Aksi Terorisme

Yenny Wahid: Radikalisme Bukan Soal Ajaran Agama, tapi Kesehatan Mental

Menurutnya, ketika seseorang merasakan kegelisahan, menjadi mudah untuk dimasuki doktrinisasi yang seolah-olah menawarkan jawaban atas kegelisahannya.

Editor: Yaspen Martinus
TRIBUNNEWS/LARASATI DYAH UTAMI
Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, bersama Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Dubes Esam Abid Al Thagafi, dan Wakil Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid, dalam peluncuran buku berjudul 'Duta Antara Dua Kutub' di Jakarta, Kamis (8/4/2021). 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA – Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation menilai faktor utama radikalisme bukanlah persoalan ajaran agama.

Pernyataan ini ia buktikan dari penelitian Wahid Foundation, di mana seseorang dapat terdorong melakukan aksi terorisme, karena terkait kesehatan mental.

“Faktor terbesar yang mendorong orang jadi radikal adalah perasaan gelisah, cemas, marah, dan adanya ketidakadilan yang dia ingin meluruskannya."

Baca juga: Daripada Koar-koar, Polri Sarankan Masyarakat Daftar Jadi Saksi di Kasus Kematian 6 Anggota FPI

"Atau juga rasa frustasi, kegelisahan dan rasa tidak percaya diri."

"Kemudian dia bertemu dengan orang-orang yang mendoktrinasi yang mengatasnamakan agama,” kata Yenny Wahid saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamus (8/4/2021).

Menurutnya, ketika seseorang merasakan kegelisahan, menjadi mudah untuk dimasuki doktrinisasi yang seolah-olah menawarkan jawaban atas kegelisahannya.

Baca juga: Tiga Polisi yang Jadi Tersangka Berada dalam Satu Mobil Saat Tembak 4 Anggota FPI Hingga Tewas

Yenny mengatakan, orang itu akan seolah-olah merasa menjadi penting, dan ketika orang yang tidak percaya diri itu mendapat peran untuk menjadi pahlawan, tawaran itu akan mereka ambil.

“Apalagi jika dasarnya seolah-olah adalah agama,” ujarnya.

Yenny berujar, doktrin tersebut bukan hanya terkait agama, namun juga bisa soal politik.

Baca juga: Kuasai Saham Mayoritas Persis, Kaesang Ingin 50 Persen Pemain Timnas Indonesia Diisi Orang Asli Solo

Hal tersebut dikarena isu politik yang berdasarkan teori konspirasi, mampu membuat orang bersikap radikal.

Seperti yang terjadi di AS, ketika Donald Trump membuat konten di medsos yang memprovokasi pengikutnya, sehingga mereka berbondong-bondong datang ke Capitol untuk melakukan penyerangan.

Pengikut yang gelisah karena merasa pemerintah baru akan membuat kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut, kemudian melakukan perbuatan radikal.

Baca juga: Ada Program JKP, Pekerja Kena PHK Bakal Dapat Uang Tunai Selama 6 Bulan

“Jadi ini bukan permasalahan agama, tapi permasalahan kegelisahan, ketidak percayaan diri, kecemasan, dan ketakutan yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok radikal tersebut,” ulasnya.

Yenny mengatakan, yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah maupun semua pihak yang ada di Indonesia terkait radikalisasi, adalah mewaspadai teroris milenial, termasuk yang ada di dalamnya adalah perempuan.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved