Sengketa Pilpres

Pakar Hukum Pemilu: MK Itu Problematik, Tidak Mungkin Gugurkan Pencalonan Gibran

Pakar Hukum Pemilu sebut MK problematik dan tidak mungkin gugurkan pencalonan gibran. Namun ada peluang pemungutan suara ulang

Editor: Rusna Djanur Buana
KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Titi memprediksi MK tidak akan menggugurkan pencalonan Gibran, namun ada peluang pemungutan suara ulang di beberapa daerah. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi tidak akan menggugurkan pencalonan calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka.

Pasalnya MK lah yang membuat putusan No 90 yang memungkinkan Gibran ikut kontestasi Pemilihan Presiden (pilpres) 2024.

Menurut jadwal, MK akan melakukan sidang putusan sengketa Pilpres pada Senin (22/4/2024).

Dalam petitim  gugatannya, kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD meminta MK membatalkan hasil pilpres, mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran, serta mengadakan PSU tanpa keikutsertaan Prabowo-Gibran

Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai permintaan itu akan sulit dipenuhi oleh MK.

Pasalnya, menurut Titi, MK juga merupakan pihak yang membuka pintu bagi Gibran untuk berlaga di Pilpres 2024 lewat Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Kenapa tidak sampai pada diskualifikasi, ya problem-nya adalah MK ini problematik, karena dia menjadi bagian dari persoalan yang dipersoalkan, ya Putusan 90 begitu," kata Titi dalam acara diskusi Polemik Trijaya, Sabtu (20/4/2024).

Baca juga: Penjelasan Yusril Mengapa Putusan MK No 90 Bermasalah, tapi Pencalonan Gibran Sah

Titi berpandangan, MK masih belum mau keluar dari zona pragmatis dengan tetap memberlakukan syarat calon presiden dan wakil presiden minimal usia 40 tahun dengan alternatif pernah dipilih atau sedang menjabat di jabatan yang dipilih melaui pemulu pada Pilpres 2024.

"Saya kira hakim yang delapan ini tidak akan berubah pendirian soal itu," ujar Titi.

MK pernah diskualifikasi kandidat

Namun demikian, Titi menyebutkan bahwa mendiskualifikasi kandidat dalam pemilihan umum bukanlah hal baru di Indonesa.

Dia mencontohkan, MK pernah mendiskualifikasi pasangan calon bupati dan wakil bupati Yalimo tahun 2020, Erdi Dabi dan John Will, karena tidak memenuhi persyaratan.

"Dalam proses di MK diketahui bahwa calon ini terlibat kasus pidana dan meurpakan seorang terpidana yang belum memenuhi syarat.

Jadi diperintahkan untuk didiskualifikasi dan partai politik pengusul itu mengusulkan calon pengganti," kata Titi seperti dilansir Kompas.com.

Dalam kasus tersebut, Titi menyebutkan, MK juga menyediakan waktu untuk proses pendaftaran calon, verifikasi administrasi dan faktual, serta kampanye sebelum dilakukan pemungutan suara ulang.

Untuk diketahui, MK bakal menggelar sidang pengucapan putusan sengketa hasil Pilpres 2024 pada Senin (22/4/2024) mendatang.

Dalam petitum gugatannya, kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta MK membatalkan hasil pilpres, mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran, serta mengadakan pemungutan suara ulang tanpa keikutsertaan Prabowo-Gibran.

Pemungutan suara ulang

Namun Titi Anggraini juga membuka peluang terjadinya kejutan pada keputusan MK. Meski tidak mendiskualifikasi pencalonan Gibran, MK sangat mungkin memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah daerah.

PSU itu berpotensi terjadi di daerah-daerah yang terindikasi ada pelanggaran terhadap asas dan prinsip pemilu pada pelaksanaan Pilpres 2024 lalu.

"Saya kira akan ada kejutan itu kalaupun akhirnya dikabulkan, maka ada peluang untuk terjadinya pemungutan suara ulang di sejumlah wilayah yang memang mengindikasikan ada pelanggaran," kata Titi.

Menurut Titi, proses persidangan di MK sudah menunjukkan ada keterlibatan kepala daerah dalam memobilisasi aparatur sipil negara untuk berkampanye atau aktivitas menyerupai kampanye.

Selain itu, ada pula temuan soal pejabat publik dengan latar belakang politikus yang membagi-bagikan bantuan sosial (bansos) sambil memberikan pesan politis.

Titi pun mengakui bahwa sejauh ini MK belum pernah memerintahkan adanya PSU ketika menangani sengketa hasil pemilihan presiden.

Baca juga: Jelang Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Bakal Tayang Film Dirty Election, Apa itu?

Namun, dia menilai, ada sejumlah terobosan yang dilakukan oleh MK saat ini.

Misalnya, dengan memanggil empat menteri Joko Widodo (Jokowi) untuk dimintai keterangan, serta mempersilakan para pihak untuk mengajukan kesimpulan.

Titi juga menyinggung sejumlah putusan terbaru dari MK yang dinilai progresif, misalnya dengan menghapus pasal pencemaran nama baik serta menegaskan bahwa tanggal pelaksanaan Pilkada 2024 tidak boleh dipercepat.

"Jadi ada dinamika yang mengarah kepada cukup progresifnya MK di bawah kepemimpinan hakim Suhartoyo dan Saldi Isra dan melihat juga fakta-fakta persidangan," ujar Titi. 

Titi mengatakan, MK juga tidak akan semudah itu memerintahkan PSU dalam sengketa ini, tetapi bakal melihat pengaruh dari pelanggaran yang terjadi terhadap perolehan suara hasil Pilpres 2024.

"Kalau dikuantifikasi itu bisa mengubah konfigurasi perolehan suara, maka dia akan sampai pada putusan pemungutan suara ulang.

Itu kalau pembelajaran dari penyelenggaraan pilkada (pemilihan kepala daerah)," kata Titi.

Untuk diketahui, MK bakal menggelar sidang pengucapan putusan sengketa hasil Pilpres 2024 pada Senin (22/4/2024) mendatang. 

Yusril optimistis dengan keputusan MK

Pada kesempatan berbeda, Ketua Tim Pembela Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra meyakini bahwa pencalonan Gibran cawapres) tetap sah.

Diketahui, Gibran bisa maju ke kontestasi Pilpres 2024 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah batas usia dan syarat menjadi cawapres lewat putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Namun, majunya Gibran sebagai cawapres dianggap cacat.

Sebab, Ketua MK yang membuat putusan saat itu, Anwar Usman, dinyatakan melanggar etik. Selain itu, hubungan Anwar Usman sebagai paman Gibran juga menjadi sorotan ketika mengeluarkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Yusril sendiri mengakui bahwa putusan MK terkait batas usia cawapres tersebut memang cacat hukum.

Meski demikian, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut menilai Gibran tetap sah menjadi cawapres.

Pasalnya, diktum putusan MK jelas menyatakan bahwa "berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Yusril mengatakan, problematika putusan itu terletak pada kesalahan teknis dalam pembuatan putusan ketika dua orang hakim konstitusi menyatakan memiliki alasan berbeda (concurring opinion).

Menurut Yusril, pendapat dua hakim tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai pendapat berbeda (dissenting opinion).

"Saya tunjukkan di mana cacat hukumnya. Saya bilang bahwa ini dissenting opinion yang sebenarnya mereka bukan concurrent. Karena yang dua (hakim) ini yang mestinya itu adalah dissenting tapi dibilang concurrent.

Berarti ada kesalahan teknis di dalam pembuatan putusan," ujarnya.

"Nah ini ada implikasinya terhadap diktum keputusan itu sendiri.

Ya saya bilang ini ada problematik dan ada cacat hukum di dalamnya," kata Yusril lagi.

Namun, Yusril mengatakan, keputusan perkara nomor 90 itu jelas dari segi kepastian hukum.

Oleh karena itu, dia beranggapan pencalonan Gibran tetap sah.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved