Bingung Fahri Hamzah Usulkan Fraksi di DPR Dihapus, Habiburokhman: Rakyat Pilih Orang Lewat Partai

Legislator Komisi III DPR itu mengatakan, jika tak ada fraksi di DPR, maka tak sesuai dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

KOMPAS.com/Nabilla Tashandra
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengaku bingung dengan usulan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah agar fraksi di DPR dihapuskan. 

Menurut Fahri, saat menjadi Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, dia diminta melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak masyarakat oleh partai sebelumnya, karena dipengaruhi oleh oligarki.

Baca juga: Jadi Pelaku Utama, Hakim Tolak Permohonan Justice Collaborator AKP Stepanus Robin Pattuju

"Saya sendiri memiliki yurisprundensi, makanya waktu itu saya melawan kendali partai, karena berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol."

"Ini yang mesti kita lawan ke depan," tegasnya.

Dalam sistem demokrasi, lanjutnya, anggota DPR harus menjadi wakil rakyat, bukan menjadi wakil partai politik.

Baca juga: Masuk Kategori Terapi, Izin Penggunaan Darurat Vaksin Nusantara untuk Booster Bukan Wewenang BPOM

Menurutnya, jika pandangan seperti itu terus dipertahankan, maka akan membahayakan.

Fahri menilai hal tersebut terjadi lantaran adanya kekeliruan paradigmatik yang memandang apa peran partai politik dalam fraksi.

"Ketika kita sudah memilih sistem demokrasi, mau tidak mau maka kita harus memurnikan demokrasi itu."

Baca juga: Sekjen MUI: Vaksin Halal Sangat Penting untuk Hindari Penolakan Masyarakat.

"Tidak saja sebagai nilai-nilai luhur, tetapi juga dalam sistem pemilu dan sistem perwakilan kita," paparnya.

Keberadaan fraksi, jelas Fahri, akhirnya memunculkan sekelompok orang di balik layar yang terlihat menyetir parlemen.

Akibatnya, hubungan antara eksekutif dengan legislatif menjadi tidak sehat dan bisa menginvasi yudikatif.

Baca juga: Wajibkan PNS Ikut Diklat Bela Negara, Tjahjo Kumolo: Masih Banyak Tidak Pro Pancasila

"Fraksi ini sebenarnya ada dalam tradisi totaliter seperti dalam tradisi negara komunis."

"Di tradisi demokrasi, perannya negara totaliter itu, ya partai politik adalah negara itu sendiri."

"Makanya hampir tidak ada jarak dengan partai politik dengan jabatan publik."

"Artinya sehari-hari mereka lebih tampak sebagai wakil partai politik, karena itulah reformasi politik perlu dilakukan," ulas Fahri. (Reza Deni)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved