Berita Daerah

Guru Botaki Siswi Berjilbab di SMPN 1 Sukodadi Berbuntut Panjang, LBH Surabaya Desak Polisi Tegas

Kasus guru EN yang membotaki 19 siswi berjilbab di SMPN 1 Sukodadi berlanjut. LBH Surabaya menuntut ketegasan polisi.

Editor: Valentino Verry
Tribun Jatim
Mediasi yang dilaksanakan Dinas Pendidikan Lamongan terhadap SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur, dengan orangtua murid terkait kasus pembotakan 19 siswi berjilbab. 

"Kekerasan yang dimaksud dalam UU perlindungan anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum," jelasnya.

Ilustrasi siswi yang menggunakan jilbab.
Ilustrasi siswi yang menggunakan jilbab. (BBC)

Dalam kasus ini, lanjut Habibus, pemerintah berdasarkan Pasal 59 UU 35 tahun 2014 berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan atau psikis.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menegakkan sanksi.

Kemudian, sanksi yang dapat dikenakan oleh guru tersebut mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35 tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta.

Tindakan pembotakan yang dilakukan oleh oknum guru EN terhadap peserta didiknya itu, juga dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan kekerasan psikis menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek) No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Tindakan pencukuran rambut paksa ini juga merupakan bentuk kekerasan psikis karena berakibat merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman bagi para siswi korban.

Di sisi lain, sejatinya atribut ciput bagi siswi SMP berjilbab bukan merupakan bagian dari pakaian seragam sekolah bagi Peserta Didik SMP berdasarkan Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

"Oleh karenanya, pemaksaan penggunaan ciput yang dilakukan oleh oknum EN juga termasuk kategori tindakan intoleransi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 1 Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 karena memaksa peserta didik mengenakan pakaian atau aksesoris yang tidak termasuk seragam sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan," terangnya.

Atas dasar tersebut, Habibus menegaskan, pihaknya membuat empat tuntutan atas adanya insiden tersebut.

Pertama, mendesak Polres Lamongan untuk segara mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban.

Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan para korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan anak.

"Perlu ditegaskan pula bahwa tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh EN merupakan delik biasa sehingga proses hukum teap dijalankan sebagaimana mestinya," jelasnya.

Kedua. Mendorong sekolah untuk memastikan bahwa setiap siswa-siswi merasa aman dan dihormati dalam lingkungan belajar mereka.

Pendidikan bukan hanya tentang pemberian pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik.

Ketiga. Mendorong Dinas Pendidikan Lamongan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap lingkungan pendidikan.

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved