Omnibus Law
Bantah Bareskrim Hendak Tangkap Petinggi KAMI Ahmad Yani, Polisi: Kita Datang Buat Ngobrol Aja
Bareskrim mendatangi rumah Yani, tujuannya untuk pengembangan kasus kerusuhan unjuk rasa menolak Omnibus Law
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Feryanto Hadi
WARTAKOTALIVE.COM, SEMANGGI--Kadiv Humas Mabee Polri Irjen Argo Yuwono membantah bahwa penyidik Bareskrim Polri hendak menangkap Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani, saat datang ke rumah Yani, Senin (19/10/2020) malam.
Menurut Argo kedatangan penyidik Bareskrim ke rumah Yani untuk berkomunikasi terkait penyelidikan kasus demonstrasi rusuh 8 Oktober 2020 yang menyeret 8 anggota KAMI sebagai tersangka.
"Enggak. Gak ada, kita belum menangkap. Kita datang, komunikasi untuk ngobrol-ngobrol saja," kata Argo di Mapolda Metro Jaya, Selasa (20/10/2020).
Baca juga: Inisiator KAMI Diborgol saat Jumpa Pers, Jimly Asshiddiqie: Ditahan Saja Tak Pantas Apalagi Diborgol
Menurutnya tim dari Bareskrim mendatangi rumah Yani, tujuannya untuk pengembangan kasus kerusuhan unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020.
“Benar ada anggota dari Reserse Bareskrim Polri datang ke rumah Pak Yani. Kita melakukan penyelidikan berkaitan dengan adanya anarkis tanggal 8,” kata Argo.
Menurutnya tim Bareskrim hanya menggelar komunikasi terkait pengembangan kasus.
Setelah itu, Yani pun menyanggupi untuk datang ke Bareskrim Polri hari ini guna dimintai keterangan.
"Jadi ngobrol-ngobrol saja dan yang bersangkutan bersedia sendiri untuk hari ini hadir ke Bareskrim,” kata Argo.
Baca juga: Mahasiswa Mulai Bubarkan Diri, Kelompok Remaja Ambil Alih Kawasan Patung Kuda
Adapun pengembangan kasus ini terkait ditangkapnya beberapa orang petinggi KAMI karena diduga sebagai provokator demo.
Sebelumnya, sudah ada 8 Anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap polisi.
Mereka diduga membuat hasutan agar demo menolak omnibus law Undang-undang Cipta Kerja menjadi anarkis.
Sebelumnya Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani mengaku hampir ditangkap aparat Bareskrim Polri, Senin (19/10/2020) malam.
Baca juga: Di Akun Facebooknya, Penggerak Pelajar Instruksikan Demo UU Ciptaker Harus Rusuh dan Ricuh
Menurut Yani, peristiwa itu berawal saat ia berada di kantor, Jalan Matraman Raya Nomor 64, Jakarta.
Di sana ia, didatangi sekitar 20 orang dari pihak kepolisian.
"Alhamdulilah tidak jadi, saya nyaris ditangkap," ucap Yani saat dihubungi di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Saat pihak Kepolisian ingin menangkap, Yani langsung bertanya kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga hendak ditangkap.
"Apa salah saya? Terus perbuatan melawan hukum yang mana yang sudah saya langgar?"
"Pasal-pasal mana yang saya langgar? Mereka menjawab, nanti bapak jelaskan saja di kantor," ujar Yani.
Baca juga: Datang ke Lokasi Unjuk Rasa, Kapolda Metro Janji Upayakan Perwakilan Mahasiswa Bertemu Staf Presiden
Mendengar jawaban tersebut, Yani enggan ke kantor polisi karena tidak dijelaskan alasan dirinya ingin ditangkap.
"Bagaimana bapak nangkap saya, tapi saya tidak tahu duduk persoalannya?"
"Saya berdebat dan kemudian saya berbicara dengan ketua timnya, dia berkata hanya menjalankan tugas," papar Yani.
Ketua tim penangkapan tersebut, kata Yani, menyatakan penangkapan berdasarkan pengembangan dari pemeriksaan petinggi KAMI, yakni Anton Permana, terkait narasi di akun YouTube Anton, di mana narasi tersebut diduga dibuat oleh Ahmad Yani.
"Saudara Anton itu baru diperiksa jam 18.15 WIB, kemudian satu jam berikutnya langsung datang ke kantor saya sekitar 19.30 WIB."
"Jadi BAP diterima, mereka langsung luncur ke saya, maka saya bilang, kalau begini pengembangan perkara dong, panggil saya dulu sebagai saksi, itu prosedur yang berlaku," sambung Yani.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap alasan menciduk tiga deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Syahganda Nainggolan ditangkap karena cuitan di akun Twitter pribadinya.
Baca juga: Massa Demonstran di Jogja Gaungkan Mosi Tidak Percaya kepada Pemerintah, Ajak Bentuk Dewan Rakyat
Diduga, unggahan tersebut berisi konten berita bohong alias hoaks.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyebut Syahganda menyebarkan gambar dan narasi yang tidak sesuai kejadian di akun Twitternya.
Gambar yang disebarkan terkait aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law.
"Tersangka SN, dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh."
"Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama kejadiannya."
"Contohnya ini. Ini kejadian di Karawang, tapi ini gambarnya berbeda," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Unjuk Rasa Buruh dan Mahasiswa Tolak UU Ciptaker di Karawang Memanas,Massa Jebol Gerbang Kantor DPRD
Argo mengatakan ada sejumlah gambar yang dibagikan oleh Syahganda tidak sesuai kejadiannya.
Menurutnya, motif tersangka membagikan gambar itu di sosial media, karena mendukung aksi buruh.
"Ada beberapa dijadikan barang bukti penyidik dalam pemeriksaan. Juga ada macam-macam, tulisan dan gambarnya berbeda."
"Dan motifnya mendukung dan men-support demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya," terangnya.
Syahganda dijerat pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE, pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU 1/1946. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara.
Jumhur Hidayat ditangkap terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitter.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyampaikan, Jumhur diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.
"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif."
"Investor dari RRT dan pengusaha rakus."
"Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," papar Argo.
Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.
Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.
Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.
"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kita tangani. Pola dari hasutan," jelasnya.
Dalam kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa handphone, KTP, harddisk, hingga akun Twitter milik Jumhur.
Polisi juga menyita spanduk, kaus hitam, kemeja, rompi, dan topi.
Jumhur Hidayat dijerat pasal 28 ayat 2 kita juncto pasal 45A ayat 2 UU 19/2016 tentang ITE, dan pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU 1/1946. Ancamannya hukumannya 10 tahun penjara.
Anton Permana
Anton Permana ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.
Dia melanggar pasal penyebaran informasi yang bersifat kebencian berdasarkan SARA.
Anton Permana menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia, di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.
"Ini yang bersangkutan menuliskan di FB dan YouTube."
"Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali."
"Misalnya multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI jadi negara kepolisian republik Indonesia," papar Argo.
Anton Permana juga menggunggah status yang menyebutkan Omnibus Law sebagai bukti negara telah dijajah.
Selain itu, regulasi itu menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.
Menurutnya, unggahan itu sebagai bentuk penyebaran informasi bersifat kebencian dan SARA.
"Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," beber Argo.
Dalam kasus ini, polisi menyita flashdisk, ponsel, laptop, dan dokumen-dokumen berisi screenshot dari media sosial.
Anton Permana dijerat pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 207 KUHP. Dengan ancaman penjara 10 tahun.(bum)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/argo-yuwono-212.jpg)