Tak Lagi Targetkan Penanganan Perkara, Jaksa Agung: Tiada Daerah yang Tidak Ada Korupsinya
Kejaksaan mengklaim telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 19,25 triliun dari persidangan kasus korupsi.
"Kemudian, 76,7 ribu dolar AS, 71,5 ribu dolar Singapura, 80 Euro, dan GBP 305," beber Burhanuddin.
Baca juga: Besok Jokowi Disuntik Dosis Kedua Vaksin Covid-19, Dimulai Pukul 09.40
Burhanuddin menyebut satuan kerja Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia, telah melakukan 520.569 persidangan tahap II secara online 4.333 persidangan.
"Ini dalam kurun waktu sejak tanggal 29 Maret 2020 sampai 14 Januari 2021," paparnya.
Sementara, anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Supriansa merasa heran dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terpidana kasus korupsi yang semakin ringan, dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 di Indonesia 26 Januari 2021: 245.685 Orang Sudah Divaksin
"Saya melihat profesionalisme yang ada di kubu Kejaksaan menempatkan tuntutan terhadap orang-orang tersangka."
"Saya melihat belum profesional Kejaksaan Agung selama ini," ucap Supriansa.
Supriansa mencontohkan, tuntutan yang diberikan kepada terdakwa kasus suap Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari, hanya empat tahun dan subsider Rp 500 juta enam bulan kurungan.
Baca juga: Kejagung Periksa 9 Saksi Terkait Dugaan Korupsi di BPJS Ketenagakerjaan, Termasuk Sang Dirut
Jika dibandingkan tuntutan JPU kepada Jaksa Urip Tri Gunawan, kata Supriansa, pada waktu itu jauh lebih tinggi, yaitu dituntut 15 tahun terkait suap Rp 6 miliar.
"Ini mempertontonkan bahwa kita tidak profesional dalam menempatkan kasus Urip pada 2008, Pinangki pada 2019-2020."
"Semestinya, semakin hari semakin tinggi tuntutan, tetapi justru semakin rendah dengan kasus dengan nilai yang sama," urai Supriansa.
Baca juga: Jaksa Agung Ungkap Ada 7 Calon Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Asabri, Kerugian Tembus Rp 22 Triliun
Supriansa menyebut, seharusnya Pinangki mendapat tuntutan yang lebih tinggi dari Urip.
Karena, telah melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji, yaitu pelanggaran pasal 12 huruf A sebagai pegawai negeri, atau penyelenggara negara.
"Harapan kita itu yang harusnya lebih berat, apalagi bertemu dengan sang buronan."
Baca juga: Kasus Covid-19 di Indonesia Tembus 1 Juta, Menteri Kesehatan: Ini Saatnya Kita Berduka
"Kalau saya Jaksa Agung waktu itu pak, saya mengundurkan diri."
"Karena saya tidak bisa membina saya punya anak-anak di bawah sebagai pertanggungjawaban moral kepada publik," tegasnya.