Kekerasan Seksual Anak
Nihayatul Wafiroh: Stop Kekerasan Seksual Anak dengan Pendekatan Budaya
Nihayatul Wafiroh: Stop Kekerasan Seksual Anak dengan Pendekatan Budaya
Penulis: Yolanda Putri Dewanti | Editor: Budi Sam Law Malau
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh turut menanggapi kasus pemerkosaan disertai pembunuhan terhadap anak usia 7 (tujuh) tahun beberapa waktu lalu di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Menurut legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu hal tersebut menjadi momentum untuk direnungkan kembali lantaran kasus kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi.
Mengapa Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) 2022 belum cukup efektif mencegah terjadi kekerasan seksual pada anak? Langkah apa yang perlu dilakukan?
Perempuan yang karib disapa Ninik ini mengurai penyebab kekerasan seksual dan solusi komprehensif, sehingga perlindungan terhadap generasi mendatang dapat diwujudkan secara maksimal.
Ninik menjelaskan, bahwa kasus di Banyuwangi hanyalah satu dari ribuan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPA) melalui data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), mencatat bahwa dalam rentang waktu Januari sampai Juni 2024 terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki.
Baca juga: Alasan Polisi Belum Tetapkan Kasus Kekerasan Seksual Anak di Rusunawa Marunda
“Kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama disamping kekerasan fisik dan psikologi. Kasus yang tercatat ini hanya sebagian kecil dari kasus yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Ibarat gunung es, hanya sedikit kasus yang dilaporkan. Sebagian besar kasus diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa memperhatikan kebutuhan anak, sebagai korban,” ucap Ninik dalam keterangannya, Minggu (24/11/2024).
Ninik menekankan, memahami kekerasan seksual pada anak dengan mengedepankan kebutuhan korban sangat penting.
Mengingat akibat kekerasan seksual, jika dibiarkan, dapat berkepanjangan dan bahkan menjadi siklus kekerasan yang berulang.
Yaitu korban akan menjadi pelaku kekerasan, akibat trauma atau dendam yang belum terpulihkan.
Sebagai informasi, penelitian WHO (2017) menegaskan bahwa kekerasan seksual akan berdampak pada kesehatan mental anak sebagai korban.
Hal ini disebabkan pelaku dan korban biasanya hidup di satu lingkungan yang sama, seperti lingkungan keluarga, tetangga, lingkungan sekolah atau bahkan di asrama.
Lingkungan terdekat yang tidak aman ini menyebabkan korban cenderung mengalami depresi, fobia, dan mengalami kecurigaan pada orang lain dalam waktu yang lama.
Penelitian sosial (Erlinda, 2014) menyebut bahwa kekerasan seksual anak akan berdampak pada kerusakan saraf di bagian cortex.
Anak mengalami gangguan emosi, kemampuan sosial, halusinasi, serta perilaku beresiko terhadap kesehatannya, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seksual di usia lebih dini.
Lima Anak Perempuan di Bekasi Jadi Korban Kekerasan Seksual Tukang Pijat Berusia 73 Tahun |
![]() |
---|
Tampang Pelaku Sodomi Anak di Bekasi, Ditangkap Warga Saat Kabur ke Atap Rumah |
![]() |
---|
Sebanyak 14 Siswi SD di Depok Diduga Jadi Korban Pelecehan Seksual oleh Guru di Sekolah |
![]() |
---|
Fakta Indonesia Tuding Pemerintah Gagal Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual |
![]() |
---|
Diduga Cabuli Anak Tiri, Seorang Pria Dilaporkan ke Polda Metro |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.