggota FPI
Namun, dengan teknologi yang semakin maju dan canggih saat ini, terbukti kita dapat membuat vaksin lebih cepat.
"Tentu untuk fase (pembuatan) vaksin tidak bisa dilewati, tapi dari sisi pengembangan vaksinnya kita sekarang tahu - dengan teknologi mRNA misalnya, dalam kurun waktu tiga minggu kita bisa mendapatkan vaksin yang sekarang kita ketahui setelah 11 bulan efikasinya (kemampuannya) bagus, antara 65-90 persen," terang dia.
Belum dapat izin BPOM
Vaksin Covid-19 dari perusahaan Sinovac telah mulai didistribusikan ke sejumlah daerahdi Indonesia.
Vaksin tersebut rencananya akan diberikan pada kelompok prioritas utamanya para tenaga medis.
Meskipun telah didistribusikan, sejauh ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum
mengeluarkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) terkait dengan vaksin
tersebut.
Lalu kenapa perlu adanya izin EUA?
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia mengatakan, bahwa saat ini dunia dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang belum ada vaksin dan obatnya.
Baca juga: Sertifikasi Halal Vaksin Covid-19, LPPOM MUI Masih Tunggu Kelengkapan Informasi
Meski demikian, izin EUA hanya bisa dikeluarkan setelah hasil kajian vaksin telah memenuhi syarat dari aspek keamanan, khasiat dan mutu produk vaksin.
“EUA ini bukan hanya Indonesia saja yang punya tapi semua negara punya. Dan tentunya WHO punya
standar EUA untuk pemberian izin dari vaksin khususnya dalam kondisi pandemi Covid-19. Inilah yang
menjadi rujukan BPOM untuk memberikan persetujuan (izin EUA),” ujar Lucia dalam webinar bertajuk
"Kehalalan & Keamanan Vaksin Covid-19," Selasa (5/1/2021).
Rizka menyebut, saat ini BPOM masih menyelesaikan evaluasi terhadap data uji klinis fase 3 vaksin
Sinovac.
Baca juga: Temui KH Maruf Amin, Sandi Diminta Pulihkan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Berbagai Sektor
Proses ini diperlukan untuk menerbitkan izin EUA. Evaluasi dilakukan terhadap data dukung
keamanan, khasiat dan mutu dari vaksin. Adapun proses evaluasi dilakukan BPOM bersama Komite
Nasional Penilaian Obat serta tim ahli di bidang imunologi dan vaksin yang tergabung dalam Indonesian
Technical Advisory Group on Immunization (Itagi).
"Apabila berdasarkan hasil evaluasi tersebut dinyatakan vaksin Covid-19 memenuhi syarat keamanan,
khasiat dan mutu, serta pertimbangan bahwa kemanfaatan jauh lebih besar daripada risiko, tentunya
(izin EUA) akan dapat diterbitkan," kata Rizka.
Baca juga: Jokowi Akan Tetap Bangun Infrastruktur.di Tahun 2021, Tengku Zulkarnain: Pakai Duit dari Mana?
Persyaratan vaksin disetujui dengan skema EUA
Rizka menjelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi baik dari aspek keamanan, khasiat
dan mutu, agar vaksin dapat disetujui dengan skema EUA.
Keamanan
Dari aspek keamanan, vaksin ini aman dari subyek penelitian setelah mendapatkan suntikan, serta tidak
menimbulkan efek samping paska pemberian vaksin.
“Keamanan dari subyek penelitian setelah mendapatkan suntikan dipantau terus. Mulai dari 30 menit
setelah suntikan, kemudian 7 hari, 14 hari, 30 hari, 3 bulan sampai 6 bulan terus kita pantau apakah ada
efek samping paska pemberian vaksinasi,” ucapnya.
Baca juga: Disebut Dedengkot Tua oleh Natalius Pigai, AM Hendropriyono: Kamu Bukan Pigai yang Dulu
Khasiat
Lalu dari aspek khasiat memerlukan parameter seperti parameter efikasi dan imunogenisitas.
Parameter efikasi yakni parameter klinis diukur berdasarkan presentase angka penurunan penyakit pada subjek
atau kelompok yang menerima vaksin dibandingkan dengan orang yang menerima placebo pada uji
klinis fase tiga.
“WHO menetapkan efikasi 50 persen, maka kalau kita mau vaksinasi orang dalam sekelompok
masyarakat, maka 50 persen dari masyarakat terlindungi baru bisa diterima (izin EUA),” ujar Rizka.
Sedangkan untuk parameter imunogenisitas didapatkan berdasarkan hasil pengukuran kadar antibodi
yang terbentuk usai penyuntikan. Serta dilakukan pengukuran netralisasi antibodi untuk menetralkan
virus.
“Pengukuran dilakukan setelah dua minggu dosis terakhir. Kemudian diukur ulang tiga sampai enam
bulan setelah vaksin disuntik ke seluruh tubuh. Setelah mendapat data tersebut maka dapat diberikan
persetujuan penggunaan atau EUA,” ujarnya.
Baca juga: Mensos Blusukan di Jakarta, Geisz Chalifah Prediksi Akan Muncul Survei Unggulkan Risma di Atas Anies
Mutu
Sementara dari aspek mutu, diperlukan beberapa kajian, seperti data karakterisasi bibit virus vaksin,
bahan aktif vaksin dan produk vaksin, serta karakterisasi cemaran dari produk vaksin. Kemudian kajian
terkait data kontrol mutu bahan awal, bahan tambahan, bahan aktif hingga bahan pengemas harus
sesuai standar yang aman.
“Kita sudah punya acuan standarnya dari WHO. Sampai kepada bahan pengemasnya apakah dia bisa
melindungi vaksinnya agar tidak rusak oleh cahaya atau sebagainya,” ungkap Rizka.
Kemudian kajian mengenai data kontrol mutu bahan awal, semua bahan tambahan atau apakah itu
sebagai adjustment atau sebagai pengawet haru sesuai standar yang aman.
Pihaknya mengaku sudah punya acuan standarnya dari WHO.
Baca juga: Survei Terbaru LKPI, Kepercayaan Masyarakat Terhadap PDI Perjuangan Turun, Gerindra Merosot Tajam
Sampai kepada bahan pengemasnya apakah dia bisa melindungi vaksinnya agar tidak rusak oleh cahaya atau sebagainya.
Lalu dokumen proses pembuatan vaksin dari bahan awal menjadi bahan aktif sampai produk jadi vaksin
termasuk validasi proses pembuatan.
Selanjutnya, data pemenuhan cara pembuatan obat yang baik dan data stabilitas bahan aktif dan produk vaksin.
Menurut Rizka, data stabilitas ini begitu penting untuk mengetahui stabilitas keamanan dari vaksin sejak
dibuat hingga disuntikkan.
“Karena sejak vaksin dibuat hingga disuntikkan membutuhkan waktu dan kita harus tahu stabilitasnya.
Ketika disimpan selama dua, tiga bulan dan seterusnya masih aman nggak,” ungkapnya.
Belum mendapat sertifikasi MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum dapat memastikan kehalalan vaksin Sinovac untuk Covid-19 .
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Muti Arintawati, mengatakan, masih ada informasi yang perlu
dilengkapi.
“Proses audit sudah dilakukan, tapi masih ada sedikit lagi informasi yang harus dilengkapi. Sehingga,
tentunya kami tidak bisa kemudian memberikan kesimpulan. Dan kesimpulan halal tidaknya juga tidak
ada di LPPOM, tapi di Komisi Fatwa (MUI)," ujar Muti dalam webinar Kehalalan dan Keamanan Vaksin
Covid-19, Selasa (5/1/2021).
Baca juga: Kemenpora Mulai Data Atlet, Pelatih, Hingga Ofisial yang akan Divaksin Covid-19
Baca juga: Diperiksa Polisi terkait Aksi 1812, Slamet Maarif: Kami Hanya Tuntut Keadilan Kematian 6 Anggota FPI
Audit langsung
Muti menjelaskan bahwa LPPOM MUI juga melakukan audit langsung terkait alat, tempat, hingga bahan
produksi vaksin Covid-19 dengan mendatangi pabrik dari produsen vaksin Sinovac di China.
