Hak Angket Jiwasraya
Aboebakar Alhabsyi Mendorong Hak Angket Jiwasraya Bergulir karena Menyangkut Nilai Uang Sangat Besar
Aboebakar Alhabsyi menyatakan, kasus Jiwasraya adalah persoalan yang besar, sehingga perlu hak angket.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Aboebakar Alhabsyi menyatakan, kasus Jiwasraya adalah persoalan yang besar, sehingga perlu hak angket.
"Persoalan Jiwasraya bukan persoalan kecil, sampai saat ini, ada perkiraan kerugian negara hingga mencapai Rp 13,7 triliun, itu hitungan pada bulan Agustus, tahun kemarin," katanya di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Menurut Aboebakar, belum lagi kalau dilakukan pendalaman, angka tersebut bisa naik lebih besar lagi.
"Apalagi, Jiwasraya menyatakan kepada DPR mereka membutuhkan dana Rp 32,98 triliun guna memperbaiki struktur permodalannya dan mengakibatkan gagal bayar polis nasabah."
• Anies Baswedan Belum Memastikan Terkait Proyek Revitalisasi Monas akan Berlanjut pada Waktu Kapan
Menurut Aboebakar, angka tersebut dibutuhkan agar rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) sesuai ketentuan yakni minimal 120 persen.
"Hal ini menunjukkan, persoalan ini cukup dalam dan harus menjadi atensi dari seluruh pihak, termasuk DPR."
"Tentunya, DPR memiliki tugas untuk menelaah persoalan Jiwasraya ini karena ketentuan pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, salah satu fungsi DPR adalah melakukan pengawasan."
"Karenanya, kami akan melaksanakan tugas tersebut dengan menggunakan hak angket."
"Hal ini sesuai dengan ketentuan di UUD 1945, pada ayat dua di pasal yang sama."

Menurut Aboebakar, negara ini sudah banyak asam garam dalam persoalan keuangan.
"Berkaca dari kasus BLBI dan Bank Century, alangkah lebih bijak jika penanganan kasus Jiwasraya mendapat prioritas tinggi."
"Jika kemarin, pada kasus Century yang kerugian negaranya Rp 6,7 trilyun saja dibuat angket, kenapa tidak untuk Jiwasraya."

Padahal, kata Aboebakar, nilainya lebih besar dan sama-sama menjadi atensi publik.
"Bahkan, bisa dikatakan ini lebih parah, karena bukan hanya berdampak pada kerugian negara, namun juga kepada masyarakat luas.

Sebelumnya, terungkap, menurut Dr Fadli Zon MSc, dua bulan sesudah pemerintahan baru dilantik, kita sebenarnya berharap mengawali tahun baru 2020 dengan cerita indah.
Sesudah bersitegang selama masa kampanye kemarin, dan terbelah sejak Pilpres 2014 lalu, kita berharap bisa membangun kehidupan politik dan kenegaraan yang lebih baik sesudah terjadinya pertemuan elite politik beberapa bulan lalu.
• Terungkap Hasil Tes Kesehatan Mahasiswa Banten yang Baru Pulang dari Cina Dipastikan Kondisi Sehat
Sayangnya, kata Fadli Zon, pergantian tahun kemarin, ternyata ditutup oleh skandal Jiwasraya dan lembaran baru 2020, justru dibuka dengan kasus Asabri.
Kedua perusahaan asuransi milik negara tersebut diduga telah melakukan malpraktik investasi yang berujung pada kerugian triliunan rupiah.
• Fadli Zon dan Delegasi DPR RI Berhasil Menggolkan Resolusi Terkait Krisis Rohingya Dalam Sidang APPF
Pada 16 Desember 2019 silam, di hadapan DPR direksi Jiwasraya secara verbal telah melempar handuk putih.
Mereka mengaku tak sanggup memenuhi klaim polis nasabah yang akhir tahun kemarin nilainya mencapai Rp12,4 triliun.
Sebelumnya, seiring laporan keuangan pada 2017, Jiwasraya diketahui telah melakukan investasi hingga Rp 19,17 triliun ke reksadana.
Namun, investasi ini terus turun nilainya menjadi Rp 16,32 triliun pada 2018, dan anjlok menjadi Rp 6,64 triliun pada 2019.
• Fadli Zon Ungkap Tidak Boleh Ada Negosiasi dengan Cina Terkait Natuna Merupakan Wilayah Indonesia
Hal yang sama juga terjadi pada investasi mereka di pasar saham.
Dari investasi awal senilai Rp 6,63 triliun pada 2017, nilainya anjlok menjadi Rp 3,77 triliun pada 2018, dan terus merosot menjadi Rp 2,48 triliun pada 2019.
Untuk deposito, laporan keuangan Jiwasraya menyebut angka Rp 4,33 trilun pada 2017 silam.
Nilai ini telah turun menjadi Rp 1,22 triliun pada 2018, dan hanya tinggal Rp 0,8 triliun pada 2019.
Menurut perkiraan, total utang perusahaan asuransi ini mencapai Rp 49,6 triliun.
• Pembuat Dolar Palsu Senilai Rp 9 Miliar Berhasil Dibekuk oleh Jajaran Petugas Polda Metro Jaya
Kasus Jiwasraya yang mencuat di ujung tahun ternyata bukan satu-satunya kasus besar yang sedang membelit kita.
Pada 10 Januari 2020 lalu kita juga mendengar jika Asabri (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)—sebuah perusahaan asuransi milik negara yang melayani prajurit TNI, anggota Polri, serta para PNS di Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia—tengah menghadapi persoalan sejenis dengan Jiwasraya.
Nilai kerugian perusahaan ini diperkirakan lebih dari Rp 10 triliun.
• Ritual Membantai Tujuh Anak dan Seorang Wanita Hamil Setelah Disiksa Lalu Dikubur di Kuburan Massal
Berbeda dengan Jiwasraya yang mengaku gagal bayar, pemerintah mengklaim bahwa secara operasional Asabri sebenarnya tidak bermasalah.
Artinya, jika ada klaim, atau ada pensiun, perusahaan ini masih bisa membayar. Meski demikian, portofolio saham milik Asabri diketahui telah anjlok hingga 90 persen.
Kasus Jiwasraya dan Asabri ini terus terang membuat kita terpukul. Apalagi, kasus gagal bayar sebelumnya juga dialami oleh BPJS Kesehatan, sebuah lembaga milik negara yang mengelola premi kesehatan seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh kasus ini menunjukkan betapa buruknya sistem jaminan sosial kita, sekaligus lemahnya pengawasan atas manajemen “social protection” di negeri ini.
• Derita Korban Penyekapan Pulomas Disundut Rokok dan Dipukuli dengan Diberi Makan Hanya Sekali Sehari
Bisnis asuransi sosial yang seharusnya “secure” dan “prudent”, apalagi ini dikelola oleh (perusahaan) negara, nyatanya mudah sekali mengalami “fraud”.
Tak berlebihan jika ada yang menilai negara bukan hanya telah gagal memberikan jaminan perlindungan sosial bagi warganya sendiri karena mereka telah memungut premi, tapi bahkan juga gagal mengelola premi yang telah dibayarkan oleh pemegang polis.
Menghadapi kasus-kasus ini, saya kira ada beberapa hal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, belajar dari kesalahan penanganan kasus Century, fokus utama penegak hukum seharusnya pada bagaimana bisa mengembalikan uang masyarakat yang menjadi korban.
Sebab, meskipun lazimnya uang nasabah yang diinvestasikan dalam reksadana maupun saham tidak akan kembali karena nilainya sangat rendah bahkan tidak berharga (junk stock), namun pemerintah harus bisa memaksa seluruh pihak yang terlibat dalam kejahatan ini untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara material.
Sehingga, dana nasabah pada akhirnya bisa dikembalikan hingga semaksimal mungkin.
Kedua, harus ada penalti terhadap lembaga-lembaga yang membiarkan atau bahkan terlibat dalam kasus ini.
Jangan lupa, kasus ini melibatkan kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap sistem hukum Indonesia, kepercayaan terhadap tata kelola perusahaan BUMN, dan menyangkut kepercayaan terhadap iklim investasi di negeri kita.
Sehingga, ada banyak otoritas yang harus dimintai pertanggungjawaban untuk memulihkan semua hal tadi, termasuk meminta maaf atas kelalaian yang telah merugikan banyak orang tersebut.
Kita mengapresiasi Kementerian Keuangan yang telah memeriksa akuntan publik yang melakukan audit terhadap Jiwasraya pada 2014, 2015, 2016 dan 2017.
Sedangkan, akuntan publik 2006-2013 diketahui telah meninggal. Pemeriksaan tadi dilakukan berdasarkan UU No. 5/2011 tentang Akuntan Publik.
Bagaimanapun, masyarakat tak akan mudah tertipu berinvestasi jika akuntan publik yang melakukan audit laporan keuangan bekerja dengan benar, tidak terlibat dalam upaya “window dressing”.
• Wanita Saksi Bupati Boven Digoel yang Tewas di Hotel Menghilang Tidak Pernah Terlihat di Luar Batang
Ketiga, ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan bersih-bersih BUMN, agar ke depan BUMN tak lagi dijadikan sapi perah kekuasaan, atau diperalat oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Itu sebabnya, sesudah ini seharusnya tak ada lagi rangkap jabatan di perusahaan pelat merah, baik oleh direksi maupun komisaris.
Tidak ada cerita, misalnya, anggota partai politik, staf khusus menteri, atau staf khusus presiden bisa diangkat jadi komisaris BUMN sebagaimana yang masih terjadi hingga hari ini.
Perusahaan negara seharusnya dikelola secara profesional oleh kalangan profesional. Rangkap jabatan adalah salah satu indikasi ketidakprofesionalan.
Jika beberapa bulan lalu sempat populer slogan “Reformasi Dikorupsi”, maka kasus Pelindo II, Garuda, Jiwasraya, atau Asabri adalah contoh konkretnya.
Padahal dulu salah satu tuntutan penting Reformasi adalah menghilangkan “KKN”, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi sekarang semuanya ada di BUMN. Dan dipraktikkan secara telanjang.
Jika membaca ulang konstitusi, portofolio BUMN dalam sistem ketatanegaraan kita sebenarnya mulia.
BUMN merupakan instrumen bagi negara untuk melakukan campur tangan kegiatan perekonomian.
Keberadaannya sejalan dengan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Kehadirannya merupakan bukti bahwa negara tidak menyerahkan begitu saja kegiatan perekonomian kepada mekanisme pasar.
Negara ikut campur di bidang strategis ekonomi dengan membentuk BUMN.
Dulu, waktu awal menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, jumlah BUMN ada sekitar 400.
Namun, data terbaru menunjukkan jumlah BUMN tinggal 118, di mana 20 di antaranya telah go public.
Dari sisi laba, tak semua BUMN kita kinerja keuangannya bagus.
Dari total laba BUMN sebesar Rp189 triliun pada 2018, 73 persennya dihasilkan oleh 15 BUMN saja, yang umumnya bergerak di bidang perbankan, telekomunikasi dan migas. Ini bukan kondisi bagus sebenarnya, sebab kita tahu bisnis perbankan ke depan sudah mulai terdisrupsi oleh “fintech”.
Adanya kasus Jiwasraya dan Asabri, juga Garuda, yang mencuat secara beruntun, menunjukkan, ada sesuatu yang bermasalah dalam pengawasan BUMN kita.
Apalagi, dalam lima tahun terakhir saya melihat memang ada upaya agar pengawasan terhadap BUMN hendak digunting sedemikian rupa.
• Politisi Partai Demokrat Memrotes Harun Masiku Ditampilkan Memakai Pakaian Demokrat Meski Caleg PDIP
Pada 2016, misalnya, pemerintah pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Saya dulu mengeritik habis PP tersebut. PP tersebut telah melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN tanpa harus melalui persetujuan DPR.
Itu jelas bermasalah.
Sebab, menurut Pasal 23 UUD 1945, semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara harus dibahas dan disetujui oleh DPR.
Begitu juga dengan pengalihan utang pemerintah kepada BUMN dengan dalih penugasan pembangunan infrastruktur.
BUMN akhirnya didorong untuk berutang sendiri, padahal proyeknya adalah program pemerintah.
Ujungnya, keuangan dan kinerja BUMN jadi terbebani.
Berbeda dengan utang oleh pemerintah, DPR tak bisa mengontrol utang oleh BUMN.
Apalagi, dalam akuntansi keuangan negara utang BUMN dianggap sebagai utang swasta.
Hal-hal semacam inilah yang berlangsung dalam lima tahun terakhir. Pengawasan terhadap BUMN berusaha untuk dilemahkan.
Jadi, ke depan kita harus memperbaiki pengawasan terhadap BUMN. Jangan sampai BUMN kita bertumbangan karena kasus korupsi dan tata kelola yang buruk.
Meminjam judul novel A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami” maka kini kita dihadapkan pada ancaman “Robohnya BUMN kami”.
Kemarin, Presiden telah memerintahkan Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso untuk menyelesaikan persoalan ekonomi terkait Jiwasraya dan Asabri.
Sementara untuk urusan hukum, Presiden memerintahkan ditangani Jaksa Agung St. Burhanuddin.
Kita mendengar soal pengembalian dana nasabah turut di-nyatakan oleh Presiden.
Kita apresiasi pernyataan tersebut. Tapi yang lebih penting adalah pada bagaimana mengawasi pelaksanaannya.
Sebab, selama ini pernyataan-pernyataan bagus Pemerintah seringkali tak sesuai dengan pelaksanaannya.