10 Siswa SPN Batam di Sel dan Leher Dirantai, Pemprov Kepri Bentuk Tim Khusus
Tim Pemantauan gabungan kasus Batam terdiri dari unsur Itjen Kemendikbud Ristek, KPAI, dan masyarakat sipil diwakili Maarif Institute.
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Budi Sam Law Malau
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Inspektorat Jenderal Kemendikbud Ristek membentuk Tim Pemantauan gabungan untuk beberapa kasus kekerasan di satuan pendidikan.
Salah satunya memantau dugaan Kasus Kekerasan di SPN Dirgantara Batam, Kepulauan Riau.
Tim Pemantauan gabungan kasus Batam terdiri dari unsur Itjen Kemendikbud Ristek, KPAI, dan masyarakat sipil diwakili Maarif Institute.
Setiba di Batam, Tim gabungan langsung bertemu orangtua dan anak korban kekerasan SPN Penerbangan Batam, dan esok harinya sidak langsung ke sekolah penerbangan tersebut.
Setelah mendengarkan saksi korban dan sidak ke sekolah, maka pada Kamis (18/11) Tim Itjen Kemendikbud Ristek meminta difasilitasi FGD oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk membahas kasus kekerasan di SPN Dirgantara Batam.
Focus Group Discussion (FGD) digelar di lantai 3 ruang rapat Gedung Pemprov Kepulauan Riau.
FGD dihadiri oleh Itjen Kemendikbudristek, KPAI, Maarif Institute, LPMP Provinsi Kepri, Inspektorat Provinsi Kepri, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov Kepri, Dinas Pemberdayaam Perempuan dan Perlindungan Anak Prov. Kepri, KPPAD Kota Batam, dan Pemerhati Anak Prov, Kepri.
FGD berlangsung selama 3 jam, dipimpin langsung oleh Kepala Inspektorat Provinsi Kepulauan Riau.
Baca juga: Dalih Konseling, 10 Siswa SPN Dirgantara Batam Dikurung Dalam Sel, Leher Dirantai Bak Binatang
Baca juga: Data KPAI Bocor Dibobol Peretas, Pengamat Nilai Ini Yang Harus Dilakukan
Baca juga: Andira Nyanyikan Jatuh yang Sejatuhnya Setelah Menjadi Dokter, Benarkah Suaranya Mirip Raisa?
Tim Itjen Kemendikbud Ristek mengapresiasi Pemprov Kepri yang sangat responsif dan terbuka dalam menangani dugaan Kasus Kekerasan di SPN Dirgantara Batam.
"Hal ini memudahkan proses penyelesaian demi kepentingan terbaik bagi anak", ujar Retno Listyarti sebagai Ketua Tim Pemantauan Itjen Kemendikbud Ristek terkait kasus Batam.
Rekomendasi
FGD kata Retno menghasilkan sejumlah rekomendasi. Yakni sebagai berikut:
Pertama, Pembentukan Tim Khusus
Disepakati pembentukan tim khusus penanganan kasus kekerasan SPN Dirgantara Batam yang terdiri dari berbagai unsur, yaitu : Inspektorat Provinsi Kepri, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Kepri, Dinas PPPA/PPKB Prov. Kepri, LPMP Prov. Kepri, KPPAD Kota Batam, dan Pemerhati Anak. KPAI dan Itjen Kemendikbud akan mendukung Tim tersebut. SK Pengangkatan tim akan ditandatangani Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Riau. Tim akan bekerja maksimal 3 minggu kedepan.
Kedua, Merumuskan Sanksi Pada Sekolah berdasarkan Hasil Audit dan Bukti Yang Diperoleh
Tim akan bertugas mengumpulkan bukti pendukung untuk menyampaikan rekomendasi kepada Gubenur Kepulauan Riau terkait pemberian sanksi kepada SPN Dirgantara sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, apalagi kasus kekerasan ini merupakan pengulangan, karena pernah terjadi pada tahun 2018. Audit dilakukan mulai dari penggunaan Dana BOS 2017 s.d.2021 sampai kelayakan sekolah berdasarkan 8 Standar Nasional Pendidikan.
