Polisi Tembak Polisi
Divisi Propam Polri Sedang Susun Komisi Kode Etik untuk Sidang Bharada E dan Bripka Ricky Rizal
Brigadir Yoshua Hutabarat alias Brigadir J menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Penulis: Ramadhan L Q | Editor: Feryanto Hadi
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Ramadhan L Q
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuturkan, Divisi Propam Polri sedang menyusun komisi kode etik untuk sidang etik Richard Eliezer alias Bharada E dan Bripka Ricky Rizal.
"Tentunya Pak Kadiv Propam dan tim saat ini sedang menyusun komisi kode etik," ujar Listyo, kepada wartawan, Selasa (21/2/2023).
Ia menyebut, pihaknya akan mempertimbangkan aspek-aspek terkait sidang etik terhadap Richard serta Ricky Rizal.
"Maupun untuk hal-hal lain yang tentunya, semuanya akan hitung. Dan itu kewenangannya nanti ada di komisi kode etik," kata dia.
Seperti diketahui, Brigadir Yoshua Hutabarat alias Brigadir J menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Baca juga: Untuk Memenuhi Rasa Keadilan, Polri Libatkan Kompolnas saat Sidang Kode Etik Nasib Bharada E
Brigadir J ditembak di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Brigadir J.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Bharada E Dinilai Layak Jadi Polisi Lagi
Peneliti ASA Indonesia Institute yang juga Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan tidak perlu dipertanyakan apakah Bharada E atau Richard Eliezer layak melanjutkan kariernya di Polri.
Menurutnya yang jadi masalah adalah pada Polri, yakni seberapa siap menerima kembali Bharada E atau Eliezer.
"Pertanyaannya bukan apakah Eliezer layak melanjutkan karirnya Polri? Jelas layak. Sebagai justice collaborator, yang sebangun dengan whistleblower, Eliezer sudah tunjukkan betapa ketaatan pada kebenaran lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang," kata Reza kepada Wartakotalive.com, Senin (20/2/2023).
Dengan mentalitas seperti itu, kata Reza, Eliezer layak dipandang sebagai aset. Bukan sebagai musuh.
"Masalahnya justru pada Polri. Yakni, seberapa siap Polri menerima kembali Eliezer?," katanya.
Jawabannya, menurut Reza, tergantung pada dua hal.
Baca juga: TAMPAK Cabut Laporan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Terhadap Bharada E
"Pertama, apakah Polri punya sistem pengembangan karir bagi personel dengan karakteristik seperti Eliezer?," ujarnya.
Artinya, kata Reza, profesionalisme Eliezer harus terus dikembangkan.
"Tapi ada pemahaman bahwa Eliezer pernah divonis bersalah terkait pasal 340 KUHP. Hukuman berupa masa pemenjaraannya memang ringan, cuma 1 tahun 6 bulan. Tapi hukuman itu dijatuhkan terkait pembunuhan berencana, dan itu sangat serius," katanya.
Baca juga: Masih Ada Ancaman Terhadap Bharada E Setelah Divonis 1 Tahun 6 Bulan Penjara, Begini Penjelasan LPSK
Terhadap anggota Polri yang pernah melakukan tindak pidana, menurut Reza, tentu Polri berkepentingan besar untuk memastikan Eliezer tidak menjadi residivis.
"Baik residivisme atas perbuatan yang sama maupun residivisme terkait pidana lainnya," ujar Reza.
"Jadi, di samping pengembangan profesionalisme, Polri juga harus melakukan risk assessment dan rehabilitasi terhadap Eliezer," tambah Reza.
Baca juga: Terima Permohonan Maaf Bharada E, Rynecke Pudihang Berterima Kasih kepada Keluarga Besar Brigadir J
Kedua, kata Reza, apakah Polri punya sistem untuk melindungi Eliezer dari kemungkinan serangan pihak-pihak yang barangkali tidak senang dengan sepak terjang Eliezer?
"Artinya, apakah Polri nyaman menerima seorang justice collaborator alias whistleblower? Eliezer memperlihatkan bagaimana dia pada akhirnya bukanlah personel yang bisa didikte untuk menyembunyikan penyimpangan, lebih-lebih penyimpangan yang dilakukan oleh senior bahkan jenderal sekalipun. Tidakkah itu bisa dipandang berpotensi mengganggu jiwa korsa Polri?" katanya.
Jadi, menurut Reza, sekembalinya Eliezer nanti, Polri memang perlu membudayakan whistleblowing di internal korps Tribrata.
"Sekaligus Polri harus menjamin bahwa Eliezer dan para whistleblower lainnya terhindar dari viktimisasi," katanya.
Tertutup
Sementara itu pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan bahwa sebenarnya peluang Bharada E atau Richard Eliezer kembali menjadi polisi sudah tertutup.
Menurut Bambang, hal itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Merujuk pada PP Nomor 1 Tahun 2003, peluang kembali menjadi anggota Polri maupun PNS Polri untuk seorang anggota yang sudah divonis pidana itu sudah tertutup,” kata Bambang saat dihubungi, Sabtu (18/2/2023).
Baca juga: Mahfud MD Ungkap Alasan Tepuk Tangan Saat Vonis Bharada E, Terkejut Masih Ada Hakim Pemberani
Bharada E merupakan salah satu terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dalam perkara itu, Richard menembak Yosua atas perintah dari atasannya yaitu Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Bharada E kemudian dinyatakan bersalah dan divonis ringan hanya 1 tahun 6 bulan penjara karena ia menjadi justice collaborator atau pengungkap fakta.
Bambang berpandangan tindakan Richard Eliezer yang memilih patuh kepada atasannya yang salah itu, masuk dalam katagori bentuk ketidakprofesionalan.
“Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional,” kata dia.
Baca juga: Datangi Rutan Bareskrim, Ibu Bharada E Berharap Anaknya Bisa Kembali Bertugas di Satuan Brimob
Menurut Bambang tindakan yang dilakukan Bharada E atau Richard dapat menjadi pembelajaran agar anggota polisi lainnya untuk patuh kepada peraturan, bukan hanya kepada perintah atasan.
“Ini harus menjadi pelajaran semua personel Polri, dalam kondisi bukan perang, atau di medan operasi keamanan agar tegak lurus pada aturan bukan pada perintah atasan,” ujar Bambang.
Selain itu, menurut Bambang, pilihan Richard Eliezer yang menjadi justice collaborator atau saksi pelaku tidak akan sia-sia karena akan dicatat dalam sejarah. Namun, ia menekankan, agar publik bisa membedakan empati terhadap Richard dengan upaya perbaikan Polri.
“Publik harus bisa membedakan empati pada Eliezer sebagai manusia dengan upaya perbaikan institusi Polri,” tutur dia.
Seperti diketahui Bharada E divonis satu tahun enam bulan penjara atas kasus kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Vonis terhadap Richard ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan. Jaksa sebelumnya menuntut Bharada Richard Eliezer dengan pidana 12 tahun penjara.
Beberapa hal yang meringankan Bharada E adalah statusnya sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku serta adannya permintaan maaf keluarga korban kepada Richard.
Baca juga: Kejagung Tak Ajukan Banding Atas Vonis Bharada E, Ronny Talapessy: Ini Mukjizat, Terimakasih
Vonis Richard juga sudah bisa dikatakan inkrah atau berkekuatan hukum tetap, lantaran pihak kuasa hukum Bharada E dan kejaksaan tidak melayangkan banding atas vonis hakim.
Dalam kasus pembunuhan berencana Yosua, Richard Eliezer menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi dan rekan sesama ajudan, Ricky Rizal atau Bripka RR.
Asisten rumah tangga (ART) sekaligus sopir keluarga Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf turut menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Terdakwa lainnya juga sudah divonis. Ferdy Sambo divonis hukuman mati, Putri Candrawathi divonis pidana 20 tahun penjara, Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun penjara, dan Ricky Rizal dijatuhi pidana 13 tahun penjara.(bum)
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News
AKP Dadang Iskandar Dipecat Tidak Hormat, Tak Dapat Pensiun, Terancam Hukuman Mati |
![]() |
---|
Buntut Polisi Tembak Polisi, Polri Evaluasi Soal Senjata Api Dipimpin Irwasum Irjen Dedi Prasetyo |
![]() |
---|
AKP Dadang Iskandar Resmi Dipecat, Irwasum Tegaskan Komitmen Polri Tidak Toleransi |
![]() |
---|
Raut Wajah AKP Dadang Iskandar Usai Resmi Dipecat Dalam Sidang Etik di Mabes Polri |
![]() |
---|
Mantan Kabareskrim Ungkap Dugaan Alasan Penembakan AKP Dadang, Ada Unsur Ketidakpercayaan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.