Polemik Ijazah Jokowi

Cholil Nafis Sebut Berita soal Pernyataan Ketum MUI Dukung Penetapan Tersangka Roy Suryo CS Hoaks

Cholil Nafis menyebut bahwa sebagai organisasi, MUI tak ikut campur terkait urusan ijazah Jokowi

Editor: Feryanto Hadi
Wartakotalive/Ramadhan LQ
HAKS - Ketua Komisi Dakwah dan Ukhuwah di Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Nafis menyebut bahwa pemberitaan soal dukungan MUI kepada Polda Metro yang menetapkan tersangka Roy Suryo Cs adalah hoaks 

Penetapan sejumlah nama, termasuk Roy Suryo, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengeditan ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memicu polemik hukum.

Guru Besar sekaligus ahli komunikasi, Profesor Henry Subiakto, angkat bicara dan mempertanyakan dasar penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta tuntutan pembuktian yang seharusnya dipenuhi oleh penegak hukum.

Menurut Prof. Henry, penetapan tersangka atas dasar tuduhan mengedit ijazah Jokowi seharusnya didahului oleh pembuktian forensik yang kuat.

"Kalau tersangka Roy Suryo dkk dinyatakan oleh Polisi mengedit ijazah Jokowi maka, penegak hukum tersebut harus membuktikan bahwa ada informasi elektronik milik Jokowi yang asli, lalu dibandingkan dengan informasi elektronik yang sama yang sudah diubah atau diedit," tegasnya dikutip dari laman X pribadinya, Senin (10/11/2025).

Syarat Mutlak Bukti Digital Forensik

Prof. Henry Subiakto menjabarkan bahwa pembuktian ini harus didukung dengan bukti digital forensik yang minimal mencakup:

  • Bukti Intrinsik: Bukti teknis adanya perubahan di dalam file itu sendiri.
  • Bukti Ekstrinsik/Sistem: Bukti jejak perubahan di luar file (pada sistem).
  • Bukti Perilaku (Behavior): Bukti perilaku tersangka yang menunjukkan dilakukannya perubahan menggunakan perangkat elektronik tertentu.
  • Jejak Digital: Penegak hukum harus menemukan meta data, waktu edit, dan software device ID yang mereka gunakan.
  • Perbedaan Kompresi/Noise: Harus ditemukan perbedaan kompresi JPEG di area ijazah yang diedit, bukti pola noise kamera dengan noise edit, serta adanya Digital Signature/Hash Mismatch (tanda tangan atau hash berubah).

"Tanpa bukti-bukti itu semua, berarti unsur-unsur pasal 32 dan pasal 35 UU ITE tidak tepat dipakai penegak hukum," kritik Prof. Henry.

Kedudukan Hukum Foto Ijazah di Media Sosial

Lebih lanjut, Prof. Henry Subiakto menegaskan adanya perbedaan antara ijazah fisik yang legal dan otentik dengan hasil scan atau foto yang beredar di ranah publik.

"Sepengetahuan saya, ijazah asli itu bukan informasi elektronik. Tapi kertas ijazah yang legal dan otentik yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan yang berwenang yaitu dalam hal ini adalah UGM," ujar Prof. Henry.

Ia menjelaskan bahwa foto atau hasil scan ijazah yang sudah diunggah orang di media sosial bukan lagi informasi elektronik yang legal dan otentik yang dilindungi secara spesifik oleh pasal 32 dan 35 UU ITE.

Hasil scan atau foto di medsos dianggap sebagai informasi biasa di ranah publik, dan jika pun diubah, hal itu lebih mengarah pada pelanggaran etika.

"Baru ada ancaman pidana jika itu dipakai untuk menipu, itupun kenanya KUHP bukan ITE. Maka jelas tidak tepat jika urusan hasil scan ijazah ataupun upload foto copy itu dianggap ada pelanggaran UU ITE," tambahnya.

Soal Keaslian Ijazah Harus Lewat Pengadilan

Mengenai pasal 27A UU ITE yang baru terkait pencemaran nama baik (fitnah), Prof. Henry menekankan bahwa unsur fitnah baru bisa terpenuhi jika pokok persoalan utamanya sudah terbukti.

Sumber: Warta Kota
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved