10 Siswa SPN Batam di Sel dan Leher Dirantai, Pemprov Kepri Bentuk Tim Khusus

Tim Pemantauan gabungan kasus Batam terdiri dari unsur Itjen Kemendikbud Ristek, KPAI, dan masyarakat sipil diwakili Maarif Institute.

Istimewa
Tim pemantauan gabungan bahas kasus kekerasan di SPN Penerbangan Batam 

Sepuluh foto menampakan gambar ada 4 anak di dalam ruangan tahanan yang sempit, beralaskan karpet berwarna biru dan ada 1 dipan dengan Kasur yang tidak diberi alas.

"Anak-anak tampak bertelanjang dada karena ruangan sempit di lantai atas pastilah sangat panas. Dari video yang kami terima, wajah keempat anak terlihat tertekan dan tak banyak bicara. Jika ditanya hanya menjawab singkat," kata Retno.

"Rekaman video yang kami dapatkan, merekam kejadian ketika anak-anak tersebut dibebaskan oleh pihak Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau. Terdengar suara yang diduga pejabat Dinas pendidikan yang disebut sebagai pak Kabid (Kepala Bidang), yang tampak marah karena penahanan tersebut dianggap tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia," papar Retno.

Lalu tambah Retno, ada 4 foto lagi yang belakangan diterima pihaknya dan terbilang sadis.

"Menurut informasi yang kami terima, peristiwa dalam foto tersebut terjadi sekitar tahun 2020. Dalam 2 foto tergambar 2 anak yang tangannya di borgol sebelah. sehingga keduanya harus terus berdekatan karena diikat dengan satu borgol masing-masing tangannya kanan dan kiri. Lebih mengenaskan lagi, salah satu anak juga dirantai lehernya seperti binatang”, ungkap Retno.

Retno menambahkan pada 2 foto lagi terlihat 3 anak laki-laki sedang berdiri di baik jeruji sel tahanan yang diduga adalah sel tahanan yang berada di SPN Dirgantara. "Ketiganya bahkan menggunakan seragam seperti tahanan, berwarna oranye," katanya.

“KPAI mengecam segala bentuk kekerasan di satuan pendidikan, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik. Lembaga pendidikan seharusnya menyemai nilai-nilai demokrasi dan penghargaan atas hak asasi manusia. Segala bentuk kekerasan atas nama mendisiplinkan seharusnya tidak boleh dilakukan," tegas Retno.

Retno menjelaskan pengawasan langsung pihaknya ke Batam dilakukan pada 16-19 November 2021.

Pada hari pertama, tim gabungan langsung melakukan pertemuan dengan sejumlah orangtua dan peserta didik yang mengalami kekerasan fisik dan di penjara dalam sel tahanan sekolah di lantai empat.

Pada hari kedua, tim gabungan melakukan pengawasan langsung ke SMK/SPN Dirgantara yang merupakan Rumah Toko (Ruko).

"Kalau berdasarkan Standar sarana prasarana pendidikan, semestinya gedung sekolah tidak diperkenankan berada di Ruko. Pada tahun 2018. Saat KPAI mendatangi SPN Dirgantara, sel tahanan berada di lantai dasar dan saat kedatangan KPAI dan Kompolnas, sel tersebut sudah dibongkar. Namun, sel serupa kemudian dibangun kembali di lantai 4 gedung sekolah," ujarnya.

Hasil pengawasan kata Retno membuktikan bahwa sel tahanan di lantai 4 gedung SMK Swasta Dirgantara atau SPN Penerbangan kota Batam benar adanya.

Sel tersebut luasnya hanya sekitar 3x2 meter persegi. Kondisi ruangan pengap, lubang udara hanya sekitar 15 cm, diteralis besi.

Sel pernah diisi 10 anak sekaligus, sehingga saat tidur seluruh anak harus berdesak-desakan dengan sirkulasi udara yang sangat buruk bagi kesehatan anak-anak.

"Dalam sel tahanan ada kamar mandi tanpa pintu. Ada kisah 2 anak yang diborgol tangannya sebelahan (masing-masing diborgol hanya 1 sebelah tangannya), sehingga, ketika mandi atau buang air besar maupun kecil, harus bersama-sama," katanya.

Sel tahanan di teralis dari pintu (ditutup triplek) maupun atap, hal ini sangat berbahaya jika terjadi kebakaran, anak-anak yang sedang dalam sel pastilah tidak akan selamat nyawanya. 

"Saat masuk ke kelas-kelas, kami menemukan ada 2 ruang kelas tanpa kursi dan meja untuk belajar, pihak sekolah beralasan bahwa kursi dan meja sedang diangkut ke ruang aula (ruang belajar besar), karena malam hari sebelumnya ada seminar di ruang aula. Hal ini mengindikasi bahwa sarana dan prasarana pembelajaran tidak sesuai dengan standar sarana dan prasarana pendidikan," papar Retno.

Sebagian pendidik yang mengajar katanya juga tidak sesuai dengan standar nasional pendidik dan tenaga kependidikan, karena saat tim gabungan masuk ke salah satu kelas, sang guru sedang mengajar “human error dalam penerbangan pesawat”, namun yang memberikan materi berlatar belakang Strata 1 jurusan tarbiyah alias sarjana agama Islam.

"Si guru mengaku mengajar bidang studi Bahasa Indonesia, namun dalam daftar susunan guru tertera mampu memberi pelajaran agama," katanya.

Tim gabungan kata Retno juga memasuki ruang-ruang asrama yang bebentuk barak disi 40 anak dengan hanya satu kamar mandi pada lantai tersebut.

Tempat tidur sebagian besar tanpa sprei dan bantal tanpa sarungnya. Ruangan tercium bau tidak enak, terutama dilantai 4 tempat menjemur pakaian dan ada kamar mandi atau tempat cuci baju. (bum)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved