Tiga Asosiasi Pengembang Perumahan Desak Kenaikan Harga Rumah Subsidi
Sejak 2020 tidak ada kenaikan harga rumah subsidi, pengembang malah dituntut meningkatkan kualitas rumah yang persyaratannya terlalu teknis.
WARTAKOTALIVE.COM — Tiga asosiasi pengembang perumahan sebagai pemasok terbesar rumah subsidi di Indonesia menyesalkan sikap pemerintah yang terus menunda penyesuaian harga jual rumah subsidi, namun justru membuat banyak regulasi baru.
Ketiga asosiasi pengembang perumahan tersebut yakni Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) serta Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra).
Hal itu terungkap pada diskusi bertajuk “Akhir Cerita Program Sejuta Rumah?” yang digelar Indonesia Housing Creative Forum (IHCF) bersama Real Estat Editors Community (RE2C) di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Wakil Ketua Umum DPP REI, Maria Nelly Suryani menegaskan selama masih ada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan Pemerintah Indonesia memiliki keberpihakan kepada MBR, maka Program Sejuta Rumah (PSR) terutama penyediaan rumah bersubsidi seharusnya dapat terus berkelanjutan.
Menurutnya, pengembang juga masih berkomitmen tinggi untuk membantu tugas pemerintah dalam “merumahkan” MBR.
Namun pembangunan rumah bersubsidi yang berbasis pada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) saat ini mengalami berbagai masalah.
Baca juga: Bareskrim Polri Sita Senjata Airsoft Gun, Magazin, Peluru dll Saat Geledah Dua Rumah Dito Mahendra
Baca juga: Enzy Storia dan Maulana Kasetra Menikah Setelah Dua Tahun Tinggal Terpisah antara Indonesia dan AS
Selain tidak ada kenaikan patokan harga jual sejak 2020, pengembang malah dituntut untuk meningkatkan kualitas rumah yang persyaratannya terlalu teknis seperti halnya kontraktor.
“Tidak apa dituntut kualitas dengan spek yang tinggi asal harga berimbang. Ada barang, ada harga! Jika syarat itu tetap dipaksakan dampaknya pasti semakin banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang atau beralih ke rumah komersial,” tandas Mari Nelly Suryani,
Menurut Maria, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah saja, tetapi juga butuh bahan material.
Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan harga tersebut harus diikuti pengembang. Dia mencontohkan harga besi yang sudah naik 90 persen sejak 2020.
REI menilai, pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut.
Tapi kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga rumah subsidi tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan.
Baca juga: Soal Penerapan Hukuman Mati, Yosua Menilai Sikap Pemerintah Masih Standar Ganda
Baca juga: Anies Baswedan Hadiri Milad ke-21 PKS, Teriakan Presiden Menggema di Istora Senayan
Alih-alih menaikkan harga, kata Maria, justru peningkatan kualitas rumah dengan berbagai syarat teknis yang dipaksakan pemerintah.
Maria juga mengkritik proses harmonisasi ketentuan kenaikan harga rumah subsidi yang berbelit-belit.
Padahal, pemerintah pernah menerbitkan PMK yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 5 tahun pada 2013 dengan terukur dan jelas.
Sebagai barometer, pemerintah mengacu pada proyeksi kenaikan inflasi.
“Saat itu harmonisasi di Kemenkeu tidak serumit sekarang. Terakhir tahun 2020, dimana setelah itu harmonisasi harga rumah subsidi ditetapkan setiap tahun. Seharusnya, bagaimana pun kondisi negara tetap rumah itu kebutuhan dasar,” katanya.
Penegasan senada juga disampaikan Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah.
Baca juga: Molen Kasetra Suami Enzy Storia, Seorang Diplomat Muda, Ini Dia Profilnya!
Baca juga: VIDEO Sekjen Nasdem Jadi Tersangka Korupsi Rp 8 T, Amien Rais Minta Surya Paloh Pukul Balik Jokowi
Menurutnya, pascapandemi Covid-19 pengembang sebenarnya cukup bersemangat untuk kembali membangun rumah subsidi.
Tetapi harga material dan tanah yang semakin melambung tinggi tanpa ada penyesuaian harga jual membuat banyak pengembang kesulitan.
“Situasi ini sangat memberatkan pengembang. Akibatnya banyak pengembang sudah beralih meninggalkan rumah bersubsidi. Karena untuk membangun kembali sudah sulit terutama akibat harga bahan material yang sudah naik berlipat-lipat kali,” ungkapnya.
Apersi meminta keseriusan dan perhatian pemerintah terhadap program rumah bersubsidi ini dengan menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah, MBR, pengembang dan perbankan.
Dikatakan Junaidi Abdillah, banyak masyarakat yang masih butuh rumah. Namun jika pengembang tidak lagi mau memproduksi maka MBR akan dirugikan.
Sebenarnya, pemerintah tidak perlu “menguji” pengembang setiap tahun dengan tarik ulur penyesuaian harga jual.
Baca juga: Enzy Storia dan Maulana Kasetra Menikah, Hassan Wirajuda dan Vincent Rompies Jadi Saksi Akad Nikah
Baca juga: Tingkatkan Pasar Global Jadi Langkah Strategis PI Niaga , Hilman Taufik: Fokus Trading dan Logistik
Hal itu karena inflasi pasti terjadi setiap tahun, sehingga penyesuaian kenaikan dapat mengacu pada besaran inflasi.
Lewat cara itu, pengembang tidak harus pusing menunggu-nunggu peraturan menteri keuangan atau keputusan menteri seperti sekarang ini.
Pemerintah juga tidak perlu pusing melakukan pembahasan dan proses harmonisasi yang sangat panjang lebar seperti ini.
“Atau memang pemerintah menunggu banyak pengembang bertumbangan? Sudah harga tidak naik, malah ada aturan-aturan yang banyak sekali. Kami sepakat kualitas harus ditingkatkan, tapi harga ayo disesuaikan. Kalau harga kedelai naik, pasti harga tahu pun naik,” sebut Junaidi Abdillah.
Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja juga menyoroti soal penurunan pasokan rumah bersubsidi di awal tahun ini berdasarkan informasi dari BP Tapera jadi berkurang dari target sehingga mempengaruhi realisasi KPR bersubsidi.
“Terakhir, kami asosiasi pengembang justru diminta menandatangani perjanjian soal peningkatan kualitas rumah. Kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6-7 persen atau kalau bisa 10 persen. Dengan begitu kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” tegas Endang Kawidjaja.
Baca juga: Ilmu Penting Try Sutrisno untuk Muhaimin Iskandar, Pemimpin Benar Harus Pintar, Bersih, Bertaqwa
Baca juga: Enzy Storia Menikah dan Melepaskan Status Lajang Bersama Molen Kasetra yang Bekerja Sebagai Diplomat
Dia menyebutkan, segmen rumah subsidi membutuhkan aturan khusus yang mengikat dari hulu ke hilir, dari suplai hingga pembiayaan kepada konsumen.
Menurut Endang, PP No 64 tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah memiliki spirit yang baik dalam pelaksanaan pembangunan rumah subsidi.
Tetapi semangat itu hilang usai terbitnya PP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
“Dengan adanya kedua regulasi tersebut, tidak ada lagi kekhususan. Banyak aturan, tapi kurang spesifik. Kami mendesak adanya penerus PP 64/2016 yang secara khusus memprioritaskan pembangunan,” kata Endang Kawidjaja.
Dia mencontohkan aturan di Permen LHK No 4 tahun 2021 terkait Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) dimana tidak jelas batasan luas lahan perumahan yang harus memiliki Amdal.
Padahal dalam PP 64/2016 cukup jelas bahwa untuk lahan di bawah 5 hektar cukup pernyataan saja, 5-25 hektar cukup UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dan di atas 25 hektar baru diwajibkan mengantongi Amdal.
Baca juga: Sukses Raih 3 Medali di SEA Games 2023 Kamboja, Anak Tukang Bubur di Karawang Berharap Bisa Jadi PNS
Baca juga: Enzy Storia dan Molen Kasetra Menikah, Pamerkan Bahagia, Cincin hingga Buku Nikah di Media Sosial
Sementara berdasarkan permen, semua jenis perumahan mendapat perlakuan sama termasuk rumah sederhana subsidi yang memiliki luas hanya 5 hektar.
“Butuh regulasi yang seperti PP 64/2016 atau penerusnya yang jelas mengatur apa saja syarat untuk membangun rumah subsidi. Yang simple dan tidak multitafsir,” kata Endang Kawidjaja.
Maria juga sependapat bahwa PP 64/2016 adalah aturan yang sudah bagus termasuk aturan turunannya yakni Permendagri Nomor 55 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Perizinan dan Non-perizinan Pembangunan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Daerah.
“Itu saja dilanjutkan karena detail sekali termasuk untuk perizinan di daerah. Namun pasca UU Cipta Kerja enggak tahu bagaimana jadi lebih banyak peraturan yang berbenturan,” ungkapnya.
MBR Dirugikan
Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia itu sepakat bahwa penundaan penyesuaian harga rumah subsidi pada akhirnya akan merugikan konsumen yakni MBR.
“Yang kami khawatirkan justru dampaknya kepada MBR. Kalau harga tidak naik dan pengembang terus dihantam oleh aturan yang banyak, maka banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang dan berkurang. Ini yang rugi ya MBR karena suplai dan pilihannya menjadi sedikit,” ujar Endang Kawidjaja.
Baca juga: Milad ke-21 PKS, Ribuan Kader dan Simpatisan Koalisi Perubahan Padati Istora Senayan
Baca juga: Kejutan dari Enzy Storia dan Molen Kasetra, Melangsungkan Pernikahan Hari Ini!
Pendapat senada dikatakan Maria. Menurutnya, MBR tetap akan dirugikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih dan memiliki rumah.
Sementara rumah merupakan kebutuhan dasar manusia. Penyediaan rumah juga merupakan kewajiban pemerintah, sedangkan pengembang hanya membantu.
“Mohon dipertimbangkan situasi pengembang termasuk jangan terus menerbitkan aturan yang seperti air hujan yang turun deras,” pungkas Maria.
Junaidi Abdillah mengatakan saat ini memang banyak pengembang yang mengubah rumah subsidi menjadi rumah komersial.
Hal itu karena mereka lelah disuruh menunggu harga baru dan ditambah lagi dengan berbagai aturan yang menyulitkan.
“Tapi efeknya akan dirasakan masyarakat juga karena angsuran KPR-nya menjadi lebih mahal,” sebutnya.
Baca juga: Lebaran Betawi Digelar Bertujuan untuk Silaturahmi Warga dan Melestarikan Budaya Betawi
Baca juga: Lebaran Betawi di Monas Dikeluhkan Pengunjung, Waktu Pelaksanaannya Enggak Jelas
Junaidi Abdillah menyebut bahwa per Mei 2023, data real time Apersi menunjukkan anggotanya sudah bersiap membangun 170.000 unit rumah subsidi dan 46.957 rumah komersil.
Hal itu berdasarkan data site plan yang dikirimkan anggota Apersi dari Aceh hingga Papua.
Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, unit rumah komersial yang siap dibangun hanya di kisaran 19.000 unit.
“Artinya ada pergeseran minat pengembang, yang tadinya membangun rumah subsidi, akhirnya pilih membangun rumah komersil,” ungkapnya.
asosiasi pengembang perumahan
rumah subsidi
penyesuaian harga jual
Realestat Indonesia (REI)
Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakya
Maria Nelly Suryani
Junaidi Abdillah
Endang Kawidjaja
| Banyak Warga Gagal Beli Rumah Subsidi karena Paylater, Menteri Ara Usulkan Purbaya Putihan |
|
|---|
| Kabupaten Bekasi Toreh Prestasi di Bidang Perumahan, Realisasikan 9.537 Unit KPR Rumah Subsidi |
|
|---|
| 26.000 KPR Subsidi di Cileungsi Diresmikan Presiden, Ini Harapan Rudy Susmanto |
|
|---|
| Dihujat Soal Rumah Subsidi Mungil, Maruarar Sirait Bilang Testing The Water |
|
|---|
| Gandeng BJB, BP Tapera, Pemkab Bogor Tawarkan Rumah Subsidi bagi ASN dan Pekerja |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/Asosiasi-20-Mei.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.