BPJS Kesehatan

Kelainan Jantung dan Down Syndrome, BPJS jadi Penyambung Hidup Kayla Selama 13 Tahun

Inilah kisah Kayla Dwi Pramesty penderita down syndrome yang harus jalani beragam pengobatan yang tak murah, kini terbantu dengan BPJS Kesehatan

Wartakotalive/Nuri Yatul Hikmah
DOWN SYNDROM - Sri Endang Wahyuni (54) dan putrinya Kayla Dwi Pramesty (15), penyintas down syndrom dan kelainan jantung pada momen hari pertama MPLS di SLBN 5 Jakarta, Senin (14/7/2025). 

Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah

WARTAKOTALIVE.COM, PALMERAH — Langkah kecil Kayla Dwi Pramesty (15) saat menghampiri sang ibu di hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 5 Jakarta, Senin (14/7/2025), menjadi satu pemandangan yang sudah lama dinantikan Sri Endang Wahyuni.

Sri tak menyangka sang anak yang terlahir down syndrome pada 28 Februari 2010 lalu, akhirnya bisa mengenakan baju putih abu-abu dan mengenyam pendidikan seperti anak seusianya.

Terlebih, Kayla juga lahir dengan diagnosa kelainan jantung atau Atrial Septal Defect (ASD) yang membuatnya harus berkali-kali masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) hingga ruang operasi, untuk tetap bertahan hidup.

Hari-hari berat itu mulanya dilewati wanita 54 tahun ini dengan asa yang hampir putus. 

Ia tak tahu bagaimana harus membayar rumah sakit, di saat hidupnya berada di ambang kesulitan.

Baca juga: Pelukan Hangat Prabowo untuk Siswa Down syndromee Saat Tinjau MBG di SDN Jati 03 Jakarta

Pada tahun tersebut, Sri hanyalah seorang penjahit dan suaminya adalah karyawan swasta dengan gaji yang pas-pasan.

Ia bahkan tak memiliki pegangan ansuransi kesehatan sama sekali.

Sementara, Sri harus membawa Kayla setiap minggu ke Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita untuk berobat jalan.

"Waktu itu lahir 3,6 kilogram, tapi habis itu bukannya naik tapi merosot terus. Kata bidannya 'Saya rujuk ke RSAB Harapan Kita ya, takut ada kelainan jantung'," ujar Sri bercerita lirih saat menunggu Kayla pulang sekolah, Kamis (17/7/2025).

Di titik itu, hati Sri sesungguhnya hancur.

Ia menatap putri kecilnya yang masih merah, sembari meragukan diri "Apakah mampu membesarkannya?". 

PENYINTAS DOWN SYNDROM - Kayla Dwi Pramesty (15), penyintas Downsyndrom dan kelainan jantung saat menjalani terapi di RSAB Harapan Kita
PENYINTAS DOWN syndrome - Kayla Dwi Pramesty (15), penyintas Downsyndrome dan kelainan jantung saat menjalani terapi di RSAB Harapan Kita (Wartakotalive/Nuri Yatul Hikmah)

Kian hari, berat badan Kayla tambah merosot.

Ia pun memutuskan pergi ke RSAB Harapan Kita tanpa ansuransi apapun dan hanya bermodalkan uang di tabungannya. 

"Waktu itu untuk kontrol jantung saya harus punya Rp 2 juta sekali kontrol, sementara Kayla itu kontrolnya seminggu 2 kali waktu masih bayi," katanya.

Selama dua tahun Sri dan suaminya berjuang untuk kesehatan Kayla.

Setiap uang yang didapat dari pekerjaan, mereka sisihkan agar putri bungsunya dapat melanjutkan hidup dengan mandiri dan tak menderita di tengah keterbatasannya.

Terbantu BPJS Kesehatan

Barulah saat 2012, Joko Widodo selaku Gubernur DKI Jakarta kala itu, mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan bisa dimanfaatkan oleh Sri untuk berobat sang anak.

Pasalnya, ia memenuhi persyaratan ber-KTP DKI Jakarta dan merupakan keluarga dengan status menengah ke bawah. 

"Pas gubernurnya ganti, saya baru pakai BPJS, tapi terapi pun saya harus punya uang. Karena seminggu terapi 2 kali, sekali terapi Rp 200.000 (per-minggu)," kata Sri.

Sementara, Kayla harus melewati banyak terapi, mulai dari bicara, motorik, hingga fisioterapi.

Namun, setelah ia mengajukan kepesertaan BPJS Kesehatan untuk kategori kelas 3, Sri seperti menemukan secercah harapan baru.

Masa depan sang anak, nampaknya mulai bisa ia lihat. Sebab karena bantuan itulah, Kayla bisa terapi, kontrol, hingga operasi dengan gratis.

PENYINTAS DOWN SYNDROM - Sri Endang Wahyuni (54) dan putrinya Kayla Dwi Pramesty (15), penyintas Downsyndrom dan kelainan jantung pada momen hari pertama MPLS di SLBN 5 Jakarta, Senin (14/7/2025).
PENYINTAS DOWN syndrome - Sri Endang Wahyuni (54) dan putrinya Kayla Dwi Pramesty (15), penyintas Downsyndrome dan kelainan jantung pada momen hari pertama MPLS di SLBN 5 Jakarta, Senin (14/7/2025). (Wartakotalive/Nuri Yatul Hikmah)

"Alhamdulillah dari saya mulai pakai itu (BPJS) saya yang pakainya kelas 3 yang gratis, yang enggak bayar, sampai sekarang pun enggak, itu kebantu banget," tutur Sri.

"Karena di RSAB Harapan Kita sama aja, mau yang bayar sama yang enggak bayar, ditanganinya sama, sama-sama baiknya," lanjut dia.

Berkat terapi dan berobat rutin per-minggunya ke berbagai spesialis, mulai dari endokrin, gigi, hingga spesialis anak, berat badan Kayla berangsur meningkat.

"Seminggu bisa berkali-kali, kalau sebulan enggak kehitung, IGD sampai sudah jadi makanan sehari-hari Kayla. Dia kalau sakit, masuk IGD aja udah sembuh, obatnya itu," tutur Sri.

Sri juga tengah berupaya keras untuk menjaga Kayla agar tidak terlalu banyak makan manis demi gigi yang tetap sehat.

Sebab, sudah tak terhitung berapa banyak operasi gigi yang sudah dijalani Kayla demi bisa bertahan dengan diagnosa ASD-nya tersebut.

"Karena punya kelainan jantung, jadi gigi enggak boleh bolong, takut bakterinya masuk ke jantung. Itu Kayla sudah berkali-kali (operasi). Cuma belum nutup-nutup (jantungnya)," kata Sri.

Selain ke RSAB Harapan Kita, BPJS Kesehatan yang dimiliki Kayla juga bisa membantunya mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Soeharto Heerjan untuk terapi kesehatan mental saat emosinya tidak stabil.

Tanpa BPJS, Sri tak membayangkan apakah perkembangan Kayla bisa sampai di titik ini atau tidak.

Pasalnya pada 2020 hingga beberapa tahun paska Covid-19, suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang membuatnya dirumahkan.

Walhasil, Sri kembali bekerja sebagai penjahit lepas, sementara Kayla diasuh oleh sang ayah di rumah.

"Tapi namanya laki-laki kadang kurang telaten, jadi Kayla suka saya bawa, buat terapi dia, motoriknya, kadang saya ajak buat injak mesin jahit yang goyang-goyang itu, karena enggak ada biaya (saat itu)," jelas Sri dengan senyum tulus.

Kayla juga belajar mengenal warna, bentuk, hingga tekstur, dari potongan-potongan kain sisa dari pakaian yang Sri jahit tiap harinya.

"Harganya itu (terapi) Rp 900.000 (di RSJ Heerjan). Tapi alhamdulillah itu dicover (ditanggung) BPJS. Karena dalam sebulan bisa empat kali. Kalau sekarang per delapan hari (kontrol) terapi dan asesmennya satu bulan sekali," ucap Sri.

Kini, Sri sudah berhenti menjahit. Kehidupannya sehari-hari pun, sudah kembali ditanggung oleh suaminya yang memutuskan berjualan bakso keliling.

Sementara seluruh pengobatan Kayla, Sri bergantung penuh pada BPJS Kesehatan untuk memastikan anaknya tumbuh sehat dan bisa mandiri.

Terbukti, meski lahir dengan penyakit berat dan Downsyndrome, Kayla memiliki kemampuan untuk menjahit hingga tata boga yang ia pelajari dari sekolahnya.

"Enggak nyangka saya, padahal sempat ragu ini bisa enggak. Alhamdulillah saya kebantu banget, semoga untuk yang dapat BPJS gratis masih ada, karena banyak anak kayak Kayla yang bergantung (masa depannya)," pungkas Sri. 

Sementara itu, Unting Pati Wicaksono Pribadi selaku Kepala BPJS Kesehatan Kantor Cabag Jakarta Barat, menyampaikan bahwa pihaknya tak membeda-bedakan pelayanan fasilitas kesehatan di rumah sakit manapun.

Seluruh kebutuhan pasien, mulai dari penanganan, rawat jalan, operasi, hingga obat-obatan, dilayani sepenuh hati selama sesuai dengan indikasi medis dari dokter. Termasuk, apabila pasien mengalami sakit berat.

"Setiap kondisi penyakit itu ada tempatnya. Contohnya kayak kasus yang biasa saja, itu cukup di puskesmas. Kalau kondisinya sangat berat, tidak bisa di rumah sakit manapun, harus ke RSAB Harapan Kita, kami tangani," kata Unting saat ditemui di kantornya, Senin (21/7/2025).

"Maka pelayanannya itu berjenjang sebenarnya. Termasuk kasus-kasus yang berat pun kami sudah bekerja sama dengan seluruh faskes kesehatan milik pemerintah dan kami melibatkan 60 persen swasta," imbuhnya.

Di Jakarta Barat sendiri, total ada lebih dari 2,5 juta warga yang memanfaatkan BPJS Kesehatan sebagai tumpuan kesehatan masa depan.

Menurut Unting, jumlah tersebut sudah mencapai 90 persen lebih dari penduduk Jakarta Barat yang jumlahnya 2,6 juta. 

"Dari 2,5 juta yang aktif, yang enggak ada tunggakan 2,3 juta (penduduk). Yang jelas kalau total di Jakarta Barat ini pelayanan mulai dari FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan), ada lebih dari 300 ribuan," jelas Unting.

Lebih lanjut, Unting menyebut jika peserta BPJS yang dibebaskan iuran adalah mereka yang mendapat bantuan dari pemerintah setempat dan sudah melewati proses seleksi sebelumnya.

Salah satu kriterianya adalah mereka yang kurang mampu dan ber-Kartu Tanda Penduduk (KTP) di daerah setempat—seperti Sri (54) yang merupakan warga DKI Jakarta.

"Bahwa ini adalah bentuk perlindungan dari pemerintah kepada masyarakat yang tidak mampu. Kategorinya, dia tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan. Sumber dananya dari pemerintah, kalau Jakarta dari Pemprov DKI Jakarta," jelas Unting.

"Tapi, harus diperhatikan bahwa bantuan ini sifatnya sementara, sampai yang bersangkutan mampu," imbuh dia.

Di akhir, Unting berharap agar peserta BPJS Kesehatan bisa mengetahui hak dan kewajibannya untuk membayar iuran serta memastikan keanggotaannya aktif.

Sebab, hal itu akan membantu banyak jiwa mendapatkan kesempatan dan kualitas hidup yang baik di masa mendatang. (m40)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved