Berita Nasional

Merasa Dirugikan, MK Akan Laporkan Denny Indrayana ke Organisasi Advokat di Australia

Denny Indrayana sebelumnya pernah melontarkan pernyataan yang menyita perhatian publik mengenai uji materi pasal dalam UU Pemilu yang tengah ditangani

Editor: Feryanto Hadi
TRIBUNNEWS/FRANSISKUS ADHIYUDA
Denny Indrayana 

"Saya berterima kasih kepada MK. Saya pikir yang tadi disampaikan Prof Saldi Isra mewakili kelembagaan MK itu pilihan-pilihan yang bijak terutama poin tidak masuk ke wilayah pelaporan ke polisi, pemidanaan," kata Denny.

MK, lanjut Denny, berpandangan apa yang dilakukannya merupakan persoalan etik. Namun menurutnya, apa yang ia lakukan merupakan bagian dari advokasi publik.

"Apakah ini ada pelanggaran etik atau tidak, bukan saya yang menilai. Saya menganggap ini bagian dari advokasi publik, kalau nanti dilaporkan ke organisasi advokat saya, nanti biar direspons oleh organisasi," ujar Denny.

MK dalam putusannya menolak permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka. Dengan putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, maka pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap hakim ketua Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6).

Mahkamah mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilu. Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan dalam setiap sistem pemilu terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya.

Saldi Isra menuturkan, menurut mahkamah, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.

Putusan ini diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim, yaitu hakim konstitusi Arief Hidayat. Arief berpendapat sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini diterapkan harus dievaluasi dan diperbaiki.

Menurutnya, perlu ada peralihan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas.

"Setelah lima kali penyelenggaraan pemilu, diperlukan evaluasi, perbaikan, dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan, yakni pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. Peralihan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan," kata Arief.

Ia menuturkan dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis didasarkan pada demokrasi yang rapuh.

Ia menilai permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, karena itu harus dikabulkan sebagian. Dalam pandangannya, Arief mengatakan peralihan ke sistem proporsional terbuka terbatas bisa dimulai di 2029 agar tidak mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang saat ini sudah berjalan.

"Agar tahapan Pemilu 2024 yang sudah dimulai tak terganggu dan untuk menyiapkan instrumen serta perangkat regulasi yang memadai, maka pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas dilaksanakan pada Pemilu 2029," kata Arief.

"Menimbang dari keseluruhan uraian pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, karenanya harus dikabulkan sebagian," ucapnya.(tribun network/riz/yud/mar/git/dod)

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved