Museum
Seramnya Lonceng Kematian dan Penjara Bawah Tanah di Gedung Bekas Balaikota Belanda di Jakarta
Museum ini, kini menjadi salah satu ajang untuk menapak tilas sejarah berdirinya Jakarta serta menjadi wadah bagi beragam benda-benda bersejarah
Penulis: Feryanto Hadi | Editor: Feryanto Hadi
Keberadaan Museum Sejarah Jakarta atau yang karib disebut Museum Fatahillah, memiliki peran yang cukup penting sebagai saksi bisu perkembangan kota Jakarta.
Museum ini, kini menjadi salah satu ajang untuk menapak tilas sejarah berdirinya Jakarta serta menjadi wadah bagi beragam benda-benda bersejarah.
Dulunya, museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah nomer 1 ini bernama Museum Oud Batavia (Batavia Lama) yang menempati bangunan di Jalan Pintu Besar Utara No. 27 Jakarta Barat (kini Museum Wayang) dan diresmikan pada tahun 1936.
• Misteri Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasemar), Disebut Menjadi Revisi Supersemar
• Mbak Tutut Kisahkan Lahir Tanpa Disambut Sang Ayah, Pak Harto Sedang Pimpin Pertempuran di Jogja
Pada masa kemerdekaan, museum ini berubah nama menjadi Museum Djakarta Lama, di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia, dan selanjutnya pada tahun 1968 diserahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta dan dikukuhkan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974 oleh Gubernur saat itu, Ali Sadikin.
Saat ini, jumlah koleksi Museum Sejarah Jakarta mencapai lebih dari 23 ribu buah yang berasal dari warisan Museum Djakarta Lama, hasil pengadaan Pemerintah DKI Jakarta, hasil ekskavasi (penggalian arkeologi) serta dari hasil sumbangan perorangan maupun institusi.
Beberapa koleksi unggulan diantaranya Meriam SI Jagur, pemisah ruangan bergaya Baroque dari abad 18, pedang eksekusi, lukisan Gubernur Jenderal VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti dan berbagai macam senjata.
Koleksi-koleksi tersebut, dibagi dalam beberapa ruang pamer seperti seperti Ruang Prasejarah Jakarta yang berisi koleksi artefak seperti beliung dan kapak batu yang banyak ditemukan sepanjang sisi Sungai Ciliwung, ruang Tarumanegara dan ruang Jayakarta yang berisi arca-arca kuno dan beberapa prasasti mengenai Sunda Kelapa dan puji-pujian terhadap raja Purnawarman, ruang Fatahillah, ruang Sultan Agung, dan yang terakhir adalah ruang MH Thamrin.
Sebelum resmi difungsikan sebagai museum pada 30 Maret 1974, gedung yang menempati areal seluas 13.588 m² ini dahulunya adalah kantor balaikota (Stadhuis).
• Mengintip Jejak Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli
• Ini Sosok Jenderal yang Begitu Dikagumi Ustaz Abdul Somad
• Positif Corona, Jenderal Farina Dikarantina di Rumahnya
Selama 215 tahun (1710-1925), Belanda menjadikan gedung ini sebagai Balaikota sekaligus pusat pemerintahannya di Batavia.
Dari catatan Warta Kota, pembangunan gedung Stadhuis dilakukan sebanyak tiga kali pada kurun waktu yang berbeda. Pembangunan pertama dilakukan pada tahun 1620 oleh Jan Pieterszoon Coen selaku Gubernur Jenderal VOC yang memerintah Batavia periode 1618-1629.
Pembangunan gedung ini terkait dengan ambisi Coon yang ingin menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan serta pemerintahan VOC di kawasan Hindia Timur guna menyaingi Macao di China yang kala itu dikuasai kongsi dagang Inggris.
Gedung yang dibangung Coen ini hanya bertahan selama enam tahun, kemudian diganti dengan Balaikota kedua (1627-1707), yang dibangun pada sisi selatan halaman utama Kota Batavia, atau di lokasi sekarang ini museum berdiri.
Pada tahun 1648, gedung mengalami kerusakan parah akibat tanah Jakarta yang labih, hingga menyebabkan bangunan turun dari permukaan tanah.
Selain itu, dijelaskan pula, bahwa kerusakan juga disebabkan karena adanya penyerangan oleh Pasukan Mataram pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1628 dan 1629 yang berhasil membakar gedung Stadhuis tersebut.
Pada 25 Januari1707, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn mulai membangun gedung baru. Stadhuis yang cukup megah dan besar itu, baru pembangunannya baru selesai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck dan diresmikan pada juli 1710.