Ketiga, Pemprov Kepulauan Riau Segera Bersurat Kepada LPSK
Dalam upaya melakukan Perlindungan Anak Saksi dan Anak Korban setelah melakukan pelaporan ke Polda Kepulauan Riau pada Jumat pagi (19/11), maka perlindungan keselamatan anak-anak dan keluarganya akan dimohonkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Surat akan dikirimkan pada Senin (22/11), sementara Komisioner KPAI, Retno Listyarti mendapatkan tugas berkoordinasi terlebih dahulu dengan Ketua LPSK.
Keempat, Mendukung Penuh Laporan Dugaan Pidana Oknum Polisi berinisal ED Ke Polda Kepri
Kasus pidana kekerasan terhadap anak diserahkan sepenuhnya pada Kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Dinas PPPA/PP-KB akan menugaskan psikolognya untuk mendampingi anak-anak korban melapor ke Polda Kepri pada Jumat (19/11) dan selama BAP nantinya, makanya anak-anak akan selalu di dampingi orangtua dan psikolog sesuai ketentuan dalam UU No. 11/2021 tentang Sistem peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam proses selanjutnya, anak-anak korban dapat didampingi oleh LPSK.
Kelima, Opsi Sanksi Terhadap SPN Dirgantara Batam Dari Rekomendasi Tim
Ada 4 (empat) opsi yang mengemuka dalam FGD, yang tentu saja akan ditentukan pilihan opsi tergantung pada hasil audit dan investigasi Tim Khusus Kasus SPN Dirgantara Batam yang SK pengangkatannya akan ditandatangi Setda Kepulauan Riau. Adapun keempat 0-si tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Pencabutan ijin operasional sekolah;
(2) Penghentian Dana BOS
(3) Larangan Menerima Peserta Didik Baru mulai Tahun Ajaran 2022/2023
(4) Membuka ruang Asesmen keseluruh Peserta Didik SPN Dirgantara Batam jika ingin Mutasi Ke Sekolah Lain.
Baca juga: Usung Fusion Funk, Band Tiga Mawarnih Hadirkan Lantunan Mendiang Nike Ardila
Baca juga: Ganda Putra Jepang Tak Ingin Terbawa Pola Permainan Marcus/Kevin di Final
Baca juga: Ingin Hamil Alami, Fanny Ghassani Tetap Sabar Menunggu Kehadiran Anak Setelah 4 Tahun Menikah
Sebelumnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kota Batam menerima laporan dari 10 orangtua peserta didik yang anaknya mengalami kekerasan di SPN Dirgantara Kota Batam.
Hal itu dikatakan Komisioner KPAI Retno Listyarti, Kamis (18/11/2021).
"Kekerasan yang dialami berupa pemenjaraan atau dimasukan ke dalam sel tahanan, ditampar, ditendang, dan lain-lain. Siswa yang dihukum dengan dimasukan sel tahanan bisa sampai berbulan-bulan, tergantung kesalahan yang dilakukan peserta didik," kata Retno.
“Sel tahanan menurut para orangtua pengadu di fungsikan saat ada peserta didik yang melakukan pelanggaran disiplin, di sel penjara tersebut, seorang siswa bisa dikurung berminggu-minggu bahkan berbulan tergantung kesalahannya dan dianggap sebagai konseling. Selain dikurung anak-anak juga akan mengalami hukuman fisik seperti pemukulan, bahkan ada korban yang rahangnya sampai bergeser,” ungkap Retno.
Atas pengaduan ke-10 orangtua siswa tersebut, KPAI melakukan koordinasi dengan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek untuk pengawasan dan penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan tersebut.
"Mengingat Menteri Nadiem sudah bertekad akan mencegah dan menangani tiga (3) dosa di pendidikan, yaitu Kekerasan, Kekerasan Seksual dan Intoleransi," ujarnya.
KPAI kata Retno mengapresiasi Itjen Kemendikbudristek yang merespon sangat cepat saat menerima pengaduan dari KPAI.
"Rapat koordinasi daring segera dilakukan dan sepakat untuk melakukan pengawasan langsung ke lapangan, bahkan pengawasan dilakukan tim gabungan yang terdiri dari Itjen KemendikbudRistek, KPAI, KPPAD Batam, KPPAD Provinsi Kepri dan Maarif Institute”, ujar Retno.
Pada tahun 2018, kata Retno, KPAI dan KPPAD Provinsi Kepri pernah menerima laporan kekerasan terhadap peserta didik yang dilakukan oleh pihak sekolah, yaitu SPN Dirgantara Kota Batam.
Siswa SMK Penerbangan atau SPN Dirgantara Batam RS mengaku mendapat perlakuan tidak semestinya sejak Kamis (6/9/2018).
Dia mengaku dipenjara di sekolahnya, sebelum akhirnya dijemput oleh Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepulauan Riau, pada Sabtu (8/9/2018).
“Bahkan sebelum di tahan dalam sel sekolah, RS yang hendak naik pesawat dari Bandara Hang Nadim hendak menuju Surabaya (Jawa Timur) di tangkap Pembina SPN Penerbangan Batam berinisial ED dengan tangan di Borgol dan kemudian dimasukan sel tahanan di sekolah, dan mengalami kekerasan fisik (berjalan jongkok di aspal panas sehingga lutut melepuh)”, ungkap Retno.
Pada saat peristiwa tahun 2018, KPAI, KPAD, Kompolnas dan Polres Batam bersama-sama mendatangi lokasi sekolah keesokan harinya.
Saat tiba di sekolah, ternyata ruang sel tahanan di sekolah yang berada di lantai satu sudah di bongkar, bahkan ruangan telah disulap nyaman dengan memasang AC.
Sebelumnya, Kompolnas juga bertemu Wakapolda Kepri terkait dorongan untuk pemeriksaan terhadap oknum polisi ED (Pembina SPN Dirgantara) dan penegakan disiplin jika terbukti bersalah.
“KPAI mendapatkan keterangan dari Propam Polda Kepulauan Riau bahwa ED kemudian di proses hukum di Pengadilan Negeri dengan pidana 1 tahun penjara dan sanksi etik berupa demosi atau dipindah tugaskan ke Pulau Natuna,” cerita Retno.
Namun, pada Oktober 2021 kasus serupa kembali terjadi dan kali ini korbannya sebanyak 10 peserta didik.
Baca juga: Pradikta Wicaksono Baru Tahu Febby Rastanty Pintar Melawak
Baca juga: Pengakuan Pedagang Yang Dimintai Iuran Oleh Ketua RW di Tangerang: Dulu Gak Pernah, Baru Ini Saja
Baca juga: Viral Seruan Jihad Melawan Densus 88, Polres Tangsel Tingkatkan Pengamanan dan Terapkan Body Sistem
Kesepuluh orangtua sempat melapor ke Dinas Pendidikan Provinsi Kepri dan juga membuat pengaduan ke KPAD Kota Batam.
“Pihak Disdik Provinsi Kepri datang ke sekolah dan memerintahkan anak-anak dilepaskan dan dikembalikan ke orangtuanya pada hari itu juga. Hal ini mengindikasi bahwa pihak Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau telah mengetahui pemenjaraan dan kekerasan yang diterima oleh sejumlah peserta didik di SPN Dirgantara. Namun, sama sekali tidak memberikan sanksi pada sekolah sehingga tidak ada efek jera”, tambah Retno.
Leher Dirantai Seperti Binatang
Pada kasus terbaru ini, KPAI dan KPPAD Batam menerima bukti 1 video dan 15 foto yang diduga merupakan peserta didik di SPN Dirgantara Batam yang mengalami pemenjaraan di sel tahanan sekolah.
"Beberapa siswa ada yang tidak diikat, dan ada 2 peserta didik yang dirantai di leher dan di tangan," ujar Retno.
Sepuluh foto menampakan gambar ada 4 anak di dalam ruangan tahanan yang sempit, beralaskan karpet berwarna biru dan ada 1 dipan dengan Kasur yang tidak diberi alas.
"Anak-anak tampak bertelanjang dada karena ruangan sempit di lantai atas pastilah sangat panas. Dari video yang kami terima, wajah keempat anak terlihat tertekan dan tak banyak bicara. Jika ditanya hanya menjawab singkat," kata Retno.
"Rekaman video yang kami dapatkan, merekam kejadian ketika anak-anak tersebut dibebaskan oleh pihak Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau. Terdengar suara yang diduga pejabat Dinas pendidikan yang disebut sebagai pak Kabid (Kepala Bidang), yang tampak marah karena penahanan tersebut dianggap tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia," papar Retno.
Lalu tambah Retno, ada 4 foto lagi yang belakangan diterima pihaknya dan terbilang sadis.
"Menurut informasi yang kami terima, peristiwa dalam foto tersebut terjadi sekitar tahun 2020. Dalam 2 foto tergambar 2 anak yang tangannya di borgol sebelah. sehingga keduanya harus terus berdekatan karena diikat dengan satu borgol masing-masing tangannya kanan dan kiri. Lebih mengenaskan lagi, salah satu anak juga dirantai lehernya seperti binatang”, ungkap Retno.
Retno menambahkan pada 2 foto lagi terlihat 3 anak laki-laki sedang berdiri di baik jeruji sel tahanan yang diduga adalah sel tahanan yang berada di SPN Dirgantara. "Ketiganya bahkan menggunakan seragam seperti tahanan, berwarna oranye," katanya.
“KPAI mengecam segala bentuk kekerasan di satuan pendidikan, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik. Lembaga pendidikan seharusnya menyemai nilai-nilai demokrasi dan penghargaan atas hak asasi manusia. Segala bentuk kekerasan atas nama mendisiplinkan seharusnya tidak boleh dilakukan," tegas Retno.
Retno menjelaskan pengawasan langsung pihaknya ke Batam dilakukan pada 16-19 November 2021.
Pada hari pertama, tim gabungan langsung melakukan pertemuan dengan sejumlah orangtua dan peserta didik yang mengalami kekerasan fisik dan di penjara dalam sel tahanan sekolah di lantai empat.
Pada hari kedua, tim gabungan melakukan pengawasan langsung ke SMK/SPN Dirgantara yang merupakan Rumah Toko (Ruko).
"Kalau berdasarkan Standar sarana prasarana pendidikan, semestinya gedung sekolah tidak diperkenankan berada di Ruko. Pada tahun 2018. Saat KPAI mendatangi SPN Dirgantara, sel tahanan berada di lantai dasar dan saat kedatangan KPAI dan Kompolnas, sel tersebut sudah dibongkar. Namun, sel serupa kemudian dibangun kembali di lantai 4 gedung sekolah," ujarnya.
Hasil pengawasan kata Retno membuktikan bahwa sel tahanan di lantai 4 gedung SMK Swasta Dirgantara atau SPN Penerbangan kota Batam benar adanya.
Sel tersebut luasnya hanya sekitar 3x2 meter persegi. Kondisi ruangan pengap, lubang udara hanya sekitar 15 cm, diteralis besi.
Sel pernah diisi 10 anak sekaligus, sehingga saat tidur seluruh anak harus berdesak-desakan dengan sirkulasi udara yang sangat buruk bagi kesehatan anak-anak.
"Dalam sel tahanan ada kamar mandi tanpa pintu. Ada kisah 2 anak yang diborgol tangannya sebelahan (masing-masing diborgol hanya 1 sebelah tangannya), sehingga, ketika mandi atau buang air besar maupun kecil, harus bersama-sama," katanya.
Sel tahanan di teralis dari pintu (ditutup triplek) maupun atap, hal ini sangat berbahaya jika terjadi kebakaran, anak-anak yang sedang dalam sel pastilah tidak akan selamat nyawanya.
"Saat masuk ke kelas-kelas, kami menemukan ada 2 ruang kelas tanpa kursi dan meja untuk belajar, pihak sekolah beralasan bahwa kursi dan meja sedang diangkut ke ruang aula (ruang belajar besar), karena malam hari sebelumnya ada seminar di ruang aula. Hal ini mengindikasi bahwa sarana dan prasarana pembelajaran tidak sesuai dengan standar sarana dan prasarana pendidikan," papar Retno.
Sebagian pendidik yang mengajar katanya juga tidak sesuai dengan standar nasional pendidik dan tenaga kependidikan, karena saat tim gabungan masuk ke salah satu kelas, sang guru sedang mengajar “human error dalam penerbangan pesawat”, namun yang memberikan materi berlatar belakang Strata 1 jurusan tarbiyah alias sarjana agama Islam.
"Si guru mengaku mengajar bidang studi Bahasa Indonesia, namun dalam daftar susunan guru tertera mampu memberi pelajaran agama," katanya.
Tim gabungan kata Retno juga memasuki ruang-ruang asrama yang bebentuk barak disi 40 anak dengan hanya satu kamar mandi pada lantai tersebut.
Tempat tidur sebagian besar tanpa sprei dan bantal tanpa sarungnya. Ruangan tercium bau tidak enak, terutama dilantai 4 tempat menjemur pakaian dan ada kamar mandi atau tempat cuci baju. (bum)