Polemik Ijazah Jokowi

Cholil Nafis Sebut Berita soal Pernyataan Ketum MUI Dukung Penetapan Tersangka Roy Suryo CS Hoaks

Cholil Nafis menyebut bahwa sebagai organisasi, MUI tak ikut campur terkait urusan ijazah Jokowi

Editor: Feryanto Hadi
Wartakotalive/Ramadhan LQ
HAKS - Ketua Komisi Dakwah dan Ukhuwah di Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Nafis menyebut bahwa pemberitaan soal dukungan MUI kepada Polda Metro yang menetapkan tersangka Roy Suryo Cs adalah hoaks 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-  Ketua Komisi Dakwah dan Ukhuwah di Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Nafis menepis pemberitaan sejumlah media yang mencatut dukungan MUI terkait polemik Ijazah Joko Widodo.

Dalam pemberitaan beberapa media, Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar dinarasikan mendukung langkah penetapan tersangka Roy Suryo Cs oleh Polda Metro Jaya.

Cholil Nafis menyebut bahwa sebagai organisasi, MUI tak ikut campur terkait urusan ijazah Jokowi

"Ini tidak benar sebagai pernyataan MUI. MUI bukan kapasitasnya ngurusin ijazah orang, apalagi urusan tersangka berkenaan dengan ijazah atau pencemaran nama baik. Biarlah itu urusan penegak hukum," tulis Cholil Nafis seraya menyertakan sebuah artikel berita, dikutip dari laman X pribadinya, Senin (10/11/2025)

Maka dari itu, Cholil Nafis menyebut bahwa narasi dukungan tersebut adalah tidak benar alias hoaks.

Sebagai informasi, Polda Metro Jaya menetapkan Roy Suryo dan ada tujuh orang tersangka lainnya dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah, dan manipulasi data yang dilaporkan oleh Bapak Ir H Joko Widodo.

Baca juga: Prof Henry Subiakto Minta Polisi Pastikan Keaslian Ijazah Jokowi sebelum Adili Roy Suryo Cs

Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menyampaikan penetapan tersangka itu telah melalui asistensi dan gelar perkara yang melibatkan internal dan eksternal.

Delapan tersangka kasus tudingan ijazah palsu yang dilaporkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) itu dijerat pasal berlapis. 

Kedelapan tersangka yang dibagi dalam dua klaster, dijerat UU KUHP dan juga UU ITE.

Kapolda menyebut tersangka klaster pertama dalam kasus ini terdiri dari 5 orang. Mereka dikenakan pasal pencemaran nama baik, fitnah, hingga penyebaran dokumen elektronik dengan tujuan menghasut.

Baca juga: Roy Suryo Cs Tersangka Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Disebut Cermin Integritas Hukum

"Lima tersangka dari klaster pertama atas nama ES, KTR, MRF, RE dan DHL. Untuk tersangka dari klaster ini dikenakan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat 4 dan/atau Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 UU ITE," ucapnya, Jumat (7/11/2025) kemarin.

Adapun Pasal 310 KUHP mengatur soal pencemaran/penghinaan, sedangkan pasal 311 KUHP tentang fitnah. Sementara itu, pasal 160 KUHP mengatur penghasutan di muka umum. 

Pasal UU ITE yang dijerat kepada delapan tersangka mengatur pidana penyebaran dokumen elektronik tanpa hak dengan tujuan menghasut dan menimbulkan kebencian, hingga manipulasi informasi atau data elektronik agar dianggap seolah-olah otentik.

"Untuk klaster kedua, ada 3 orang yang kami tetapkan sebagai tersangka antara lain atas nama RS, RHS dan TT. Tersangka pada klaster dua dikenakan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 ayat 1 dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat 1 dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat 4 dan/atau Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 UU ITE," ungkap Asep. 

Dikritik Prof Henry

Penetapan sejumlah nama, termasuk Roy Suryo, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengeditan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memicu polemik hukum.

Guru Besar sekaligus ahli komunikasi, Profesor Henry Subiakto, angkat bicara dan mempertanyakan dasar penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta tuntutan pembuktian yang seharusnya dipenuhi oleh penegak hukum.

Menurut Prof. Henry, penetapan tersangka atas dasar tuduhan mengedit ijazah Jokowi seharusnya didahului oleh pembuktian forensik yang kuat.

"Kalau tersangka Roy Suryo dkk dinyatakan oleh Polisi mengedit ijazah Jokowi maka, penegak hukum tersebut harus membuktikan bahwa ada informasi elektronik milik Jokowi yang asli, lalu dibandingkan dengan informasi elektronik yang sama yang sudah diubah atau diedit," tegasnya dikutip dari laman X pribadinya, Senin (10/11/2025).

Syarat Mutlak Bukti Digital Forensik

Prof. Henry Subiakto menjabarkan bahwa pembuktian ini harus didukung dengan bukti digital forensik yang minimal mencakup:

  • Bukti Intrinsik: Bukti teknis adanya perubahan di dalam file itu sendiri.
  • Bukti Ekstrinsik/Sistem: Bukti jejak perubahan di luar file (pada sistem).
  • Bukti Perilaku (Behavior): Bukti perilaku tersangka yang menunjukkan dilakukannya perubahan menggunakan perangkat elektronik tertentu.
  • Jejak Digital: Penegak hukum harus menemukan meta data, waktu edit, dan software device ID yang mereka gunakan.
  • Perbedaan Kompresi/Noise: Harus ditemukan perbedaan kompresi JPEG di area ijazah yang diedit, bukti pola noise kamera dengan noise edit, serta adanya Digital Signature/Hash Mismatch (tanda tangan atau hash berubah).

"Tanpa bukti-bukti itu semua, berarti unsur-unsur pasal 32 dan pasal 35 UU ITE tidak tepat dipakai penegak hukum," kritik Prof. Henry.

Kedudukan Hukum Foto Ijazah di Media Sosial

Lebih lanjut, Prof. Henry Subiakto menegaskan adanya perbedaan antara ijazah fisik yang legal dan otentik dengan hasil scan atau foto yang beredar di ranah publik.

"Sepengetahuan saya, ijazah asli itu bukan informasi elektronik. Tapi kertas ijazah yang legal dan otentik yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan yang berwenang yaitu dalam hal ini adalah UGM," ujar Prof. Henry.

Ia menjelaskan bahwa foto atau hasil scan ijazah yang sudah diunggah orang di media sosial bukan lagi informasi elektronik yang legal dan otentik yang dilindungi secara spesifik oleh pasal 32 dan 35 UU ITE.

Hasil scan atau foto di medsos dianggap sebagai informasi biasa di ranah publik, dan jika pun diubah, hal itu lebih mengarah pada pelanggaran etika.

"Baru ada ancaman pidana jika itu dipakai untuk menipu, itupun kenanya KUHP bukan ITE. Maka jelas tidak tepat jika urusan hasil scan ijazah ataupun upload foto copy itu dianggap ada pelanggaran UU ITE," tambahnya.

Soal Keaslian Ijazah Harus Lewat Pengadilan

Mengenai pasal 27A UU ITE yang baru terkait pencemaran nama baik (fitnah), Prof. Henry menekankan bahwa unsur fitnah baru bisa terpenuhi jika pokok persoalan utamanya sudah terbukti.

"Disebut ada fitnah dan pencemaran nama baik itu jika pokok persoalan utamanya sudah terbukti, dimana ijazah pak Jokowi benar-benar asli berdasar putusan pengadilan yang telah diuji dan dievaluasi keabsahannya secara terbuka oleh para ahli," kata Prof. Henry Subiakto.

Ia menyimpulkan bahwa persoalan hukum serius seperti ini tidak cukup hanya didasarkan pada klaim atau pernyataan di luar pengadilan.

"Tanpa proses pembuktian di pengadilan, polisi tidak bisa dan tidak punya kewenangan menyimpulkan ijazah Jokowi asli. Yang berwenang hanyalah pengadilan yang terbuka dilengkapi proses pengujian," pungkasnya.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News dan WhatsApp

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved