WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Mantan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara penghapusan red notice Djoko Tjandra, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/12/2020).
Nugroho bersaksi data pribadi Djoko Tjandra masih bisa dilihat, meski status red notice sudah terhapus sejak 2014.
Keterangan Nugroho itu adalah jawaban untuk pertanyaan kuasa hukum Djoko Tjandra, yang bertanya apakah saat status red notice terhapus, data yang bersangkutan tetap bisa dipantau di pusat Interpol Lyon, Prancis.
Baca juga: Bertahan Hidup di Hutan dan Gunung, Kelompok Teroris Ali Kalora Cs Kerap Rampas Makanan Warga
"Ketika sudah terhapus, apakah status red notice itu tidak ada lagi di Lyon, Prancis atau memang ada?" tanya kuasa hukum Djoko Tjandra, Waldus Situmorang, dalam sidang.
"Masih bisa dilihat, istilahnya down grade, tapi tidak lagi menunjukkan data-data valid."
"Nomor paspor sudah mati, data-data perlintasan sudah tidak ada."
Baca juga: Bubarkan 10 Lembaga Non Struktural, Negara Hemat Anggaran Rp 200 Miliar Lebih, yang Lain Menyusul
"Maka tidak mungkin orang itu akan melintas dengan paspor yang sudah mati," jawab Nugroho.
Meski data-data itu terlihat di database Interpol, lanjutnya, red notice sudah tak bisa digunakan lagi. Mengingat, setiap 5 tahun data itu harus diperbarui.
"Masih bisa dilihat, bisa ada data kelihatan."
Baca juga: Rizieq Shihab Minta Maaf, Penyidikan Kasus Pelanggaran Protokol Kesehatan Tetap Berjalan
"Tapi tidak bisa dipakai lagi, karena negara-negara lain tentunya tidak akan mempertanyakan. Setiap 5 tahun mesti di-update," terang Nugroho.
Sebelumnya, Nama Djoko Tjandra, terpidana kasus hak tagih Bank Bali, masih tercatat dalam daftar red notice Interpol pada Januari 2019.
Hal itu dikatakan eks Sekretaris National Central Bureau (Ses NCB) Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo, saat bersaksi dalam sidang kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/11/2020) malam.
Duduk sebagai terdakwa adalah mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
Baca juga: Satu Keluarga di Sigi Dibunuh MIT Poso dan Rumah Dibakar, DPR Minta Polisi Segera Ciduk Pelakunya
Nugroho mengatakan, Djoko Tjandra yang pada saat itu buron, tidak bisa ditangkap karena belum ada permintaan kerja sama penangkapan.
"Nama Djoko Tjandra pada Bulan Januari 2019 masih ada di red notice Interpol."
"Tetapi sudah tidak bisa lagi dimintakan untuk kerja sama penangkapan lagi," tutur Nugroho.
Baca juga: Terbitkan Keppres, Jokowi Tetapkan Rabu 9 Desember 2020 Hari Libur Nasional
Nama Djoko Tjandra masuk dalam red notice Interpol sejak sekira satu bulan setelah Juni 2009, pasca-putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 yang menyatakan ia bersalah dan divonis 2 tahun penjara.
"Datanya masih bisa dilihat, tetapi tidak menimbulkan arti, karena yang bersangkutan pernah menikahkan anak di Korea Selatan."
"Tetapi tidak ada proses apa-apa di Korsel oleh kita saat itu," kata Nugroho.
Baca juga: Calon Besannya Diciduk KPK, Bamsoet: Tugas Saya Menjaga Semangat Anak Supaya Tetap Sabar
Menurutnya, jika tak ada permohonan perpanjangan dari penegak hukum, red notice itu bakal habis masa berlakunya 5 tahun sejak diterbitkan, artinya red notice Djoko Tjandra habis masa berlakunya di tahun 2014.
"Saat rapat saya diberitahukan bahwa menurut aturan sejak Juni 2019 status red notice Djoko Tjandra sudah tidak ada lagi, sudah terhapus by system."
"Dan memang tidak ada permintaan perpanjangan dari aparat penegak hukum," tuturnya.
Baca juga: UPDATE Kasus Covid-19 di Indonesia 28 November 2020: Melonjak 5.418, Pasien Positif Tembus 527.999
Nugroho juga mengaku menandatangani surat balasan kepada istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, yang menanyakan soal status red notice Djoko Tjandra pada April 2020.
"Saya terima surat Anna Boentaran saat rapat dengan Kadivhubinter Irjen Pol Napoleon Bonaparte."
"Surat itu diterima sesuai dengan administrasi internal," beber Nugroho.
Baca juga: 626 Jenazah Dimakamkam Pakai Protokol Covid-19 di TPU Pedurenan Sejak Maret 2020
Nugroho mengatakan, balasan surat dari dirinya kepada Anna Boentara hanya menginformasikan soal status red notice Djoko Tjandra.
"Saya balas karena perintah dari pimpinan balas saja."
"Kalau sudah dikatakan (untuk membalas) oleh pimpinan, dalam hierarki, berarti sudah disetujui," jelas Nugroho.
Baca juga: Wali Kota Cimahi dan Bos RS Kasih Bunda Jadi Tersangka, Suap Rp 425 Juta Dibawa Pakai Tas Plastik
Pimpinan yang dimaksud adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte.
"Pimpinan sudah minta saya untuk tanda tangan dan dari bawah, yaitu kabag, sudah dikonsep."
"Saya tanya Kabag sudah diperintah, lalu saya tanda tangan dan surat kembali lagi kepada Kabag, walau surat balasan itu tidak ada disposisinya," beber Nugroho.
Baca juga: Jadi Tersangka, Wali Kota Cimahi: Semata-mata Ketidaktahuan, Saya Pikir Tidak Masuk Pasal Apa-apa
Menurut Nugroho, Interpol tidak berwenang membuat Daftar Pencarian Orang (DPO).
Melainkan, hanya berwenang mengeluarkan red notice, karena Interpol hanya menjadi administrator pelaksana untuk pembantuan tugas luar negeri.
Nugroho saat ini sudah dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri sejak kasus Djoko Tjandra mencuat.
Baca juga: KISAH Susi Pudjiastuti Berhenti Sekolah karena Tak Happy, Lalu 2 Tahun Tak Bicara dengan Ayah
Dalam dakwaan disebutkan, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kabag Jatinter Set NCB Interpol Divhubinter Polri Kombes Tommy Aria Dwianto.
Perintahnya, membuat surat kepada pihak Imigrasi pada tanggal 29 April 2020, yang ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut menginformasikan Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7.
Baca juga: Jokowi-Prabowo Diprediksi Bakal Perang Dingin Jika Kursi Menteri KP Tak Dikasih ke Gerindra Lagi
Dan, diinformasikan data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Napoleon juga memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pada 4 Mei 2020, perihal pembaharuan data Interpol Notices yang ditandatangani Brigjen Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi, yang isinya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.
Selanjutnya pada 5 Mei 2020, Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat soal penghapusan red notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham, dan ditandatangani Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Baca juga: Pesan SBY kepada yang Suka Bermain Politik Identitas: Jangan Main Api, Tidak Bagus, Sangat Berbahaya
Isi surat tersebut menginformasikan red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 setelah 5 tahun.
Pada 8 Mei 2020, Irjen Bonaparte memerintahkan Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pemberitahuan yang ditandatangani Brigjen Nugroho Slamet Wibowo untuk Anna Boentaran'
Isinyam enerangkan setelah pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol, didapatkan Djoko Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek red notice ICPO Interpol, Lyon, Prancis.
Dalam perkara ini, Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap senilai 150.000 dolar AS atau setara Rp 2,2 miliar, dari Djoko Tjandra, agar menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. (Danang Triatmojo)