Politikus PPP: Ahok, Jokowi, Risma, Ridwan Kamil Takkan Muncul Kalau Tidak Ada Pilkada Langsung
Humphrey Djemat menilai, sistem pilkada langsung banyak melahirkan sosok pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas.
KETUA Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta Humphrey Djemat menilai, sistem pilkada langsung banyak melahirkan sosok pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas.
Sistem pilkada langsung mendapatkan kritikan karena berbiaya tinggi.
Humphrey Djemat justru menilai pilkada langsung dapat memunculkan sosok pemimpin seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
• Panitia Janji Peserta Reuni 212 Bakal Bubarkan Diri dari Monas Pukul 09.30
"Kebanyakan orang memang lebih melihat high cost-nya."
"Tapi kalau diperhatikan, banyak juga pilkada langsung ini memunculkan figur-figur kepala daerah dengan kredibilitas tinggi."
"Seorang Ahok, Presiden Jokowi, Bu Risma, Ridwan Kamil, tidak akan muncul kalau tidak ada pilkada langsung," tutur Humphrey Djemat di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Minggu (24/11/2019).
• Tak Lagi Naik Motor, Novel Baswedan Kini Diantar Jemput Mobil Dinas KPK untuk Bekerja
Menurut Humphrey Djemat, jika pilkada kembali pada sistem tidak langsung, justru terjadi kemunduran.
Bahkan, menurutnya politik uang justru makin merebak dengan sistem pilkada tidak langsung.
"Jadi kalau sudah dicoba, sekarang kemudian dilakukan dengan cara pilkada langsung, mau kembali lagi, ya namanya makan barang busuk lagi sebenernya."
• Tujuh Rumah di Setu Tangerang Selatan Retak-retak, Warga Cemas Ambruk dan Longsor
"Malah bisa lebih parah lagi sebenernya untuk itu," ucap Humphrey Djemat.
Dirinya menilai tingginya biaya politik justru disebabkan partai politik.
Menurut Humphrey Djemat, mahar politik yang diminta oleh partai membuat calon kepala daerah membutuhkan banyak dana.
• Rencana Penerapan ERP di Jalan Kalimalang Bekasi, Warga: Masa Mau ke Rumah Sendiri Harus Bayar?
Humphrey Djemat juga menilai ada kelemahan dari aspek penegakan hukum.
Menurutnya, butuh pembenahan dalam aspek penegakan hukum terkait penyelenggaraan pilkada langsung.
"Semuanya itu kan muncul dari partai politik. Partai politik itu kan kalau mengenai soal, katakanlah mahar transaksional, itu sudah jadi rahasia umum."
• Penerapan Jalan Berbayar di Kalimalang Bukan Tahun Depan, Harus Lewati Empat Tahapan Ini
"Bahkan kemungkinan lebih besar maharnya daripada kepentingan calon tersebut dalam mendekati masyarakat, melibatkan dry cost yang harus dikeluarkan," ungkap Humphrey Djemat.
"Terutama kelemahan di Indonesia ini kan di law enforcement ya, lemahnya di situ."
"Sehingga ini bisa katakanlah ya tidak sesuatu yang memang kelihatan pembenahan dari suatu sistem, karena itu akan terjadi berulang-ulang," tutur Humphrey Djemat.
• Dituduh Lindungi Ahok oleh Marwan Batubara, KPK Bilang Begini
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa mendatang masih akan dilakukan secara langsung, atau dipilih masyarakat melalui pencoblosan.
"Presiden Jokowi mengatakan pilkada provinsi, kabupaten, kota, tetap melalui mekanisme pemilihan langsung," kata Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman lewat pesan singkat, Selasa (12/11/2019).
Menurut Fadjroel Rachman, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan cermin kedaulatan rakyat yang sejalan dengan cita-cita reformasi pada 1998.
• Rizieq Shihab Mengaku Dicekal, Mahfud MD: Silakan Urus ke Arab Saudi
"Jadi yang akan dievaluasi hanya teknis penyelenggaraan saja (bukan sistem pemilihannya)," ucap Fadjroel Rachman.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai perlu ada kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langsung.
Sebab, menurut mantan Kapolri itu, Pilkada langsung ada mudaratnya, yakni membutuhkan biaya politik yang sangat besar.
Biaya politik yang besar tersebut, membuat kepala daerah melakukan berbagai cara untuk mengganti ongkos politik yang telah dikeluarkan saat kampanye, salah satunya korupsi.
• CAKEP! Begini Pantun Ketua Komisi X DPR untuk Mendikbud Nadiem Makarim
"Bayangin, dia mau jadi kepala daerah, mau jadi bupati itu 30 m (miliar), 50 m, (sementara) gaji 100 juta, (atau) taruhlah 200 juta."
"Lalu kali 12 (bulan), itu 2,4 (miliar) kali lima tahun itu 12 m, yang keluar 30 m, rugi enggak?" kata Tito Karnavian seusai rapat kerja bersama Komisi II DPR, Rabu (6/11/2019).
Tito Karnavian tidak percaya ada orang atau kepala daerah yang rela mengeluarkan uang banyak saat Pilkada, dengan alasan mengabdi kepada bangsa dan negara.
• DPRD DKI Minta Anies Baswedan Buka Dokumen Draf KUA-PPAS APBD 2020 yang Bikin Heboh
Ia meyakini orang akan mengganti ongkos politik yang dikeluarkan ketika kampanye, saat menjabat.
"Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi? Bullshit. Saya tidak percaya," tegasnya.
Oleh karena itu, Tito Karnavian mengaku tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
• Tukang Air Isi Ulang Daftar Jadi Calon Wali Kota Tangsel Lewat Gerindra, Sebelumnya ke PDIP dan PSI
Karena, menurut dia, hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan korupsi.
"Kalau bagi saya sebagai mantan Kapolri, ada OTT (operasi tangkap tangan), penangkapan kepala daerah buat saya it's not a surprise for me, kenapa?"
"Mungkin hampir, hampir ya, saya enggak mau menuduh. Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi," tuturnya.
• Atap JPO Sudirman Dicopot, Warga: Jakarta Lagi Panas Malah Dibongkar
Tito Karnavian tidak menjawab saat ditanya apakah kajian tersebut nantinya akan mengarah pada wacana Pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD.
Yang pasti, menurutnya saat ini perlu perbaikan dari sistem Pilkada langsung agar tidak terlalu banyak menimbulkan dampak negatif.
"Bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi, biar tidak terjadi OTT lagi," ucapnya.
• Jokowi Bingung Kementerian dan Lembaga Masih Impor Cangkul, Padahal Sambil Tidur Saja Bisa Dibuat
Tito Karnavian lalu mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun?" Tanyanya seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR.
Ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi. Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
• Idham Azis Mengaku Gemetar Saat Ditunjuk Jadi Kapolri, Padahal Tak Takut Tangkap Santoso
"Banyak manfaatnya, yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi."
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ucapnya.
Tito Karnavian berpandangan, mudarat Pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan.
• Sofyan Basir Bebas, KPK Sebut Hakim Tak Pertimbangkan Poin-poin Krusial Ini
Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari Pilkada langsung.
"Laksanakan riset akademik. Riset akademik tentang dampak negatif dan positif pemilihan Pilkada langsung."
"Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya? Politik biaya tinggi, bayangin," papar Tito Karnavian. (Fahdi Fahlevi)