“Kami sudah melihat proses produksi dan bahan-bahan yang digunakan, namun karena produsen
membeli bahan yang digunakan dari pihak ketiga, maka masih ada informasi yang diperlukan
perusahaan setelah audit lokasi dilakukan,” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan, jika semua informasi yang diperlukan sudah terpenuhi, maka dilakukan rapat
oleh Komisi Fatwa MUI untuk menentukan kehalalan dari vaksin Covid-19 ini.
Baca juga: Apresiasi Hadapi Covid-19, 10.000 Bingkisan Dibagikan Untuk Tenaga Medis
“Jika dinyatakan halal, maka tentunya akan keluar ketetapan halal yang menjadi dasar dari BPJPH
(Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) untuk mengeluarkan sertifikat halal,” ujar Muti.
Muti menjelaskan, pihaknya tidak pasif dalam menerima informasi vaksin, tapi secara intensif
melakukan kajian yang dikerjakan auditor LPPOM MUI.
Dia mencontohkan, studi literatur, jurnal, dan keterangan pakar mengenai bahan baku vaksin juga digali.
"Katakan ada sekian banyak asam amino yang digunakan dalam media (pembuatan vaksin), apakah
asam amino mana yang kemudian memang kita perlu kritisi kehalalannya. Atau, mana asam amino yang
memang dari sisi proses produksinya itu tidak kritis dari sisi kehalalannya,"; jelasnya.
Baca juga: Jokowi Akan Tetap Bangun Infrastruktur.di Tahun 2021, Tengku Zulkarnain: Pakai Duit dari Mana?
Baca juga: Kritik Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di Masa Pandemi, PKS: Banyak Warga yang Kehilangan Pekerjaan
Sertifikasi halal
Muti menegaskan tidak akan memberikan sertifikasi halal untuk vaksin yang mengandung babi,
meskipun dalam proses pembuatan vaksin tersebut sudah dinetralisasi atau dibersihkan.
Ia juga mengatakan, bahwa vaksin Covid-19 yang sudah didistribusikan di Indonesia sejauh ini tidak
mengandung babi.
Muti mengatakan, proses sertifikasi halal yang akan diberikan MUI ke vaksin Covid-
19 memang masih dalam proses, tapi MUI belum menemukan kandungan babi sama sekali.
"Sertifikasi halal masih dalam proses, tapi sejauh ini kami belum menemukan adanya kandungan babi.
Mudah-mudahan hasilnya akan baik. Memang dalam proses memisahkan inang, butuh enzim tripsin.
Untungnya tripsin yang digunakan bukan berasal dari babi," kata Muti.
Baca juga: KSAL Pastikan Benda Asing yang Ditemukan Nelayan di Selayar Bukan Drone Laut
Fatwa MUI
Muti menjelaskan, seperti yang tertuang dalam Fatwa MUI No.30 Tahun 2013 Tentang Obat dan
Pengobatan, bahwa obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan
yang suci dan halal.
Kemudian penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan hukumnya
haram.
Hanya saja, lanjut Muti, dalam Fatwa MUI, disebutkan penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-
obatan hukumnya haram, kecuali memenuhi tiga syarat, yaitu digunakan pada kondisi darurat, apabila
tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia atau mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian
hari.
Baca juga: PRESIDEN Jokowi Terbitkan PP Atur Kebiri Kimia hingga Pemasangan Alat Pelacak Elektronik
Syarat selanjutnya, belum ditemukan bahan yang halal dan suci, serta syarat terakhir adanya
rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat yang halal.
“Ini menjadi penting sekali adanya kerja bersama antara MUI dengan BPOM, karena BPOM punya
otoritas yang memberikan rekomendasi bahwa memang penggunaan suatu produk dalam hal ini vaksin
diperlukan dan telah dibuktikan bahwa sampai saat ini belum ada obat yang halal,” ujarnya.