Breaking News

Pemilu 2024

Mahfud MD Prediksi, Jika Jokowi Melanggar UU Bisa Seperti Soeharto, Pengamat Yakin Hak Angket Ambyar

Cawapres Mahfud MD memprediksi, jika hak angket terwujud, nasib Jokowi bisa menyerupai Soeharto. Apa itu?

Editor: Valentino Verry
Akun YouTube Kompas.com
Cawapres Mahfud MD memprediksi jika hak angket bergulir, maka nasib Presiden Jokowi akan menyerupai Soeharto. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Cawapres Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak akan bisa dilengserkan lewat mekanisme hak angket.

Mantan Ketua MK itu menuturkan, tujuan hak angket bukan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi, melainkan untuk mengeluarkan rekomendasi apakah terjadi pelanggaran undang-undang (UU) atau tidak.

Menurut Mahfud MD, setidaknya ada dua UU yang akan dituduhkan atas dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024, yakni UU tentang APBN dan UU tentang Keuangan Negara terkait anggaran bantuan sosial (bansos).

Baca juga: Tak Ada Arahan Pimpinan PDIP dan PKB, Hak Angket DPR Kecurangan Pemilu 2024 Terancam Gagal

Menurut mantan Menko Polhukam itu, anggaran bansos tahun 2023 berakhir pada November, tapi diperpanjang tanpa mengubah APBN.

Kemudian, pada tahun 2024 jumlah bansos naik dan dibayarkan kepada penerima pada Januari dan Februari menjelang pemilu.

“Padahal, undang-undang untuk tahun 2024 itu baru disahkan 16 Oktober 2023, harus menunggu perubahan APBN, tapi dipaksakan dibagikan. Ini pelanggaran undang-undang,” ucapnya.

Kemudian, menurut UU Keuangan Negara jika terjadi perubahan anggaran, maka harus melalui mekanisme dan persetujuan DPR.

Baca juga: Hak Angket Lambat, DPR RI Gercep Bikin Pansus Dugaan Kecurangan Pemilu

Selain itu, hak angket akan menyelidiki adakah pelanggaran UU KKN, misalnya apakah penggunaan keuangan negara atau suatu kebijakan menguntungkan salah satu pihak.

“Ini teorinya, saya tidak tahu operasi politik di lapangan. Tetap tekanan publik, masyarakat bisa mempengaruhi angket,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Mahfud menyebut bahwa hampir tidak mungkin untuk memakzulkan Jokowi melalui hak angket saat ini, karena masa pemerintahan berakhir pada 20 Oktober 2024.

Menurut Mahfud, hak angket paling cepat tiga bulan, kalau rekomendasi berujung pada pemakzulan presiden, maka perlu sidang DPR lagi, bukan angket.

Baca juga: Respons Timnas AMIN soal NasDem dan PPP Tak Serukan Hak Angket saat Rapat Paripurna

Sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan 2/3 dari yang hadir harus setuju pemakzulan. Setelah itu, disidangkan di MK.

“Itu perlu berbulan-bulan, Oktober tidak akan selesai,” katanya.

Mahfud mengatakan, jika terjadi pelanggaran UU, maka akan ada rekomendasi.

Bisa saja rekomendasi berupa pemakzulan atau ditindaklanjuti secara hukum.

Jika rekomendasi ditindaklanjuti secara hukum, maka tidak perlu lagi DPR bersidang, tetapi diserahkan ke Kejaksaan Agung.

“Walaupun masa pemerintahan telah berakhir, presiden bisa dibawa ke pengadilan seperti Presiden Soeharto dibawa ke pengadilan, tapi karena sakit permanen, maka kasusnya ditutup. Jadi bukan tidak ada guna hak angket,” tandasnya.

Bakal Ambyar

Pengamat politik sekaligus Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi di Jakarta Selatan, rabu (7/2/2024). Jojo Rohi turut menanggapi mengenai usulan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024 dari sejumlah partai politik (parpol). (Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha).
Pengamat politik sekaligus Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi di Jakarta Selatan, rabu (7/2/2024). Jojo Rohi turut menanggapi mengenai usulan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024 dari sejumlah partai politik (parpol). (Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha). (tribunnews.com)

Pengamat Politik sekaligus Direktur Monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Jojo Rohi, mengatakan hak angket bakal ambyar.

Sebab Presiden Jokowi tak akan tinggal diam, tapi berupaya keras menggagalkannya.

Menurut Jojo, pasti akan ada operasi senyap yang sudah dilakukan.

“Operasi senyap pasti sudah dilakukan untuk memporak-porandakan koalisi 01 dan 03," ucapnya.

"Terutama parpol yang berada di posisi margin threshold parlemennya masih belum aman," sambungnya.

Selain ambang batas parlemen, kata Jojo, soal tawaran posisi menteri di kabinet, sedikit banyak juga menggoyahkan iman dari para elite pengambil keputusan.

“Dan jangan lupa, proses hak angket juga akan menguras energi politik, sehingga ada kecenderungan untuk menghindar karena parpol juga masih harus menyiapkan stamina untuk bertarung di pilkada dalam waktu dekat. Itulah mengapa hak angket tidak bergemuruh seperti yang diharapkan,” ucapnya.

Dalam kesempatan berbeda, Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago menilai, hak angket yang diusulkan PKS, PKB, dan PDIP itu berpotensi gagal.

Pasalnya, dalam rapat paripurna, Selasa (4/3/2024), Ketua DPR RI Puan Maharani absen, karena menghadiri KTT Ketua Parlemen Dunia di Paris, Prancis.

Selain tu, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (Cak Imin) juga tak hadir, tanpa diketahui alasannya.

Ketidakhadiran Puan dan Cak Imin tersebut menimbulkan persepsi bahwa PDIP dan PKB belum satu suara soal usulan hak angket.

Sehingga, Arifki pun beranggapan, hak angket yang diusulkan oleh PKS, PKB, dan PDIP itu berpotensi gagal.

Meskipun, jumlah anggota di DPR dari koalisi pasangan calon (paslon) nomor urut 1 dan 3 lebih dominan, ketimbang paslon nomor urut 2.

"Hak angket yang diusulkan oleh PKS, PKB, dan PDIP antara akad dan rungkad (gagal)," ujarnya.

"Meskipun jumlah anggota DPR dari partai koalisi 01 dan 03 lebih dominan dibandingkan partai-partai di koalisi 02," imbuh Arifki.

Sementara itu, PPP dan NasDem tidak terbuka menyatakan sikap dalam rapat paripurna itu.

"PPP dan NasDem punya pertimbangkan untuk ikut hak angket. PPP masih berjuang untuk memastikan lolos parlemen di Pileg 2024," tandasnya.

Baca berita Wartakotalve.com lainnya di Google News

 

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved