Warta Bisnis

Kemenkeu Sindir BUMN yang Tak Setor Deviden ke Negara, Justru Jadi Beban karena Terlilit Utang

Masih banyak BUMN lain bergulat dengan dirinya sendiri untuk kemudian meminta bantuan dari pemerintah. 

Editor: Feryanto Hadi
Istimewa
Rionald Silaban 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong optimalisasi peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perekonomian nasional. 

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban mengatakan, BUMN didirikan untuk memiliki tujuan membuat nilai keuangan dengan harapan negara dapat penerimaan berupa dividen, pajak, dan PNBP lainnya. 

"Hanya memang, kalau melihat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) bahwa kira-kira 80 persen dividen itu disetor 10 perusahaan BUMN," ujarnya dalam webinar, Rabu (28/4/2021). 

Baca juga: Bukan Petugas Resmi, Mafia Karantina yang Loloskan WNA India Bisa Bebas Berkeliaran di Area Bandara

Baca juga: Moeldoko Bikin Asosiasi Mobil Listrik, Faisal Basri: Itu Pemburu Rente, Anggap Saja Dia Begal

Sementara, Rionald menjelaskan, masih banyak BUMN lain bergulat dengan dirinya sendiri untuk kemudian meminta bantuan dari pemerintah. 

"Entah itu berupa PMN (penanaman modal negara) maupun kebijakan. Nah memang di Kementerian Keuangan, kinerja BUMN masih perlu ditingkatkan, realisasi setoran dividen dalam 10 tahun terakhir itu rata-rata 4,5 persen," katanya. 

Selain itu, dia menambahkan, juga terus berharap adanya manfaat sosial ekonomi dari BUMN yang dalam perjalanannya beberapa sudah memberikan kontribusi tersebut. 

Baca juga: Sri Mulyani Diingatkan Jangan Malu pada Rakyat Apalagi Sampai Sembunyikan Defisit APBN

Baca juga: Sri Mulyani Disebut Berusaha Sembunyikan Defisit APBN, Ekonom Soroti Transparansi Menkeu

"Pemerintah sudah meluncurkan program pemulihan ekonomi nasional. Kita harap bisa melindungi masyarakat sekaligus menjaga kelangsungan usaha," pungkasnya.

Said Didu bahas utang negara

Sementara itu, mantan Sekretaris BUMN, Said Didu kembali menyoroti melonjaknya jumlah hutang negara.

Ia mengungkapkan, saat ini telah terjadi peningkatan jumlah utang secara signifikan.

ia juga mengungkapkan, pemerintah mencari cara agar jumlah utang yang ada kini, masih berada di angka 60an persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Salah satunya, dengan tidak memasukkan komponen utang publik lainnya, semisal utang BUMN dan utang Bank Indonesia, sehingga angka utang yang saat ini masih terkesan aman.

Baca juga: Ibas Ucapkan Duka Atas Bencana di NTT dan NTB, Instruksikan Anggota Fraksi Demokrat Bantu Korban

Baca juga: Sekum Muhammadiyah Sayangkan Densus 88 Geledah Ponpes, Denny Siregar: Pesantren Bukan Tempat Sakral

Hal itu Said Didu sampaikan saat melakukan wawancara dengan Hersubeno Arief di akun Youtubenya.

Said Didu menerangkan, sebenarnya saat ini kondisi utang publik Indonesia sudah tidak aman lantaran sudah berada di atas 80 persen dari PDB.

"Banyak informasi yang publik harus paham. Utang publik sekarang sudah di atas 80 pesen dari PDB. Utang publik adalah utang yang apabila terjadi kegagalan, maka pemerintah sebagai negara akan mengambil alih dan membayarnya," ujar Said Didu dikutip Warta Kota pada Senin (5/4/2021).

Said Didu lantas menjelaskan apa itu utang publik.

Baca juga: Petamburan Trending Topik, Perbedaan Perlakuan Pernikahan Putri HRS dan Atta-Aurel Disorot

Baca juga: Arie Untung Soroti Beberapa Hal terkait Aksi di Mabes Polri, Ade Armando: Anehnya di Mana?

Menurutnya, utang publik terdiri dari tiga komponen, pertama utang pemerintah langsung yang saat ini sebesar Rp6,300 triliun, kemudian utang Bank Indonesia dan utang BUMN.

"Kalau dijumlah semua utang tersebut, sampai kuartal tiga 2020, jumlahnya sudah mencapai Rp12 ribu triliunan. Itu sudah 80 persen dari PDB.

Apabila ditambahkan utang di kuartal 4 tahun 2020 dan kuartal pertama 2021, perkiraan saya utang mungkin sudah mencapai sekitar Rp13,5 ribu triliun, mungkin sudah 82 atau 83 persen PDB. PDB kita terus menurun dan utang kita naik," terangnya

Said Didu menjelaskan, pemerintah 'sengaja' tidak memasukkan komponen utang BUMN dan Bank Indonesia untuk memposisikan utang di bawah 60 persen dari PDB.

"Yang selalu dikatakan pemerintah bahwa utang kita saat ini masih di bawah 60 persen PDB. Padahal sebenarnya dia tidak memasukkan utang BI dan BUMN. Kalau dimasukkan itu, sekarang sudah 82 atau 83 persen PDB.

Kenapa tidak dimasukkan, kalau dimasukkan dan terjadi apa-apa, tetap pemerintah yang harus bayar. Nah itu, teknik bersiasat kepada publik bahwa seolah-olah utang masih standar."

Baca juga: Akun Setneg Posting Prosesi Nikahan Atta-Aurel, Ernest Prakasa Geram: Apa Urusannya Sama Negara?

Baca juga: Ada Baju Bergambar Rizieq saat Rilis Terduga Teroris, Tengku Zul: Kayaknya Belum Pernah Dipakai Tuh

Ia kemudian merinci jumlah peningkatan hutan dari ketika Presiden Jokowi menjabat sebagai presiden.

Peningkatan utang terjadi dari utang pemerintah dan utang BMUN. Sebagi gambaran, utang publik di tahun 2009 hanya Rp2200 triliun, dan sekarang menjadi Rp13 ribu triliun. Nah, pada 2014 (utang) sebesar Rp5700 triliun sebagai debit awal dari pemerintahan presiden Jokowi .

Said Didu kemudian merinci jumlah utang masing-masing komponen dalam utang publik.

Dimana, saat ini pemerintah sudah naik dua kali lipat. Peningkatan utang pemerintah sejak 2014 dari Rp2600 triliun, menjadi Rp6300 triliun sekarang.

Baca juga: Arief Poyuono: Utang Indonesia Makin Menumpuk Sejak Jabatan Presiden Dua Periode

"Hampir tiga kali lipat naiknya selama enam tahun," kata dia.

Kemudian utang BUMN, ada dua cara menghitung. Ada yang memasukkan dana pihak ketiga di asuransi dan bank, ada yang tidak memasukkan.

"Jadi, jumlah utang BUMN kalau utang ke bank dihitung, jumlahnya sekitar Rp6 ribu triliun, meningkat dari tahun 2014 sebesar Rp2400 triliun. Tapi kalau komponen utang bank tidak dimasukkan, utang BUMN sekarang itu sekitar Rp2500 triliun, meningkat dari tahun 2014 yang hanya sebesar Rp500 triliun,' urainya.

Masalahnya sekarang, lanjut Said Didu, utangnya meningkat, tapi kemampuan membayarnya menurun.

"Terjadi persoalan cukup besar, karena terjadi peningkatan utang sangat besar, terjadi penurunan kemampuan membayarnya juga semakin besar."

"Untuk menutupi kebutuhan belanja 2021, pemerinah harus mencari utang Rp1600 triliun bruto. Dari angka itu, Rp470 triliun akan digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo dan Rp1006 triliun digunakan untuk belanja APBN."

Baca juga: Terlibat Bentrok Berdarah dengan Pendekar PSHT, 3 Anggota Kelompok Kupang Dilarikan ke Rumah Sakit

Said Didu menyebut, sekarang ada siasat pemerintah, mengulur pembayaran utang dalam jangka panjang atau menggeser pembayaran utang ke masa mendatang.

"Nah, ini yang perlu mahasiswa, anak muda, lihat Berapa yang ambil utang sekarang, dan akan dibebankan ke masa mendatang. Ada juga taktik siasat seperti ini. Misalnya tax amnesty, kemudian kontrak-kontrak jangka panjang. Jadi, pemerintah sekarang lepas tanggung jawab karena akan dibayar pemerintah berikutnya. Ini harus dibuka ke publik," kata dia.

Said Didu juga menyayangkan sikap DPR RI periode saat ini yang tidak cukup kritis dan terbuka dalam menghadapi persoalan utang publik, khususnya utang pemerintah.

"Biasanya hal seperti ini terbuka di DPR, tapi DPR sekarang kan nggak lagi membuka seperti itu. Kalau terbuka harusnya pemerintah harus menyampaikan kemampuan membayar pada saat utang itu habis tempo.

Jangan sampai anak cucu kita, sudah habis semua minyak, habis semua tambang, habis semua yang lain, tapi dapat beban utang yang harus dibayar," imbuhnya.

Jangan sampai, sebut Said Didu, kepala negara yang sekarang mendapat julukan sebagai "Raja yang mewariskan utang." 

"Harusnya pemerintah dan DPR membuka semua utang, tenornya, jatuh temponya kapan, supaya kita semua tahu kondisi utang Indonesia. Sekarang dengan utang jatuh tempo ditambah bunga, perkiraaan saya sudah lebih dari separuh pendapatan negara digunakan untuk membayar utang," sebutnya.

Adapun saran yang disampaikan Said Didu untuk mengatasi persoalan utang agar tidak makin membengkak adalah penghematan belanja negara, termasuk anggaran-anggaran insfrastruktur.

Baca juga: Kisruh KLB Demokrat Kelar, Andi Arief kini Minta Mahfud MD Sikapi Kasus Habib Rizieq dan Syahganda

Baca juga: Eko Kuntadhi: Tadinya FPI Hanya Sibuk dengan Sweeping, Kini Sudah Beranjak Jadi Organisasi Teror

Soal pembangunan insfrastruktur secara masif di tengah keuangan negara yang tidak cukup baik, Said Didu mengibaratkan seorang ayah yang mewariskan rumah untuk anaknya, namun sang anak tidak tahu bahwa itu sejatinya adalah mewariskan utang jangka panjang.

"Tidak ada jalan lain, harus mengurangi belanja negara."

"Saya pikir sebaiknya mulai bertobat membuat wasiat dan permohonan maaf karena mewariskan utang dan proyek mangkrak," tandasnya.

Yanuar Riezqi Yovanda

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved