Buronan Kejaksaan Agung

Tanggapi Pleidoi Napoleon, Yasonna Laoly: Pencekalan Atas Permintaan Aparat, Bukan Suka-suka Kita

Politikus PDIP itu pun memberikan penjelasan mengenai prosedur tetap (protap) di Imigrasi.

Dok. Humas Kemenkumham
Menkumham Yasonna Laoly merespons penyebutan namanya dalam persidangan red notice Djoko Tjandra. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly merespons penyebutan namanya dalam persidangan red notice Djoko Tjandra.

Dalam nota pembelaan alias pleidoi, Irjen Napoleon Bonaparte menyebut Yasonna merupakan pihak yang memiliki kewenangan menghapus nama Joko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.

“Dirjen imigrasi dan Sesditjend (mantan Dirwasdakim) sudah memberi keterangan dan penjelasan tentang hal tersebut di Bareskrim dan Kejaksaan Agung,” kata Yasonna kepada wartawan, Selasa (23/2/2021).

Baca juga: Edhy Prabowo: Setiap Kebijakan Saya untuk Kepentingan Masyarakat, Kalau Dipenjara Itu Risiko

Politikus PDIP itu pun memberikan penjelasan mengenai prosedur tetap (protap) di Imigrasi.

Katanya, hak untuk mencabut pencekalan merupakan permintaan APH.

"Protap di Imigrasi itu, pencekalan maupun pencabutan pencekalan dilakukan atas permintaan APH (Aparat Penegak Hukum), bukan suka-suka kita,” jelasnya.

Baca juga: Hari Kedelapan Pospera Bagikan Sarapan, Vitamin, dan Masker Gratis, Ojol dan PPSU Ikut Antre

Penegak hukum yang dimaksud Yasonna dalam hal ini adalah Divhubinter Polri, karena Djoko Tjandra mengupayakan penghapusan DPO itu saat itu berada di luar negeri, yakni Kuala Lumpur, Malaysia.

“Kalau APH minta cekal, kita cekal, kalau minta hapus, kita hapus. Itu ketentuan hukumnya,” terangnya.

Sebelumnya, Irjen Napoleon Bonaparte menyatakan penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar Enhanced Cekal System (ECS), sepenuhnya tanggung jawab Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 Indonesia 22 Februari 2021: 1.244.215 Orang Disuntik Dosis Pertama

Sehingga, kata Napoleon, terhapusnya nama Djoko Tjandra bukan lagi tanggung jawab dirinya yang memang tak punya kewenangan tersebut.

Hal ini ia sampaikan dalam pleidoi alias nota pembelaan, atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021).

"Bahwa penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dalam sistem ECS adalah kewenangan Menkumham RI atau Dirjen Imigrasi."

Baca juga: Relawan FPI Disuruh Copot Atribut Saat Bantu Korban Banjir, Kuasa Hukumnya Ogah Ambil Pusing

"Sehingga bukan tanggung jawab terdakwa (Napoleon), karena memang terdakwa (Napoleon) tidak memiliki kewenangan itu," ujar Napoleon membacakan pleidoinya.

Atas dasar tak punya kewenangan tersebut, Napoleon mengatakan penghapusan nama Djoko Tjandra dari sistem ECS tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada Divisi Hubungan Internasional Polri atau NCB Interpol Indonesia.

"Tanggung jawab itu tidak bisa dilimpahkan kepada Divhubinter atau NCB Interpol Indonesia, berdasarkan 3 surat NCB Interpol Indonesia tersebut," jelasnya.

Dituntut 3 Tahun Penjara

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte, hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Napoleon dinilai terbukti menerima suap penghapusan red notice Interpol Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

"Menuntut dengan pidana penjara selama 3 tahun, dengan perintah agar terdakwa ditahan di rumah tahanan," ucap JPU dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).

Baca juga: JADWAL Lengkap dan Live Streaming Misa Rabu Abu 17 Februari 2021 di Jakarta dan Sekitarnya

Tuntutan jaksa ini merujuk pada sejumlah pertimbangan.

Napoleon dinilai tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme.

Napoleon juga dinilai telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.

Baca juga: UPDATE Covid-19 Indonesia 15 Februari 2021: Tambah 6.462 Pasien, Total Ada 1.223.930 Kasus Positif

Sedangkan hal yang meringankan tuntutan, jaksa menilai Napoleon bersikap kooperatif selama proses persidangan bergulir, dan baru sekali melakukan tindak pidana.

Atas dua pertimbangan tersebut, Napoleon dianggap melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Santrawan Paparang, kuasa hukum Irjen Napoleon Bonaparte mengatakan, tuntutan jaksa hanya copy paste dari isi dakwaan dan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan.

Baca juga: Wagub DKI Klaim ASN Tak Salah Soal Vaksinasi Covid-19 untuk Helena Lim, Katanya Sudah Ranah Polisi

"Tuntutan pidana jaksa penuntut umum itu copy paste aja dari dakwaan."

"Sehingga ada hal teknis yang seharusnya diangkat menjadi fakta dalam persidangan itu tidak diangkat," kata Santrawan, ditemui usai sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).

Sebab, pihak tim hukum Napoleon menyebut pemberian uang dari Tommy Sumardi ke Irjen Napoleon Bonaparte tak terbukti dalam persidangan.

Baca juga: Setelah Dipolisikan, Novel Baswedan Diadukan ke Dewas KPK karena Cuitan Soal Kematian Maaher

Saat Tommy Sumardi menjadi saksi, ia hanya menerangkan perkara itu bertumpu padanya.

Sehingga, tim hukum menyebut penyerahan uang tersebut tidak pernah terjadi.

"Sehingga fakta-fakta yang mengatakan telah terjadi penyerahan uang dari Tommy Sumardi ke Irjen Napoleon Bonaparte, nol."

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 Indonesia 15 Februari 2021: 1.096.095 Orang Sudah Disuntik Dosis Pertama

"Itu faktanya, penyerahan dan penerimaan uang itu nol."

"Kami menyampaikan ini agar supaya menjadi koreksi bersama," paparnya.

Santrawan menilai kliennya seharusnya dituntut bebas, atas segala dakwaan dalam kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Baca juga: Vaksinasi Tahap Kedua Dimulai 17 Februari 2021, untuk Pekerja Publik, Dimulai dari Pasar Tanah Abang

Sebab, kata Santrawan, berdasarkan fakta dalam proses persidangan dan merujuk keterangan Tommy Sumardi, Irjen Napoleon Bonaparte tidak pernah menerima uang pengurusan red notice tersebut.

"Kalau ada fakta dalam proses persidangan, jaksa seharusnya berani tuntut bebas."

"Karena negara memberi kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan tuntutan bebas."

Baca juga: Pandemi Covid-19 Bikin Orang Miskin di Indonesia Bertambah Jadi 27,55 Juta Jiwa

"Kalau tidak terbukti tuntut bebas dong kalau berani," ucap Santrawan.

"Kami tidak mempermasalahkan, karena kata jaksa penuntut umum cuma terfokus pada kata dan kalimat menuntut mengadili," tuturnya.

Atas hal ini, kubu Napoleon memastikan bakal mengajukan pleidoi atau nota pembelaan atas tuntutan JPU.

Baca juga: Raffi Ahmad-Agnes Monica Dilirik PKB, Pengamat: Bikin Hiburan Mengedukasi Saja Masih Jauh dari Bagus

"Jadi kami akan mengajukan hak kami selaku tim penasihat hukum, untuk mengajukan pleidoi atau pembelaan. Kami mohon waktu satu minggu," jelasnya.

Napoleon Bonaparte sebelumnya didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.

Uang tersebut diterima lewat perantara Tommy Sumardi.

Baca juga: Niat PKB Usung Raffi Ahmad-Agnes Monica di DKI Dianggap Cuma Gimik Politik Dongkrak Elektabilitas

Uang tersebut diberikan oleh Djoko Tjandra agar namanya dihapus dari daftar DPO atau red notice.

Napoleon didakwa menerima duit itu bersama-sama Brigjen Prasetijo Utomo. Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS.

Dalam surat dakwaan JPU, Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kabag Jatinter Set NCB Interpol Divhubinter Polri Kombes Tommy Aria Dwianto, membuat surat kepada pihak Imigrasi pada 29 April 2020.

Baca juga: Raffi Ahmad-Agnes Monica Dilirik PKB, Pengamat: Bikin Hiburan Mengedukasi Saja Masih Jauh dari Bagus

Surat tu ditandatangani Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut menginformasikan Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri sedang melakukan pembaruan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7.

Dan diinformasikan data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Bikin Orang Miskin di Indonesia Bertambah Jadi 27,55 Juta Jiwa

Napoleon juga memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pada 4 Mei 2020, perihal pembaharuan data Interpol Notices yang ditandatangani Brigjen Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi, yang isinya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.

Pada 5 Mei 2020, Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Tommy Aria Dwianto membuat surat soal penghapusan red notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham, dan ditandatangnai Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut menginformasikan red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 setelah 5 tahun. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved