UU Perkawinan
UU Perkawinan Digugat Ke MK Oleh Pemohon yang Batal Nikah Beda Agama Setelah Jalin Hubungan 3 Tahun
E Ramos Petege memohonkan pengujian Uu Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Uu Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No 1 1974.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - E Ramos Petege memohonkan pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena batal nikah dengan calon pasangannya yang berbeda agama.
Kuasa hukum Ramos, Ni Komang Tari Padmawati, mengatakan bahwa kliennya merupakan seorang WNI beragama Katolik dengan calon pasangan seorang wanita beragama Islam.
Namun, menurut Tari, setelah menjalin hubungan selama tiga tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, tetapi perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Tari berujar bahwa hal tersebut karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda, sementara UU Perkwainan tidak memberikan ketegasan serta kejelasan pengaturan terhadap dua agama ataupun kepercayaan berbeda yang hendak melakukan perkawinan.
Sehingga, Tari berujar, kegagalan dari perkawinan tersebut juga terjadi karena ada intervensi antar golongan yang diakomodir negara melalui UU Perkawinan.
Baca juga: Alasan Sandra Dewi Putus dengan Pacar Beda Agama, Nggak Ada Dia Gue Bisa Hidup, Nggak Ada Tuhan?
Baca juga: Sepanjang Tahun 2021 Mahkamah Konstitusi Telah Menyelesaikan 253 dari 277 Perkara yang Ditangani
Baca juga: Pemerintah Ngotot Berlakukan UU Cipta Kerja, Gekarnas Ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Hal tersebut disampaikannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 24/PUU-XX/2022 di MK yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (16/3/2022).
"Oleh karena itu, maka pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian Undang-Undang dalam perkara ini karena telah memenuhi ketentuan untuk menjadi pemohon sesuai dengan ketentuan yang berlaku," terang Tari.
Ia melanjutkan, pengujian UU perkawinan sejatinya telah dilakukan beberapa kali khususnya pengujian terhadap ketentuan pasal 2 ayat 1.
Akan tetapi, kata dia, permohonan yang diajukan kliennya bukanlah perkara ne bis ini idem karena adanya penambahan batu uji pengujian pasal 2 ayat 1 terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Batu uji yang ditanmbahkan, kata dia, ketentuan pasal 29 ayat 1 sebagai pengaturan yang menegaskan serta menjadi dasar perlindungan oleh negara terhadap hak kebebasan beragama masyarakat Indonesia.
BERITA VIDEO: Viral Wanita Bakar Bendera Merah Putih di Karawang
Kedua, lanjut dia, kerugian yang didalilkan oleh kliennya merupakan kerugian faktual yang sudah terjadi dan secara nyata mengakibatkan kerugian-kerugian materil di samping adanya kerugian konstitusional terhadap kliennya.
"Hal ini menyebabkan permohonan yang diajukan pemohon merupakan penjabaran konkret dari suatu kerugian konstitusional seseorang yang diakibatkan pengaturan pasal a quo dari sekian banyak kerugian konstitusional yang terjadi," tutur Tari.
Dalam pengujian tersebut, kata Tari, pihaknya mendalilkan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan telah mencederai hak konstitusionalitas kliennya yang diamanahkan oleh pasal 29 ayat 1 dan 2, 28 E ayat 1 dan 2, pasal 27 ayat 1, pasal 28 I ayat 1 dan 2, pasal 28 B ayat 1, dan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945.
Tari mengungkapkan, salah satu alasan dari permohonan tersebut yakni sebagai negara yang berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa negara juga semestinya dapat nemisahkan sebagaimana dimaksud permasalahan agama dan negara.
Intervensi negara dalam urusan keagamaan, lanjut dia, hanyalah sebatas lingkup administrasi yang berkaitan dengan fasilitas, sarana, dan pra sarana dan bukan pada materi atau substansi agama tersebut.
Mengutip pernyataan Ir Soekarno, ia mengatakan, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi sehigga hendaknya menjadi tanggung jawab pribadi dan bukan negara atau pemerintah.
Ia mengatakan ketentuan pada pasal 2 ayat 1 khususnya frasa "hukum masing-masing agama dan kepercayaan", menimbulkan adanya multitafsir.
Tafsir pertama yakni perkawinan beda agama diperkenankan sepanjang mengikuti tata cara yang diatur salah satu hukum agama atau kepercayaan yang dianut oleh masing-masing calon pasangan atau melaksanakan perkawinan menurut kedua hukum agama atau kepercayaan yang dianut calon pasangan.
"Tafsiran kedua yakni perkawinan dilangsungkan harus dengan yang memiliki agama atau kepercayaan yang sama," ucap Tari.
Kuasa hukum Ramos, Dixon Sanjaya, membacakan empat petitum yang dimohonkan kliennya.
Pertama, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Kedua, menyatakan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak lagi relevan dalam mengakomodir kebutuhan penegakan hak asasi manusia masyarakat Indonesia seperti yang diamanahkan dalam UUD 1945 khususnya dalam hal kemerdekaan untuk memeluk agama, adanya jaminan terhadap kepastian hukum, kesetaraan dan kesamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintahan, serta kewenangan individu untuk membentuk keluarga dan memiliki keturunan melalui perkawinan yang sah.
Ketiga, menyatakan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan beda agama sehingga perlu menambahkan pengaturan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat 1: perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 ayat 2: perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
Pasal 2 ayat 3: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Keempat, memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono," kata Dixon.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/suasana-sidang-pengujian-uu-tentang-perkawinan-di-mahkamah-konstitusi-rabu-1632022.jpg)